BEBERAPA saat setelah terjadi gempa bumi dengan kekuatan 7.0 SR yang berpusat di kawasan Pulau Lombok, Minggu 5 Agustus 2018, malam, seorang teman ahli kegempaan yang sedang menempuh pendidikan di Jerman, Made Kris Adi Arta, menulis status di laman facebook-nya:
Tentang gempabumi Lombok dan potensi yang dibangkitkan dari zona “patahan belakang busur kepulauan/back arc thrust” telah kita diskusikan bersama 22 November 2015 lalu di Puri Kanginan Buleleng. Pun catatan itu ada dalam sebuah lembaran yang tersimpan di Puri dengan aksara Bali dan latin.
Saya membaca status Kris di facebook bukan karena saya di-tag (karena saya termasuk ikut hadir dalam diskusi 22 November 2015), melainkan karena saya memang sedang stay tune pada laman facebook yang bernama Made Kris AAstra itu.
Untuk urusan pengetahuan tentang gempa, saya paling percaya pada dia, tentu bukan karena ia paling tahu soal gempa, melainkan karena penjelasannya paling bisa saya pahami. Mungkin karena tergolong teman (meski tak seakrab teman lain), maka saya tak malu bertanya, dan Kris tak segan memberitahu.
Saya memantau status facebook Made Kris AAstra lebih karena cemas dan takut. Rumah saya di Singaraja berada di pesisir pantai utara Bali, berdekatan dengan laut. Begitu ada gempa, saya langsung terpikir soal tsunami. Maka, saya selalu membuka laman facebook Kris, selain tentu saja membuka laman-laman resmi dari BMKG.
Pada Minggu malam itu, usai gempa Lombok, saya baru merasa tenang setelah Kris mengunggah pengumuman dari BMKG bahwa: “Peringatan dini TSUNAMI yang disebabkan oleh gempa mag:7.0 SR, tanggal: 05-Aug-18 18:46:35 WIB, dinyatakan telah berakhir::BMKG”
“Naga Gombang”
Penyebab gempa Lombok adalah patahan belakang busur kepulauan/back arc thrust. Jika tak salah tangkap dari sejumlah informasi di dunia online, patahan belakang busur kepulauan/back arc thrust itu terdiri dari lempeng bekas gunung purba dan material lain, yang kemudian rapuh atau lapuk, lalu bergeser.
Mungkin Naga Gombang dalam mitologi Bali merupakan analogi dari patahan belakang busur kepulauan back arc thrust itu. Jika patahan itu bergeser, maka kita bisa membayangkan seekor naga yang sangat besar dan panjang sedang menggeliat sehingga menyebabkan bumi bergoyang.
“Kak patahan itu ada melewati bali ga?” tanya seseorang di kolom komentar pada status facebook Kris.
“melewati di laut utara bali,” sahut Kris.
“Omg.. buleleng,”
Jadi, saya punya alasan untuk takut. Karena di laut utara Bali bersemayam “Naga Gombang”, yang panjangnya mungkin dari utara Jawa hingga Lombok. Di Lombok beliau sudah menggeliat, bergeser, menyebabkan goyangan 7.0 SR.
200 Tahun Gejer Bali
Tentang potensi yang dibangkitkan dari zona “patahan belakang busur kepulauan/back arc thrust” memang pernah didiskusikan bersama 22 November 2015 di Puri Kanginan Buleleng. Diskusi dengan tema ”200 tahun Gejer Bali”itu menghadirkan pembicara Made Kris Adi Astra dan penglingsir Puri Kanginan Singaraja Anak Agung Ngurah Sentanu.
Saya sendiri ikut diskusi itu, tapi terlalu ingat. Untung ada Made Nurbawa, penulis dari Tabanan yang juga kerap menulis di tatkala.co, mencatat diskusi itu dalam blognya madenurbawa.com.
Untuk mudahnya saya kutip sejumlah bagian dari tulisan Made Nurbawa dalam blognya itu. Atau blog Made Nurbawa bisa dibuka di http://madenurbawa.com/article/166085/eling-hidup-di-tanah-gempa-peringatan-200-tahun-gejer-bali.html
“Peringatan 200 tahun Gejer Bali” adalah momentum penting untuk mengenang kembali jejak sejarah Pulau Dewata. Tonggak 200 tahun diambil dari kisah turun temurun masyarakat dan catatan penting dalam Babab Buleleng atas peristiwa pilu gempa bumi dan banjir hebat yang melanda Singaraja pada tahun 1815 Kini tidak banyak yang mengetahui dan hirau, bahwa sesungguhnya penduduk Bali hidup di tanah gempa.
Dalam diskusi itu, Anak Agung Ngurah Sentanu menceritakan, tanggal 10-12 april 1815 Gunung Tambora di Sumbawa meletus hebat, menelan ribuan korban jiwa. Dampaknya mengglobal, dunia mengalami perubahan iklim ekstrim berbulan-bulan. Bagaimana dengan di Bali?
Tujuh bulan setelah letusan Tambora, anomali cuaca masih terasa di Bali. Malam Budha Umanis Kulantir, Rabu 22 Nopember 1815, di kawasan Bali utara dan tengah turun hujan lebat selama tiga hari tak henti-henti. Pada hari yang sama gempa bumi besar mengguncang bali utara selam 45 detik. Tanah pengunungan di sekitar Danau Buyan dan Tamblingan longsor, tanah dan pohon membendung laju air di alur sungai di pegunungan, lalu membentuk kantong-kantong air dan pecah menjadi banjir bandang.
Banjir kemudian menyapu Ibu kota Buleleng Singaraja disertai lumpur, batu dan pepohonan. Bencana ini mengakibatkan 10.523 korban jiwa. Pejabat penting kerajaan turut menjadi korban. Peta sejarah Bali utara pun berubah. Peristiwa gempabumi di Bali utara tesebut dicatat dalam babad buleleng dengan sebutan “Gejer Bali”. Peritiwa itu pun dicatat oleh orang Belanda Wichmann pada tahun 1819.
Dari pemaparan pembicara I Made Kris Adi Astra, banyak peserta diskusi baru memahami kalau di bawah kota Singaraja terdapat “Patahan belakang busur kepulauan yang merupakan pembangkit gempa bumi di laut bali”. Ini menjadikan Buleleleng beresiko terhadap gempa bumi dan tsunami.
Sejarah kegempaan Bali mencatat pernah terjadi gempa bumi mematikan pada tahun 1817, 1917, 1976 dan 1979. Dijelaskan gempa bumi tersebut juga berpengaruh dengan tekanan magma pada gunung-gunung di jalur ini. Bali dan Nusa Tenggara adalah gugusan pulau yang berada dalam jalur cincin api.
Secara turun temurun gempa bumi memberi pelajaran bagi warga, sebagian mempercayai semua itu sudah kehendak Yang Maha Kuasa. Warga secara turun temurun terus mengakrabi bencana, beradaptasi dan merekamnya dalam budaya. Salah satunya melalui arsitektur bagunan dan keyakinan, tersirat dalam tonggak-tonggak etika dan ragam upacara.
Ada kisah menarik tentang Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte. Karena cuaca buruk akibat letusan Tambora ia kalah perang di Waterloo, Eropa (Juni 1815). Juga sebuah buku berjudul Krakatoa yang ditulis Simon Winchester, ditulis tentang dasyatnya letusan gunung Krakatau (27 Agustus 1883) membuat peta politik dunia berubah.
Bahkan letusan gunung Krakatau konon menginspirasi terjadinya gerak perjuangan bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari cengkraman bangsa asing/penjajah, beberapa tahun berikutnya. [T]