“INI yang anjing dari teater! Karena banyak orang tersesat dan tidak bisa keluar!” pungkas Rendra Bagus Pamungkas dalam forum Srawung Gayeng #1 yang diselenggarakan oleh Forum Diskusi Kreatif milik Teater Ingsun, Universitas Sanata Dharma.
Itulah pernyataan yang dilontarkan Rendra ketika menjawab pertanyaan yang saya berikan dalam diskusi yang bertema “Memahami Tubuh sebagai Bahasa Nonverbal”. Saya mendapat kesempatan untuk bertanya bagaimana cara melepas karakter yang masih melekat pada aktor usai pementasan.
Pertanyaan semacam itu tentu saja sudah pernah dibahas oleh penggiat-penggiat teater yang lain atau bahkan sudah menjadi bahan perbincangan yang menarik ketika dibicarakan hanya di kantin kampus. Lalu setelah dibicarakan, apa yang selanjutnya harus dilakukan? Berdamai dengan karakter yang melekat, atau meninggalkannya dan menjadikannya sebuah arsip perbendaharaan karakter? Bagaimana jika tidak bisa kembali pada diri sendiri?
“Pertama kita harus tahu siapa diri kita. Ini tidak berbau filsafat. Ini benar-benar kita (harus) tahu kecenderungan diri kita. Kemudian, tokoh yang dimainkan memiliki kecenderungan apa? Kalau bisa itu dituliskan,” ungkapnya.
Di hadapan peserta diskusi yang antara lain adalah mahasiswa yang bergelut di dunia seni, Rendra menjelaskan bahwa dengan menuliskan itu semua diharapkan kita tahu cara kembali pada diri sendiri dengan melihat kecenderungan milik kita. Pemeran tokoh WR. Soepratman dalam film Wage (2017) ini juga mewanti-wanti jangan sampai kita merasa nyaman lalu membawa karakter itu dalam kehidupan sehari-hari.
“Dalam teater, naluri karakter yang kuat itu ditekan bukan untuk dihilangkan. Tetapi di-manage. Sehingga ketika dia muncul, itu sesuai kebutuhannya,” ungkapnya dalam diskusi yang berlangsung di Realino Hall, Sabtu (14/4/2018).
Dalam mengerjakan sebuah pertunjukan, Rendra mengaku selalu memberikan pesan kepada aktornya untuk tetap mendalami tokoh yang dimainkan dalam keadaan sadar. Kesadaran bahwa itu adalah pertunjukan yang diciptakan. Seni adalah produk dan manusia adalah penciptanya.
Selain itu, Rendra juga memberikan petunjuk lain yaitu dengan bermeditasi, jika seorang aktor masih susah melepaskan karakter yang dimainkan. Pria yang mengenakan topi biru dan kemeja bermotif kotak-kotak itu berbagi cerita tentang pengalamannya ketika memerankan sebuah tokoh.
Rendra bercerita bahwa sebelum dan sesudah pentas, selalu menyempatkan diri untuk bermeditasi. Meditasi sebelum pentas adalah tempat untuk menyimpan diri sendiri dan menjadi karakter yang dimainkan. Setelah memaikan sebuah karakter di atas panggung, meditasi selanjutnya adalah cara untuk memanggil kembali diri sendiri. Secara bersamaan, juga untuk melepaskan karakter yang baru saja diperankan, atau Rendra lebih suka menyebutnya, “… moksa-kan dia!”.
Mungkin kita pernah mendengar tentang rumor kematian Heath Ledger, pemeran tokoh Joker dalam film The Dark Knight (2008). Beberapa media menuliskan bahwa kematian tersebut diakibatkan karena ketidakmampuan Heath Ledger dalam melepaskan karakter Joker. Fenomena seperti itu kerap kali terjadi dalam dunia peran.
Tanpa menyinggung fenomena tersebut, Rendra mengatakan sesuatu yang masih memiliki hubungan dengan fenomena dalam dunia kesenian, utamanya dunia peran (teater). Rendra mengatakan, “Berkesenian adalah bentuk optimalisasi perasaan. Ketika itu optimal, maka seluruh komponennya akan masuk ke dalam diri kita. Maka dari itu harus ada filter. Jika tidak, tidak dipungkiri bahwa seorang aktor bisa gila.”
Di akhir diskusi, seniman tari, Mila Rosinta juga menanggapi dengan berbagi pengalamannya ketika harus mendalami tokoh dalam sebuah proyek film. Selama 6 bulan, Mila harus mendalami karakter menjadi kekasih seorang tokoh. Di sisi lain, Mila harus tetap menjaga kesadarannya akan hidupnya bahwa dia telah memiliki tunangan.
“Kuncinya adalah sadar. Kita harus ingat bahwa itu hanya sebuah proyek film atau pertunjukan,” pungkas penari yang memiliki nama asli Mila Rosinta Totoatmojo menutup jawaban atas pertanyaan yang saya lontarkan. [T]
Yogyakarta, 16 April 2018.