12 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Duka dan Jurang (Ritual) Kebersamaan

I Ngurah SuryawanbyI Ngurah Suryawan
August 6, 2019
inOpini
Demam Peraturan dan Kooptasi Ruang Publik Kita
36
SHARES

Jika tidak berlebihan, bolehlah saya mengandaikan masyarakat Bali, termasuk saya sendiri, sedang melakoni hidup dengan rangkaian ritual. Perjalanan panjang kehidupan dari mulai dalam kandungan hingga berstana di rong telu menjadi leluhur dimaknai dengan ritual.

Saat mahasiswa semester awal ilmu antropologi di Bali, saya harus berpikir keras untuk membaca buku Tjok Rai Sudharta, Manusia Bali dari Dalam Kandungan sampai Perkawainan (1997). Ritual dan ngayah (membantu) nak ngelah gae (yang mempunyai hajatan) dan yang lainnya sering saya lakukan. Tapi saya tidak memperoleh makna dari rangkaian ritual tersebut.

Saat menginjak kehidupan berumah tangga, saya baru merenungi arti penting rangkaian ritual manusia Bali tersebut. Rangkain kehidupan tersebut, mengutip istilah Dharma Palguna (2007) diandaikan sebagai jalan raya (yang panjang) ritual. Suka duka hidup sehari-hari selalu dimaknai dengan pelaksanaan ritual dalam setiap babak kehidupan. Garis panjang ritual dalam kehidupan orang Bali inilah yang diandaikan sebagai jalan raya yang tidak putus-putus. Itulah yang disebut dengan “jalan raya agama”.

Perjalanan panjang kehidupan manusia dengan rangkaian ritualnya itu bukannya tanpa konflik dan disharmoni. Meski tujuan ritual adalah untuk menuju keseimbangan kehidupan, tapi dalam praktik tidaklah seindah doktrin teologis. Sejatinya ritual itu sendiri adalah agama dalam tindakan untuk mencari jalan keselamatan (salvation).

Keselamatan adalah tujuan dari kehidupan beragama dan juga dari serangkain ritual yang dilakukan oleh agama-agama. Agama praksis yang terdapat dalam ritual menjadi cermin dari serangkaian aktivitas pendukung ritual tersebut. Ritual, upacara, dan ritus-ritus yang dilakukan pemeluk agama pasti mempunyai mitos tertentu. Selain itu, dalam ritual terdapat hubungan erat antara mitos, suatu dongeng suci dari suatu bangsa dengan aktivitas ritual, tingkah laku moral, organisasi sosial, bahkan aktivitas politik suatu masyarakat (Dhafamony, 1995; Malinowski dalam Suhardi, 2009: 12).


Pura di puncak gunung yang menjaga tanah Bali dari berbagai penjuru (foto: I Ngurah Suryawan)

Meriah dan Getir 

Meriahnya pelaksanaan ritual kini di Bali bisa dilihat dari dua sisi. Sisi pertama bahwa kemegahan dan rutinitas ritual menjadi pentas legitimasi bagi kebudayaan Bali dan kolektivitas (semu) para pendukungnya. Dibalik pentas ritual tersebut, kita sejatinya diajak untuk menyaksikan perilaku agency (para agen, orang-orang) dari berbagai macam kepentingan, yang menjadikan ritual sebagai pentas status dan kekuasaan.

Sisi dibaliknya adalah bahwa kemegahan ritual “menundukkan” manusia Bali untuk terus tersingkir dalam dunia yang berubah. Ritual “mendiamkan” kekritisan manusia Bali untuk “melawan” politik busuk pariwisata misalnya. Tanah-tanah mereka perlahan-lahan dicaplok para investor dan tukang kapling yang rakus melalap kehidupan manusia Bali. Kedua-duanya berjalan beriringan: ritual megah tiada henti, tanah-tanah manusia Bali terus tergadaikan.


Kebersamaan umat Hindu untuk pedek tangkil memohon keselamatan di Pura Lempuyang Luhur (foto: I Ngurah Suryawan)

Pada sisi yang lain, persoalan kematian yang kini meriah dengan berlangsungnya Ngaben Massal dan ritual berkelompok lainnya, menjadi hal yang kompleks. Santikarma (2004) menuliskan bahwa berakhirnya hidup di Bali tidaklah sederhana. Di dalamnya juga persoalan sosial yang berhubungan dengan soal status. Upacara kematian memunculkan argumentasi seperti sejauh mana besar skala upacara? Siapa yang memimpin upacara? Pendeta brahmana atau bukan? Berapa tinggi usungan jenazah?

Bagi mereka yang anggota keluarganya raib akibat pembantain massal 1965 kekisruhan muncul dalam menentukan status kematian: apa kematian mereka dianggap sebagai salahpati (bunuh diri) atau ulahpati (kecelakaan)? Keputusan ini nanti berpengaruh terhadap rangkaian sarana sesajen atau banten yang akan dipakai.

Ritual ngaben bagi keluarga yang ditinggalkan belum tentu berlangsung lancar. Banyak orang-orang Bali yang terkena musibah kematian harus tertimpa tangga bersitegang untuk mendapatkan setra(kuburan) untuk ngaben. Tidak tanggung-tanggung kemarahan warga ditunjukkan dengan menggeletakkan jasad di tengah jalan atau bahkan menghadang warga yang “bermasalah” untuk menguburkan atau meng-ngaben-kan jasad di setra. Lemparan batu dan umpatan pada sesama krama (warga) satu desa tidak sulit dilakukan karena dianggap telah melanggar awig-awig dan tidak memenuhi kewajiban sebagai kramaadat.

Jurang Kebersamaan

Spirit kebersamaan yang kental pada komunitas Hindu Bali modern menyisakan pertanyaan. Pertanyaan itu berhubungan dengan sampai sejauh mana kebersamaan itu mengakomodasi kemerdekaan individu (pribadi). Memeteng (berjalan menutup mata) membela mati kebersamaan menanggung resiko yang besar. Pada titik tertentu kita menjadi menafikkan perbedaan dan suara lain di luar nilai-nilai kebersamaan yang kita bangun sendiri.

Pikiran saya menerawang jauh membayangkan kisah I Gede Abraham yang menjadi pelopor pendirian gereja di Dusun Bukit Sari, Desa Songan B, Kintamani, Bangli. Ia adalah penganut agama Kristen sejak tahun 1993-1994 dan kemudian mendirikan gereja pada tahun 1996 yang didukung 14 Kepala Keluarga (KK) dan kini tersisa 8 KK.

Awalnya Gede Abraham adalah seorang Hindu, bahkan menjadi pemangku dengan nama Mangku Printis. Keinginan Gede untuk terus mencari kesejatian diri membawanya berlabuh ke ajaran Kristen. Meski memilih jalan (agama) berbeda, Gede masihlah seorang manusia Bali. Ia tetap aktif dan terlibat dalam kegiatan sosial dan adat di desanya. Begitupun warga desa lainnya, akan datang membantu saat Gede dan warga Kristen lainnya merayakan Natal (Ketut Eriadi Ariana, “Penganut Kristen dan Hindu Hidup Harmonis, Pesan Pluralisme dari Balik Bukit Kintamani”, Pos Bali, 15 Juli 2019).

Bagaimana kita memaknai jalan (agama) yang dipilih Gede Abraham?

Kita sudah tahu sama tahu bagaimana spirit toleransi dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat di Bali. Saya sempat mendengar bagaimana beberapa daerah di Bali sangat kental pengaruh dari agama Kristen, Katolik, dan sudah tentunya Muslim. Meski berbeda, beberapa diantara mereka masih mengikatkan diri (identitas) dan budayanya dengan Bali.

Jadi, singkatnya, jalan keberagaman adalah Bali itu sendiri. Bali itu sejatinya adalah keberagaman itu. Tidak ada Bali yang tunggal sebagai Hindu Bali, meski sebagai mayoritas di Pulau Bali. Bali, dengan vitalitas dan kelenturannya, mengadaptasi keberagaman sebagai spirit untuk menghidupkan Bali di masa depan. Meski, usaha untuk mengokohkan bahkan membekukannya terus terjadi.

Seringkali kita mencari perlindungan melalui kebersamaan. Solidaritas social kita terikat melalui kebersamaan melalui berbagai lembaga yang kita buat. Tujuannya adalah membentengi kita dari pengaruh luar yang kita anggap negatif. Kebersamaan juga menjadi modal social yang sangat mudah digerakkan untuk tujuan pragmatism politik tanpa sadar. Tapi kita lupa bahwa cara berpikir kebersamaan itu melahirkan “perlawanan” justru dalam dirinya. Sayangnya, justru ancaman selalu dipikirkan datung (selalu) dari luar.  

Ida Bagus Dharma Palguna dalam salah satu esainya, Jalan Raya dan Jalan Alternatif (2007: 17) mengandaikan bahwa kehidupan beragama tidak ada bedanya dengan situasi jalan raya. Seperti di jalan raya, jalan raya agama juga sering terjadi terjadi tabrakan. Banyak juga kepentingan yang ada di jalan agama ini. Tidak sedikit juga korban yang berjatuhan, dari harga diri sampai hak untuk mengekspresikan diri. Maka sangat manusiawi ketika satu dua orang akhirnya meninggalkan jalan raya agama. Mereka membuat jalannya sendiri. Semakin ganas sebuah “jalan raya”, semakin banyak orang terilhami mencari “jalan alternatif”.

Sikap kita terhadap saudara yang memilih jalan alternatif inilah persoalannya. Akarnya adalah kegandrungan kita untuk “mencari Tuhan secara bersama-sama”. Meski kita menganggapkan sebuah kebangkitan agama (Hindu), justru di sinilah letak permasalahannya. Kebersamaan yang harmonis dijaga rambu-rambu yang semakin hari semakin keras sangsinya. Tujuannya mengantisipasi kompleksitas akibat kemajuan dunia. Yang menjadi legitimasi adalah lagi-lagi kebersamaan, kepentingan bersama (Palguna, 2007: 18).


Salah satu pelinggih yang terletak di pinggiran Danau Tamblingan, Buleleng. Pencarian Tuhan pada dasarnya adalah urusan pribadi. Tuhan itu adalah kesunyian yang juga hanya bisa didekati dengan kesunyian itu sendiri (foto: I Ngurah Suryawan)

Jika kita memaknai toleransi hanya dalam kungkungan kebersamaan, kita terancam mensederhanakan persoalan. Kebersamaan akan dilawan dengan kebersamaan. Sekat dan saling curiga adalah sumbunya. Apinya sudah pasti adalah kekerasan itu sendiri. Kolektivitas, meski mempunyai vitalitas yang tidak diragukan lagi, mempunyai resiko menafikkan perbedaan. Justru kebersamaan-kebersamaan inilah yang dipelihara, yang berisi massa rakyat, yang hanya sekadar massa yang mudah untuk diekspoitasi untuk berbagai macam kepentingan politik yang licik dan picik.

Bisakah kita bertoleransi dengan pilihan hidup dan agama dari I Gede Abraham? Apa hakekat untuk mempraktikkan toleransi tersebut?

Kita diingatkan oleh Palguna (2007: 67-68) bahwa agama bukanlah tujuan, tapi sarana sekaligus cara untuk mencapai tujuan. Pilihan pada satu atau beberapa cara adalah konsekuensi dari institusionalisasi agama tersebut. Pelembagaan satu cara dan perkembangannya kemudian melahirkan tradisi. Sebagai sebuah lembaga, setiap tradisi pasti ingin mempertahankan dirinya.

Pada hakekatnya, pencarian Tuhan adalah urusan pribadi. Pencarian Tuhan di dalam dan di luar diri adalah perjuangan pribadi. Tuhan itu adalah kesunyian yang juga hanya bisa didekati dengan kesunyian itu sendiri.

Jadi, akar toleransi adalah penyerahan diri kepada kesunyian dan kesadaran bahwa pencarian (agama) Tuhan adalah urusan pribadi. Hanya dengan demikian kita akan melepaskan tujuan dan motif picik atau negatif kita terhadap orang lain. Dalam kondisi seperti ini, kita telah melampaui pelembagaan agama dan tradisi, apalagi “hyme kebersamaan”. [T]

Tags: balihinduritualSpiritual
Previous Post

Buleleng Festival 2019, Apa yang Baru?

Next Post

Berhadapan dengan Raja

I Ngurah Suryawan

I Ngurah Suryawan

Antropolog yang menulis Mencari Bali yang Berubah (2018). Dosen di Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat.

Next Post
Swastyastu, Nama Saya Cangak

Berhadapan dengan Raja

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Pulau dan Kepulauan di Nusantara: Nama, Identitas, dan Pengakuan

by Ahmad Sihabudin
May 12, 2025
0
Syair Pilu Berbalut Nada, Dari Ernest Hemingway Hingga Bob Dylan

“siapa yang mampu memberi nama,dialah yang menguasai, karena nama adalah identitas,dan sekaligus sebuah harapan.”(Michel Foucoult) WAWASAN Nusantara sebagai filosofi kesatuan...

Read more

Krisis Literasi di Buleleng: Mengapa Ratusan Siswa SMP Tak Bisa Membaca?

by Putu Gangga Pradipta
May 11, 2025
0
Masa Depan Pendidikan di Era AI: ChatGPT dan Perplexity, Alat Bantu atau Tantangan Baru?

PADA April 2025, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh laporan yang menyebutkan bahwa ratusan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Buleleng,...

Read more

Animal Farm dalam Interpretasi Pemalsuan Kepercayaan

by Karisma Nur Fitria
May 11, 2025
0
Animal Farm dalam Interpretasi Pemalsuan Kepercayaan

PEMALSUAN kepercayaan sekurangnya tidak asing di telinga pembaca. Tindakan yang dengan sengaja menciptakan atau menyebarkan informasi tidak valid kepada khalayak....

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space
Pameran

Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space

JUMLAH karya seni yang dipamerkan, tidaklah terlalu banyak. Tetapi, karya seni itu menarik pengunjung. Selain idenya unik, makna dan pesan...

by Nyoman Budarsana
May 11, 2025
Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery
Pameran

Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery

INI yang beda dari pameran-pemaran sebelumnya. Santrian Art Gallery memamerkan 34 karya seni rupa dan 2 karya tiga dimensi pada...

by Nyoman Budarsana
May 10, 2025
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co