Saya ingin begini. Saya ingin begitu. Ingin ini itu banyak sekali. Itu kalimat seperti lagu masa kanak-kanak tentang kantong ajaib yang berisi segala jenis benda-benda hasil penemuan manusia paling muktahir. Ini memang tentang keinginan yang tidak ada ujungnya. Benar memang pertanyaan, apa yang lebih banyak dari rerumputan? Jawabannya adalah keinginan.
Keinginan bisa bekerja dengan cara yang aneh. Jika keinginan itu dihilangkan, orang yang memilikinya akan kebingungan. Tidak tahu lagi apa yang sesungguhnya ingin dicapainya dalam hidup. Impian seperti habis, tujuan seperti sudah tercapai. Ingin berjalan ke kanan, tapi bukan itu tujuannya. Belok kekiri, juga bukan. Lurus atau balik arah juga tidak jelas.
Dalam banyak kasus, segala jenis keinginan itu bisa mengarahkan orang untuk melakukan sesuatu yang bahkan sulit dicerna. Keinginan untuk tidak sendiri, bisa membuat orang hiperaktif untuk menarik minat sekelilingnya. Keinginan untuk menyendiri, mengakibatkan orang terkesan ketus tiap menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Keinginan untuk kaya, bisa membuat orang melakukan penipuan. Keinginan untuk selamat, bisa membuat orang mencari pembenar, meski segala yang dilakukannya melanggar kepercayaan yang sudah ia yakini. Dengan demikian, kita sudah punya aktor yang bisa kita salahkan atas segala hal.
Kalau begitu, mari kita pelan-pelan menghilangkan keinginan. Tapi awas, tiap usaha yang dilakukan untuk menghilangkannya justru bisa hilang dengan sendirinya. Bagaimana ini? Makanya, hati-hati dengan keinginan. Jika ia terus diikuti, bukan tidak mungkin nanti pengikutnya jadi sengsara. Seperti laron yang terus mengikuti nyala api. Sayapnya bisa terbakar.
Mirip burung yang selalu memburu makanan lezat, tidak tahu dia kalau makanan yang diburunya ditaruh di dalam keranjang jebakan. Setelah terjebak, bingunglah dia. Bertanya-tanya dalam hati, “mengapa aku dijebak begini?”. Burung sering dijebak karena ia punya suara yang indah. Sayangnya, burung tidak tahu kelebihan itu.
Kelebihan memang bisa menjadi sumber malapetaka jika tidak disadari. Di sana letak lebihnya, di sana pula letak kurangnya. Bulan sinarnya lembut, kurangnya karena ada gambar kelinci di dalamnya. Bagaimanapun juga, bulan dan gambar kelinci turut pula memperindah malam. Jadi dewi malam yang bernama Sang Hyang Rohini itu, bisa lebih indah sekaligus menyeramkan.
Keinginan manusia, selalu berhadapan dengan godaan yang seperti lautan luas yang tidak pernah surut. Keinginan untuk mendapat ketenangan ditempuh banyak orang dengan merenung sambil menerka-nerka. Di dalam diamnya yang seperti gunung itu, orang banyak membiarkan gejolak terkaannya menilai-nilai segala sesuatu yang dialaminya. Sayangnya, karena asik menerka, ketenangan jadi hilang, dan ia lupa tujuan yang sesungguhnya. Telinga Cangak saya yang mungil ini saat mendengar cerita semacam itu, jadi sedih dan sekaligus ingin tertawa. Sedih karena fenomena itu sering terjadi pada diri sendiri. Tertawa karena ternyata saya tidak sendiri begitu.
Kecenderungan insting Cangak memang begitu. Senang sekali melihat kesusahan yang dialami orang. Lalu bersedih tersungut-sungut karena kebahagiaan orang. Insting semacam itulah yang selalu coba saya singkirkan. Hidup terasa jadi tidak berguna karena sifat yang demikian. Meskipun saya tidak bisa dikatakan berhasil menghilangkannya, setidaknya saya sudah berhasil mengetahuinya. Mengetahui sifat adalah salah satu langkah preventif agar di masa depan tidak terjerumus ke dalam lubang hitam yang terkesan membahagiakan.
Keinginan itu seperti raja, ia memerintahkan agar selalu dilayani. Selain pelayanan, ia juga senang jika disanjung-sanjung. Dipuji-puji bak dewa sakala. Kegemarannya mencela kekurangan orang. Kalau sudah mencela, bahagianya minta ampun. Giliran ia dicela, marahnya seperti mau kiamat. Cilakanya, sang keinginan selalu punya cara untuk menutupi kebusukannya. Caranya gampang saja, yaitu dengan menunjukkan segala kebaikan-kebaikan. Itu jurus paling jitu untuk menutupi.
Cara lainnya adalah dengan mencari-cari kesalahan orang. Cara selanjutnya dengan berlindung atas nama Tuhan. Kata-katanya selalu menuturkan tentang cara mati yang benar. Juga cara hidup yang paling benar. Menurut dirinya. Konon juga buanyak sekali ajaran yang sudah dipahaminya bahkan sampai ke akar-akar. Cara lidahnya berbelok sudah sangat halus, sehingga pendengarnya tidak akan tahu kapan ia akan menikung dari belakang.
Yang begitu-begitu, tidak akan sadar meski ditertawakan. Jangankan yang tertawa hanya satu orang, satu banjar pun yang tertawa dia tidak akan sadar. Kata mengalah tidak ada dalam kamusnya. Karena mengalah berarti lebih bodoh dari yang mengalahkan. Jangan sampai terlihat bodoh di depan banyak orang. Apalagi di hadapan orang-orang yang sudah terlanjur memanggilnya guru.
Guru artinya berat. Kata romantis semacam itu dipahami oleh seluruh umat manusia yang belajar tentang guru-murid. Tapi kok banyak yang suka disebut guru? Oh, mungkin karena dengan sebutan guru, wibawa lebih terjaga. Kaki lebih ringan melangkah. Senyum jadi lebih lebar. Meski tugasnya berat, tapi bisa diserahkan kepada murid yang dididik.
Menyerahkan pekerjaan kepada murid adalah salah satu cara guru untuk memeriksa anak didiknya. Sang Arunika diperiksa dengan memberikan pekerjaan di sawah. Sang Utamanyu diperiksa dengan menugaskannya menjaga lembu. Sang Weda ditugaskan menjaga dapur. Ketiganya adalah murid baik yang menuruti perintah gurunya. Jadi mereka diberikan ilmu super dahsyat oleh Bhagawan Domya. Artinya, yang akan diberikan ilmu adalah murid-murid penurut. Demikian cerita memberitahu kita tentang murid-murid dan guru ideal. Beda dalam cerita, beda lagi dalam fakta. Kita sudah tahu apa yang terjadi antara guru-murid, tapi selalu kita pura-pura diam tidak mengetahuinya. Bagi mereka yang tahu, keseringan otoritas tidak ada di genggamannya.
Tidak sedikit yang ingin menjaga kebaikan, tapi karena alasan otoritas, hasilnya tidak ada. Mirip seperti lilin yang jatuh di lautan. Keinginan yang besar tidak diikuti oleh kemampuan. Banyak anak-anak yang besar keinginannya menjadi murid, tapi para guru yang konon mengabdi tanpa tanda-tanda jasa juga harus berurusan dengan isi perut. Pengetahuan masih begitu mahal di negara telaga ini kawan-kawan. Itu kenyataannya. Meski pahit, harus kita telan sama-sama.
Banyak juga yang mengikuti keinginanya untuk mengabdi pada negara. Tapi kemudian ia terkulai lemas seperti teratai tanpa air yang berharap dapat memeluk langit. Petani kata hanya mampu bicara. Yang dipelosok, semakin terperosok. Dan kita adalah orang-orang berdosa karena membiarkan kekejaman intelektual menyerobot hak-hak mereka.
Pada akhirnya kita haruslah mulai memikirkan lagi, tentang banyak hal. Terutama apa jadinya negara telaga ini tanpa anak-anak ikan yang cerdas? Kecerdasan adalah kekuatan. Kekuatan adalah kunci pembuka pintu yang berabad-abad tertutup rapat. Jangan lupa, kecerdasan harus dilengkapi dengan rasa. Kalau tidak, kita hanya akan jadi raksasa yang pura-pura jadi dewa[T]