Jika tidak berlebihan, bolehlah saya mengandaikan masyarakat Bali, termasuk saya sendiri, sedang melakoni hidup dengan rangkaian ritual. Perjalanan panjang kehidupan dari mulai dalam kandungan hingga berstana di rong telu menjadi leluhur dimaknai dengan ritual.
Saat mahasiswa semester awal ilmu antropologi di Bali, saya harus berpikir keras untuk membaca buku Tjok Rai Sudharta, Manusia Bali dari Dalam Kandungan sampai Perkawainan (1997). Ritual dan ngayah (membantu) nak ngelah gae (yang mempunyai hajatan) dan yang lainnya sering saya lakukan. Tapi saya tidak memperoleh makna dari rangkaian ritual tersebut.
Saat menginjak kehidupan berumah tangga, saya baru merenungi arti penting rangkaian ritual manusia Bali tersebut. Rangkain kehidupan tersebut, mengutip istilah Dharma Palguna (2007) diandaikan sebagai jalan raya (yang panjang) ritual. Suka duka hidup sehari-hari selalu dimaknai dengan pelaksanaan ritual dalam setiap babak kehidupan. Garis panjang ritual dalam kehidupan orang Bali inilah yang diandaikan sebagai jalan raya yang tidak putus-putus. Itulah yang disebut dengan “jalan raya agama”.
Perjalanan panjang kehidupan manusia dengan rangkaian ritualnya itu bukannya tanpa konflik dan disharmoni. Meski tujuan ritual adalah untuk menuju keseimbangan kehidupan, tapi dalam praktik tidaklah seindah doktrin teologis. Sejatinya ritual itu sendiri adalah agama dalam tindakan untuk mencari jalan keselamatan (salvation).
Keselamatan adalah tujuan dari kehidupan beragama dan juga dari serangkain ritual yang dilakukan oleh agama-agama. Agama praksis yang terdapat dalam ritual menjadi cermin dari serangkaian aktivitas pendukung ritual tersebut. Ritual, upacara, dan ritus-ritus yang dilakukan pemeluk agama pasti mempunyai mitos tertentu. Selain itu, dalam ritual terdapat hubungan erat antara mitos, suatu dongeng suci dari suatu bangsa dengan aktivitas ritual, tingkah laku moral, organisasi sosial, bahkan aktivitas politik suatu masyarakat (Dhafamony, 1995; Malinowski dalam Suhardi, 2009: 12).
Meriah dan Getir
Meriahnya pelaksanaan ritual kini di Bali bisa dilihat dari dua sisi. Sisi pertama bahwa kemegahan dan rutinitas ritual menjadi pentas legitimasi bagi kebudayaan Bali dan kolektivitas (semu) para pendukungnya. Dibalik pentas ritual tersebut, kita sejatinya diajak untuk menyaksikan perilaku agency (para agen, orang-orang) dari berbagai macam kepentingan, yang menjadikan ritual sebagai pentas status dan kekuasaan.
Sisi dibaliknya adalah bahwa kemegahan ritual “menundukkan” manusia Bali untuk terus tersingkir dalam dunia yang berubah. Ritual “mendiamkan” kekritisan manusia Bali untuk “melawan” politik busuk pariwisata misalnya. Tanah-tanah mereka perlahan-lahan dicaplok para investor dan tukang kapling yang rakus melalap kehidupan manusia Bali. Kedua-duanya berjalan beriringan: ritual megah tiada henti, tanah-tanah manusia Bali terus tergadaikan.
Pada sisi yang lain, persoalan kematian yang kini meriah dengan berlangsungnya Ngaben Massal dan ritual berkelompok lainnya, menjadi hal yang kompleks. Santikarma (2004) menuliskan bahwa berakhirnya hidup di Bali tidaklah sederhana. Di dalamnya juga persoalan sosial yang berhubungan dengan soal status. Upacara kematian memunculkan argumentasi seperti sejauh mana besar skala upacara? Siapa yang memimpin upacara? Pendeta brahmana atau bukan? Berapa tinggi usungan jenazah?
Bagi mereka yang anggota keluarganya raib akibat pembantain massal 1965 kekisruhan muncul dalam menentukan status kematian: apa kematian mereka dianggap sebagai salahpati (bunuh diri) atau ulahpati (kecelakaan)? Keputusan ini nanti berpengaruh terhadap rangkaian sarana sesajen atau banten yang akan dipakai.
Ritual ngaben bagi keluarga yang ditinggalkan belum tentu berlangsung lancar. Banyak orang-orang Bali yang terkena musibah kematian harus tertimpa tangga bersitegang untuk mendapatkan setra(kuburan) untuk ngaben. Tidak tanggung-tanggung kemarahan warga ditunjukkan dengan menggeletakkan jasad di tengah jalan atau bahkan menghadang warga yang “bermasalah” untuk menguburkan atau meng-ngaben-kan jasad di setra. Lemparan batu dan umpatan pada sesama krama (warga) satu desa tidak sulit dilakukan karena dianggap telah melanggar awig-awig dan tidak memenuhi kewajiban sebagai kramaadat.
Jurang Kebersamaan
Spirit kebersamaan yang kental pada komunitas Hindu Bali modern menyisakan pertanyaan. Pertanyaan itu berhubungan dengan sampai sejauh mana kebersamaan itu mengakomodasi kemerdekaan individu (pribadi). Memeteng (berjalan menutup mata) membela mati kebersamaan menanggung resiko yang besar. Pada titik tertentu kita menjadi menafikkan perbedaan dan suara lain di luar nilai-nilai kebersamaan yang kita bangun sendiri.
Pikiran saya menerawang jauh membayangkan kisah I Gede Abraham yang menjadi pelopor pendirian gereja di Dusun Bukit Sari, Desa Songan B, Kintamani, Bangli. Ia adalah penganut agama Kristen sejak tahun 1993-1994 dan kemudian mendirikan gereja pada tahun 1996 yang didukung 14 Kepala Keluarga (KK) dan kini tersisa 8 KK.
Awalnya Gede Abraham adalah seorang Hindu, bahkan menjadi pemangku dengan nama Mangku Printis. Keinginan Gede untuk terus mencari kesejatian diri membawanya berlabuh ke ajaran Kristen. Meski memilih jalan (agama) berbeda, Gede masihlah seorang manusia Bali. Ia tetap aktif dan terlibat dalam kegiatan sosial dan adat di desanya. Begitupun warga desa lainnya, akan datang membantu saat Gede dan warga Kristen lainnya merayakan Natal (Ketut Eriadi Ariana, “Penganut Kristen dan Hindu Hidup Harmonis, Pesan Pluralisme dari Balik Bukit Kintamani”, Pos Bali, 15 Juli 2019).
Bagaimana kita memaknai jalan (agama) yang dipilih Gede Abraham?
Kita sudah tahu sama tahu bagaimana spirit toleransi dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat di Bali. Saya sempat mendengar bagaimana beberapa daerah di Bali sangat kental pengaruh dari agama Kristen, Katolik, dan sudah tentunya Muslim. Meski berbeda, beberapa diantara mereka masih mengikatkan diri (identitas) dan budayanya dengan Bali.
Jadi, singkatnya, jalan keberagaman adalah Bali itu sendiri. Bali itu sejatinya adalah keberagaman itu. Tidak ada Bali yang tunggal sebagai Hindu Bali, meski sebagai mayoritas di Pulau Bali. Bali, dengan vitalitas dan kelenturannya, mengadaptasi keberagaman sebagai spirit untuk menghidupkan Bali di masa depan. Meski, usaha untuk mengokohkan bahkan membekukannya terus terjadi.
Seringkali kita mencari perlindungan melalui kebersamaan. Solidaritas social kita terikat melalui kebersamaan melalui berbagai lembaga yang kita buat. Tujuannya adalah membentengi kita dari pengaruh luar yang kita anggap negatif. Kebersamaan juga menjadi modal social yang sangat mudah digerakkan untuk tujuan pragmatism politik tanpa sadar. Tapi kita lupa bahwa cara berpikir kebersamaan itu melahirkan “perlawanan” justru dalam dirinya. Sayangnya, justru ancaman selalu dipikirkan datung (selalu) dari luar.
Ida Bagus Dharma Palguna dalam salah satu esainya, Jalan Raya dan Jalan Alternatif (2007: 17) mengandaikan bahwa kehidupan beragama tidak ada bedanya dengan situasi jalan raya. Seperti di jalan raya, jalan raya agama juga sering terjadi terjadi tabrakan. Banyak juga kepentingan yang ada di jalan agama ini. Tidak sedikit juga korban yang berjatuhan, dari harga diri sampai hak untuk mengekspresikan diri. Maka sangat manusiawi ketika satu dua orang akhirnya meninggalkan jalan raya agama. Mereka membuat jalannya sendiri. Semakin ganas sebuah “jalan raya”, semakin banyak orang terilhami mencari “jalan alternatif”.
Sikap kita terhadap saudara yang memilih jalan alternatif inilah persoalannya. Akarnya adalah kegandrungan kita untuk “mencari Tuhan secara bersama-sama”. Meski kita menganggapkan sebuah kebangkitan agama (Hindu), justru di sinilah letak permasalahannya. Kebersamaan yang harmonis dijaga rambu-rambu yang semakin hari semakin keras sangsinya. Tujuannya mengantisipasi kompleksitas akibat kemajuan dunia. Yang menjadi legitimasi adalah lagi-lagi kebersamaan, kepentingan bersama (Palguna, 2007: 18).
Jika kita memaknai toleransi hanya dalam kungkungan kebersamaan, kita terancam mensederhanakan persoalan. Kebersamaan akan dilawan dengan kebersamaan. Sekat dan saling curiga adalah sumbunya. Apinya sudah pasti adalah kekerasan itu sendiri. Kolektivitas, meski mempunyai vitalitas yang tidak diragukan lagi, mempunyai resiko menafikkan perbedaan. Justru kebersamaan-kebersamaan inilah yang dipelihara, yang berisi massa rakyat, yang hanya sekadar massa yang mudah untuk diekspoitasi untuk berbagai macam kepentingan politik yang licik dan picik.
Bisakah kita bertoleransi dengan pilihan hidup dan agama dari I Gede Abraham? Apa hakekat untuk mempraktikkan toleransi tersebut?
Kita diingatkan oleh Palguna (2007: 67-68) bahwa agama bukanlah tujuan, tapi sarana sekaligus cara untuk mencapai tujuan. Pilihan pada satu atau beberapa cara adalah konsekuensi dari institusionalisasi agama tersebut. Pelembagaan satu cara dan perkembangannya kemudian melahirkan tradisi. Sebagai sebuah lembaga, setiap tradisi pasti ingin mempertahankan dirinya.
Pada hakekatnya, pencarian Tuhan adalah urusan pribadi. Pencarian Tuhan di dalam dan di luar diri adalah perjuangan pribadi. Tuhan itu adalah kesunyian yang juga hanya bisa didekati dengan kesunyian itu sendiri.
Jadi, akar toleransi adalah penyerahan diri kepada kesunyian dan kesadaran bahwa pencarian (agama) Tuhan adalah urusan pribadi. Hanya dengan demikian kita akan melepaskan tujuan dan motif picik atau negatif kita terhadap orang lain. Dalam kondisi seperti ini, kita telah melampaui pelembagaan agama dan tradisi, apalagi “hyme kebersamaan”. [T]