Segelas jus alpukat dan tempe penyet lengkap dengan sayur rebusnya menemaniku malam ini di tengah kota Banyuwangi. Taman Sritanjung yang tak pernah sepi dari pengunjung. Di tempat inilah saya mengisi perutku yang sedari tadi keroncongan. Tentu malam ini saya tak sendiri. Selain hidangan makan malam ala kadarnya seorang kawan seperjuangan turut hadir di malam ini.
Dialah Faruq Hasan. Seorang kawan yang doyan selfie tapi hasil gambarnya tak pernah di unggah di wall Instagram. Dan hal yang sering membuat kami cek-cok yaitu ketika dia memintaku untuk memfotonya, ia merasa puas dengan hasil jepretanku. Namun sebaliknya, giliran saya yang minta difoto gambar yang dihasilkan tak sesuai dengan yang kuharapkan. Apes bukan?! Ya, begitulah.
Suasana yang benar-benar berbeda. Jujur, saya merindukan suasana seperti ini. Bersama dengan derunya kendaraan, samar-samar lantunan pujian islami dari masjid agung di seberang jalan yang menyejukkan hati. Kerlap-kerlip lampu kota yang seakan menyiratkan kenangan dimasa lalu. Pandanganku tertuju pada sosok ibu-ibu penjual rujak di ujung trotoar.
Beberapa kali ia tersenyum ramah kepada pelanggannya. Walaupun wajahnya mulai keriput, sungguh senyuman yang hangat. Bukan maksud saya tertarik dengan penjual rujak tersebut, saya hanya merindukan kekasihku yang telah lama meninggalkanku. Oke fix! Maaf jika malam ini aku merindukanmu, ibu… ibu… oh, ibu….
Ini kali pertama saya melangkahkan kaki di Taman Sritanjung. Jadi, Faruq mengajakku untuk diam sejenak menikmati pemandangan malam di kota Banyuwangi. Setelah kami menghabiskan makan malam, kami beranjak dari tempat dan mencari bangku yang kosong untuk beristirahat, dan beberapa kali meributkan hasil gambar yang tak sesuai harapanku. Entahlah, mohon dimaklumi diriku yang anak medsos ini.
Muncar
Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan setelah beberapa kali main jeprat-jepret di pinggir jalan yang dihiasi lampu warna-warni. Tapi zonk, karena hanya menggunakan kamera di gawai jadi hasil jepretan pun tak karuan.
Muncar adalah tujuan kami. Muncar terkenal dengan ikan segarnya. Hal ini karena di Muncar terdapat pelabuhan kapal-kapal para nelayan. Jadi ditempat inilah pusat penghasil ikan segar yang ada di Banyuwangi. Selama ini saya tahunya hanya nama salah satu kecamatan saja, bukan mengenalnya dengan hasil laut yang melimpah.
Jarak tempuh antara tempat tinggal Faruq dan pusat kota Banyuwangi lebih kurang satu jam. Ini adalah kali kedua saya untuk bersilaturahmi di rumah Faruq. Motor astrea hijau hitam ini melaju begitu cepat. Dengan kecepatan yang lumayan, beberapa kali saya tersontak kaget akibat dari jalan yang berlubang. Lebih menariknya lagi, jalan menuju desa dimana Faruq tinggal ini lumayan ekstrim. Sisa-sisa jalan yang diaspal mulai rusak, jika diperhatikan yang terlihat hanya bongkahan-bongkahan batu yang lumayan tak kecil.
Tujuan saya bermalam di rumah kawanku ini selain untuk menikmati liburan semester juga mempunyai maksud lain. Yaitu sebagai tempat singgah sesaat ketika saya hendak pulang ke kampung halaman. Jadi memanfaatkan waktu sebelum tiket keberangkatan kereta ke Surabaya. Ya, itung-itung menikmati masa muda juga.
Malam yang di dingin. Rasanya ingin cepat sampai dan merebahkan badan dan tertidur lelap. Di rumah kawanku ini tepatnya di dusun Curah Pacul, desa Tambakrejo, Kecamatan Muncar. Malam itu pun saya dipersilakan tidur setelah kami sampai di rumah.
Ketika bangun pagi, telah terhidang segelas teh hangat dan sepiring gorengan. Rupanya ibunya Faruq telah menghidangkan untukku. Ku seruput segelas teh dan kusantap ote-ote hangat.
Wisata Desa Adat Osing Kemiren
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, maka saya pun diajak jalan-jalan ke salah satu desa bersejarah yang ada di Banyuwangi. Yaitu Desa Adat Osing Kemiren. Untuk menuju ke tempat tersebut berjarak 1 jam berkendara dari rumah Faruq.
Desa Kemiren berasal dari kemiri dan duren. Di mana tempat ini dulunya banyak tumbuh pohon kemiri dan durian. Desa Kemiren dihuni oleh masyarakat Suku Osing yang merupakan suku asli Banyuwangi atau sisa masyarakat Blambangan. Kepala desa yang pertama kali memimpin desa ini adalah Walik yang menjabat pada tahun 1657. Dan bahasa keseharian menggunakan Bahasa Osing.
Bahasa Osing itu sendiri gabungan dari Bahasa Jawa, Bali, dan Madura. Seperti Bahasa Bali “sing nawang” kemudian Bahasa Osing “sing weruh” yang sama-sama memiliki arti “tidak tahu”. Hampir memiliki kesamaan bukan?! Begitu kata salah satu pemuda yang kutemui waktu di desa Kemiren.
Desa yang sama dengan desa-desa pada umumnya. Berisi pohon-pohon di tepi jalan dan rumah-rumah warga desa jawa timuran. Tapi saya penasaran, kami melanjutkan untuk menyusuri sepanjang desa ini. Saya tak menemukan aroma-aroma adat atau bangunan-bangunan bersejarah. Kami akhirnya memasuki wahana Desa Wisata Using dengan tiket masuk seharga Rp. 10.000,- per orang.
Di dalamnya hanya terdapat kolam renang dan arena perkemahan. Saya tak melihat ada bangunan bersejarah, hanya saja beberapa tempat singgah seperti bangunan-bangunan rumah desa seperti umumnya. Rasa penasaranku masih belum terbayar.
Saya mengajak Faruq untuk keluar dari tempat tersebut. Penasaranku makin memuncak, karena saya tak ingin pulang nanti tidak membawa cerita dari tempat sejarah ini. Kemudian saya bertanya kepada penjaga loket yang ada di tempat ini. Akhirnya saya mendapat petunjuk dari bapak Penjaga Loket. Memang di desa ini ada sebuah rumah peninggalan nenek moyang yang masih ada hingga sekarang ini.
Untuk menempuh ke rumah tersebut harus mesuk ke gang sekitar 200 meter dari jalan utama. Dan benar saja desa ini hanya terdiri dari beberapa rumah saja. Dekat dengan persawahan. Hanya terdapat sekitar 12 rumah di desa yang konon katanya peninggalan Mbah Buyut Cili. Nama rumah ini adalah rumah tikel. Di desa ini masih sangat alami. Hanya terdapat satu kamar mandi umum dan mushola. Itu pun jarang difungsikan. Penghuni desa ini lebih suka beraktifitas di sungai seperti mencuci dan mandi.
Lesung untuk menumbuk padi masih bisa kita lihat di desa ini. Dapur yang masih terdapat tungku untuk memasak. Dan warga desa ini semuanya petani. Tradisi yang cukup unik bagiku yaitu ketika warga desa tetangga memiliki hajatan, maka akan terdengan bunyi sound dari tempat orang tersebut punya hajat. Maka secara otomatis bagi siapa saja yang mendegarnya, maka akan datang diacara tersebut. Walaupun tanpa adanya undangan.
Buyut Cili
Kami berbincang-bincang sejenak dengan salah satu pemuda yang ada di desa ini. Bahwa tidak jauh dari area desa ini terdapat punden Buyut Cili. Konon beliau merupakan penghuni pertama di desa Kemiren.
Tinjauan secara mitologi keberadaan dari desa ini tak bisa dilepaskan dengan keberadaan Buyut Cili. Nenek moyang atau danyang desa yang telah menjadi punden desa Kemiren. Masyarakat sekitar percaya bahwa Buyut Cili merupakan orang yang memiliki kekuatan sakti dari Majapahit yang memeluk agama Hindu.
Mitosnya nama “Cili” yang dalam bahasa Osing berarti “pelarian”. Ikhwal kisah, Buyut Cili adalah Pendeta Hindu-Budha. Namun berdasarkan versi lain meriwayatkan bahwa Buyut Cili menghuni ke desa Kemiren akibat tekanan dari kerajaan Demak.
Selain itu dikisahkan pula bahwa konon di desa Kemiren terserang wabah penyakit yang cukup mengerikan. Tidak sedikit dari orang sakit di pagi hari, kemudian sore meninggal. Melihat hal demikian, Buyut Cili segera meminta pertolongan dari Sang Maha Agung. Kemudian didapatkan sebuah petunjuk untuk melakukan selamatan. Dalam melakukan selamatan tersebut hendaknya terlebih dahulu menampilkan arak-arakan Barong untuk menolak bala (bencana). Dulu, Barong itu sendiri disebut sebagai binatang mistis yang merupakan binatang peliharaan Buyut Cili.
Petilasan Buyut Cili terdapat sekitar 50 meter dari perumahan warga. Hingga sekarang petilasan ini masih dikeramatkan dan banyak pengunjung yang berdatangan, terutama malam Jumat dan Minggu sore. Sebelumya petilasan ini menurut kepercayaan warga sekitar, ruh dari Buyut Cili tidak ingin untuk petilasannya dibangun.
Dan anehnya tidak ada aliran listrik yang mengalir di petilasan Buyut Cili. Beberapa kali warga sekitar mencoba untuk memasang listrik, namun tetap saja listriknya mati dan tidak bisa dinyalakan. Terakhir saya berkunjung ke petilasan ini Minggu, 30 Juni 2019 dan masih tidak ada aliran listrik di tempat tersebut.
Menyempatkan bermain di Banyuwangi sebelum menjelang pulang ke kota Tuban kelahiranku hari itu sungguh mengobati rasa penasaranku terhadap desa Kemiren yang menyimpan banyak sejarah dan kemistisannya. Selain itu menambah wawasan dan pengetahuan saya. Cocok deh jika Kabupaten Banyuwangi dijadikan sebagai Kota Welas Asih, yaitu kota yang sangat menghargai nilai-nilai kasih sayang, humanisme, dan kebhinekaan. [T]