Siapa yang tidak kenal Lembar Kerja Siswa atau jamak disingkat LKS? Rasanya setiap siswa yang tengah menjalani pendidikan atau pernah melewati pendidikan formal di Indonesia akan akrab dengan kata Lembar Kerja Siswa.
Hal ini karena Lembar Kerja Siswa selalu hadir dalam setiap bagian kegiatan belajar mengajar di kelas, bahkan kata “LKS” sering kali jadi penentu nasib siswa di sekolah. Misalnya guru mata pelajaran tidak dapat hadir mengisi kelas, maka biasanya ada tugas mengerjakan LKS. Murid rajin akan duduk tekun mengerjakan LKS, yang agak malas akan bermain sembari menunggu teman menyelesaikan soal LKS dan menyalin jawaban pada LKS miliknya, yang sangat malas akan ke kantin tidak mengerjakan LKS.
Lembar Kerja Siswa juga jadi senjata paling ampuh bagi guru-guru yang (kadang) malas mengajar, “Anak-anak buka LKS-nya, kerjakan soal nomor 25 sampai 80.” Nah tipe guru seperti ini ada di dunia nyata dan seringkali jadi idaman anak-anak malas di sekolah.
LKS juga seringkali jadi alat hukum yang digunakan guru untuk “memaksa” anak-anak belajar. Ketika anak-anak nakal melakukan pelanggaran/kesalahan, maka mengerjakan LKS di ruang guru menjadi salah satu alternatif hukuman yang menyakitkan, keringat dingin bercucuran karena ditonton puluhan pasang mata guru-guru, ini sakit banget tapi tak berdarah.
Demikian sedikit hiruk pikuk peristiwa yang barangkali sering muncul dalam pikiran kita ketika mendengar kata Lembar Kerja Siswa (LKS). Tapi selama menuntut pendidikan formal kita tidak pernah mengenal betul apa itu LKS, kita hanya mengisi dan mengerjakannya. Baiklah kita sedikit ulas apa itu LKS.
Lembar Kerja Siswa (LKS) adalah lembaran yang berisi tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik. LKS biasanya berupa petunjuk, langkah untuk menyelesaikan suatu tugas, suatu tugas yang diperintahkan dalam lembar kegiatan harus jelas kompetensi dasar yang akan dicapainya (Depdiknas; 2004). Trianto (2008) mendefinisikan bahwa Lembar Kerja Siswa adalah panduan siswa yang digunakan untuk melakukan kegiatan penyelidikan dan pemecahan masalah.
Berdasarkan dua pengertian di atas maka LKS berwujud lembaran berisi tugas-tugas guru kepada siswa yang disesuaikan dengan kompetensi dasar dan dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Dapat pula disebutkan bahwa LKS adalah panduan kerja siswa untuk mempermudah siswa dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Hadirnya LKS tentu saja atas dasar niat mulia menyukseskan kegiatan belajar mengajar di kelas dengan guru sebagai pemandu/penuntun/pengajar/pengayom para siswa.
Lalu sejak kapan ada LKS di Bali? Tepatnya sejak sekolah formal mulai didirikan pemerintah kolonial, dan sistem pendidikan formal diberlakukan di lingkungan masyarakat Bumiputra sebagai salah satu bentuk “pertanggung jawaban” pemerintah Hindia-Belanda kepada masyarakat pribumi. Sebagai salah satu bagian dari politik etis mereka juga sih,,,
LKS pertama di Bali hadir dengan bahasa dan aksara Bali, penuh dalam aksara dan bahasa Bali tanpa sisipan bahasa Melayu atau bahasa Belanda. Bahasa Belanda sebagai keterangan buku LKS hanya muncul pada bagian sampul luar dan sampul dalam buku LKS ini. Judul buku LKS-nya Pamboekaning Toeas, Woordvorming en Balineesche-Taaloefeningen, artinya kurang lebih Pamboekaning Toeas, Pembentukan Kata dan Latihan Bahasa.
Buku ini terdiri atas dua seri, seri pertama terbit tahun 1915/1916, untuk edisi ini sampul depan dicetak dengan aksara Belanda (Latin), namun isinya tetap penuh dengan aksara Bali dan bahasa Bali. Buku edisi pertama ini mengalami cetak ulang pada tahun 1922, namun pada edisi cetakan ulang ini, sampul depan buku telah dicetak dengan aksara Bali. Buku seri kedua terbit di tahun yang sama namun berbeda dengan seri pertama, buku seri kedua ini sampul depannya telah menggunakan aksara Bali.
Secara visual dan tata letak, memang LKS pertama bahasa Bali ini sangat sederhana dan tanpa gambar ilustrasi. Desain sampul sangat sederhana, hanya ada tulisan dengan variasi 2 sampai 3 font berbeda juga dengan ukuran yang berbeda. Pada seri pertama cetakan pertama, sampul depan terdapat iluminasi yang sangat sederhana, pada seri selanjutnya iluminasi ini dihilangkan.
Barangkali percetakan tidak mau bersusah-suah menambahkan gambar pada sampul, juga barangkali sampul bergambar bukan hal yang lazim untuk buku-buku “resmi” yang dikeluarkan percetakan pemerintah kolonial. Buku ini dicetak oleh salah satu percetakan terbesar milik pemerintah kolonial, Landsdrukkkerij yang berkedudukan di Batavia. Percetakan ini pula yang banyak mencetak buku-buku keluaran pemerintah kolonial.
Penulis buku ini adalah I Made Pasek, seorang mantri guru yang bertugas di Singaraja tepatnya di sekolah tingkat II Singaraja dan sekarang berubah menjadi SD 2 Singaraja. I Made Pasek terbilang sebagai salah satu orang Bali yang punya kesempatan bersekolah di sekolah pelatihan guru (Kweekschool) yang didirikan oleh pemerintah kolonial di Surakarta, Yogyakarta, Padang, Makassar, Ambon dan Bandung.
Namun belum diketahui di sekolah pendidikan guru manakah I Made Pasek menempuh pendidikan. Kemungkinannya adalah di Yogyakarta, sebab lokasi ini paling dekat dengan Bali, juga materi ajar bahasa Bali dan Bahasa Jawa relatif dekat dari sisi kultural dan sosial.
Melihat judul dari judul buku, buku ini bukanlah buku materi belajar bagi siswa namun buku yang berisi latihan-latihan berupa soal. Kumpulan soal-soal yang terangkum dalam buku ini terdiri dari berbagai tipe soal. Yang dominan muncul adalah tipe soal menyebutkan jenis benda dengan menghadirkan kata kunci yang berkaitan dengan ciri-ciri, sesuatu yang dihasilkan, atau sesuatu yang umum melekat/digunakan pada objek yang ditanyakan. Contoh soal yang muncul di dalam buku diantaranya;
Indayang sambat apa-apa pada malelima, ané gobané:
Barak, selem, kuning, putih, gadang, klawu, poléng, plung, tangi, dadu, nasak gedang, blang, rangréng, gulaklapa, kuning nguda, gadang nguda.
Upami; ané magoba barak: gtih, kincu,…..
Contoh soal di atas meminta siswa untuk menyebutkan benda berdasarkan ciri fisik warna. Soal-soal pada buku ini disertai dengan contoh cara menjawab namun hanya pada contoh soal pertama saja, selanjutnya tidak disertai contoh menjawab. Beberapa kata yang berkaitan dengan warna di atas barangkali hari ini tidak dapat dipahami lagi oleh sebagian besar orang Bali terlebih anak mudanya.
Tipe soal lain yang muncul dalam buku ini adalah tipe soal melengkapi kalimat. Penulis menyiapkan kalimat yang tidak lengkap, dan peserta didik diharapkan mengisi titik-titik kosong guna melengkapi kalimat. Contoh tipe soal ini diantanya adalah:
Pragatang lengkaranéné:
Putih mletak buka…..
Ngrempayak buka…..
Sngitné amunan…..
Basangné kréyak kréyok buka….
I Cening dkah tur makohkohan, simbuha baan……
Tipe soal lain yang muncul adalah soal mencari sinonim atau nama lain sebuh objek, misalnya adalah:
Alih patunggalan kruna arané ané betén ténénan:
Pulo patunggalan…..
Kadutan patunggalan…
Tlabah soroh…..
Bubu soroh…..
Semua contoh soal-soal di atas sejatinya ditulis dengan aksara Bali, namun saya coba alih aksara menjadi aksara Belanda (Latin). Sehingga terbaca dengan mudah oleh pembaca tatkala yang budiman..
Buku LKS setebal 32 halaman untuk seri pertama, dan 34 halaman untuk seri kedua, memberikan gambaran yang cukup terang tentang pola pengajaran bahasa Bali pada masa kolonial. LKS ini tentu saja membantu mengaktifkan siswa dalam proses kegiatan pembelajaran serta membantu siswa mengembang konsep-konsep yang sangat dekat dengan kesehariannya.
Hal lain adalah melatih siswa untuk menemukan dan mengembangkan ketrampilan melalui proses pembelajaran. Terpenting adalah, siswa menemukan dan belajar tentang sesuatu/konsep yang sangat dekat dengan keseharian mereka, bukan konsep yang jauh atau sama sekali tidak terjamah oleh keseharian mereka, yah,,,,seperti kebanyakan LKS bahasa Bali hari ini. Informasi tentang konsep yang dipelajari oleh siswa melalui LKS bahasa Bali hari ini begitu jauh dari keseharian peserta didik.
Tipe soal yang ditampilkan dalam buku LKS Pamboekaning Toeas ini juga sangat sederhana dan mudah dimengerti. Petunjuk serta soal dibuat dengan singkat dan jelas, namun dengan pola seperti ini siswa akan lebih mudah menangkap maksud soal serta mudah menemukan dan mengembangkan konsep.
Penyusunan LKS ini barangkali mengikuti pola-pola penulisan buku yang telah menjadi standar pada sekolah-sekolah formal milik kolonial, istilah sekarang adalah kompetensi inti, indikator, atau standar proses. Sebab apapun itu, kebutuhan pemerintah kolonial adalah menjaga daerah koloninya tetap berada dalam standar yang mereka miliki. Mendidik masyarakat Bumiputra dengan pendidikan formal semata untuk kebutuhan mereka sendiri dan sangat bersifat pragmatis, hal ini disampaikan J. A Wilkens, seorang pegawai pemerintah kolonial yang ahli di bidang pendidikan bahasa Jawa.
“Pendidikan untuk penduduk Bumiputra semata-mata harus bertujuan praktis. Tujuannya bukan untuk melatih penduduk Bumiputra memperoleh pengetahuan yang dalam mengenai bahasa mereka. Tujuannya tidak lebih mengajarkan mereka membaca dan menulis dalam bahasa mereka sendiri dan bahasa Melayu, sehingga cukup dapat digunakan untuk tugas-tugas kepegawaian”
Penjajah tetaplah penjajah, kebutuhan mereka adalah mempertahankan jajahan dan dominasi atas wilayah jajahan mereka. Pendidikan untuk tujuan pragmatis semata, memenuhi kebutuhan penguasa dan pengusaha, dan ini berlanjut hingga hari ini [T]