Ini cerita saya ketika pertama kali datang ke Desa Pengotan, Bangli. Awalnya saya berniat tidak ikut karena pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Tapi rencana ya tinggal rencana. Takdir berkata lain. Pekerjaan bisa saya tuntaskan. Diluar ekspektasi. Dan saya bisa ikut pergi.
Sebelum berangkat saya bertanya dulu apakah Bangli itu dingin? Jawabannya “Banget”. Mendengar kata itu saya segera mencari sweeter saya yang notabene jarang saya pakai dan hanya dipakai saat musim hujan. Jam 3 sore berangkatlah saya dari Singaraja.
Sepanjang perjalanan saya ditemani tiga orang lelaki. Tapi aman kok, karena salah satunya adalah pacar sekaligus sopir handal saya. Hehehe. Dari Singaraja kurang lebih tiga jam (bawa mobilnya selow dan berhenti makan bakso). Sepanjang perjalanan kami berbincang. Membicarakan hal-hal yang sebenarnya tidak penting. Sama halnya dengan tulisan ini yang (mungkin) tidak penting.
Oh ya, hampir lupa tujuan kami ke Desa Pengotan, Bangli, adalah untuk memutar film program Indonesia Raja 2019. Tempatnya di Wantilan Desa Pengotan yang juga menjadi posko KKN dari mahasiswa STKIP Suar Bangli. Jadwalnya pukul 19.30 wita. Tapi kami sampai lebih awal yakni pukul 17.45 wita.
Sambil menunggu waktu, saya berjalan-jalan disekitar tempat tersebut. Saat melihat-lihat, tempat itu mirip sekali dengan Desa Wisata Penglipuran. Bangunannya masih bangunan tua tapi rumah-rumahnya sudah banyak yang direnovasi, namun tidak mengubah konsep bangunan. Angkul-angkul (gerbang) khas Bali yang ada di sana juga mirip dengan yang ada di Penglipuran.
Rumah-rumah tinggal di kawasan itu dibangun dengan model yang sama. Pendek dan kecil. Dalam satu bidang tanah, bisa dibanguni hingga 7 rumah. Tanpa sekat. Hanya saja lingkungan di Desa Pengotan itu lebih kecil. Tak ada dagang aksesoris dan loloh cem-cem. Berbeda dengan di Penglipuran yang arealnya lebih luas dan ada dagangnya.
Suasana Desa Pengotan sangat sepi dan sangat dingin. Rumah-rumah yang berjejer rapi itu tak ada penghuninya. Saat itu hari masih sore. Langit masih terang. Masih bagus untuk selfie.
Ketika saya berjalan-jalan dan berniat untuk kembali ke posko KKN, saya bertemu dengan seorang ibu yang hendak memberi pakan babi. Saya sempat ngobrol sebentar dan bertanya, apakah bangunan rumah di desa itu semuanya mungil dan pendek-pendek. Si ibu bilang memang begitu dari dulu.
Di desa itu tidak boleh membuat bangunan tinggi-tinggi atau rumah bertingkat. Itu tidak boleh. Menurut kepercayaan masyarakat disana, leluhur mereka tidak menghendaki untuk membuat bangunan yang tinggi melebihi tempat ibadah (sanggah). Saya tak tau kenapa. Sempat pula saya bertanya, jika ada yang membuat bangunan bertingkat, akan bagaimana, atau akan trejadi apa. Tapi si ibu tidak memberikan jawaban.
Beliau malah bercerita. Dulu salah satu SMP di sana bangunannya roboh karena bertingkat. Ketika saya tanya kenapa, dengan nada yang sedikit naik si ibu menjawab, “Nika sampun dugas linuhe, bangunane roboh. Nak metingkat nika. Untung dugas nto ten wenten murid. Wengi nika kejadiane,Gek”. (Itu waktu ada gempa. Bangunannya roboh. Karena bertingkat. Beruntung saat itu tak ada siswa. Kejadiannya malam, Dik).
Mendengar itu saya hanya manggut-manggut. Sambil berpikir sebab musabab dari kerobohannya sekolah itu. Apakah karena gempa atau karena hal lain. Tapi ya sudahlah. Itu cerita.
Semakin malam semakin sepi. Sepinya lingkungan disana saya pikir karena masih sore orang-orang disana masih belum pulang dari bekerja. Atau masih belum menyelesaikan pekerjaannya di kebun. Bangli kan banyak jeruk. Paling hanya ada tiga atau empat rumah yang masih tinggal disana. Ternyata saya salah. Orang-orang tak kembali.
Tak ada lampu yang menyala dari rumah-rumah itu. Hanya sedikit. Tempat yang paling terang adalah tempat yang kami kunjungi saja, posko KKN, dan pura Penataran Agung yang ada di sana. Jalanan pun sepi. Gelap.
Usut punya usut, ternyata warga di sana memang jarang pulang. Karena kesibukannya di tempat bekerja membuat mereka menetap di kota atau wilayah tempat mereka mengais rejeki. Mereka baru akan pulang saat hari raya saja. Setelah itu kembali ditinggalkan. Kembali sepi. Tapi ketika ada rapat desa, warga di desa itu seluruhnya hadir untuk mengikuti rapat desa. Yang jauh maupun yang dekat, semuanya menyempatkan diri untuk melaksanakan kewajibannya sebagai krama desa.
Potensi Desa Pengotan ini sangat bagus bila ditata dengan baik. Mungkin bisa menjadi Penglipuran kedua, karena kawasannya sangat mirip dengan desa wisata yang ngetop itu. Dan belakangan saya mengetahui Kawasan Desa Pengotan tenyata sudah masuk dalan kawasan KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional) sejak lama.
Desa Pengotan merupakan salah satu Desa Tua atau Desa Bali Aga. Desa dengan hawa dingin ini sangat memperhatikan dan mempertahankan keaslian budaya yang mereka miliki. Salah satunya bahasa. Ketika bertemu dengan saya mereka berkomunikasi dengan bahasa mereka yang saya pikir mirip dengan bahasa Desa Pedawa, Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng. Jika tak paham, mereka akan menggunakan bahasa Bali Alus untuk menjelaskan. (jika yang diajak berbicara adalah orang Bali). Sangat sopan.
Mereka begitu memperhatikan bahasa yang mereka keluarkan. Saya sangat terkesan. Anak-anak di sana pun sangat sopan. Saat bertemu dengan saya dengan tidak sengaja ketika bermain-main, mereka langsung menyapa saya dengan “Om Swastyastu, Mbok”.
Dengan spontan saya langsung membalas dengan ucapan yang sama sambil mencakupkan tangan saya. Saat itu saya merasa kalah dari mereka. Saya merasa malu dengan anak-anak itu. [T]