Hari menjelang sore, matahari tepat berada setara dengan mata saat memandang lurus. Saya sedang duduk di pinggir pantai, suara deburan ombak saling kejar-kejaran. Angin sepoi-sepoi, bau amis air laut menyengat ke hidung.
Di belakang saya tepat ada candi berbentuk kubus kira-kira tingginya 10 meter, dan ada beberapa anak tangga di tengahnya. Tepat di depan candi ada tugu penyu, dan di sekitarnya ada batu-batu besar berukuran genggaman tangan sampai sebesar kepala.
Saat itu, Jumat 5 Juli 2019, saya sedang berada di desa sebelah timur kota Singaraja, yaitu Desa Tejakula. Dari kota Singaraja menuju Desa Tejakula kurang lebih 45 menit perjalanan menggunakan motor.
Ada acara yang sangat kecil sedang berlangsung di sana, acara memperingati peradaban megalitikum sedunia, saya tidak tau pasti apa arti peradaban megalitikum tersebut. Tapi sempat dijelaskan sedikit oleh Ibed Surgana Yuga atau yang sering saya akrab memanggilnya Bli Ibed, dia menjelaskan bahwa memperingati peradaban megalitikum tersebut adalah seperti menghormati sebuah fenomena alam berbentuk batu besar.
Hari itu adalah perayaan peradaban megalitikum sedunia, yang tentunya tidak hanya diperingati di Indonesia saja.
Tapi saat berangkat ke Tejakula saya malah tidak mengetahui hal tentang tersebut, karena awalnya saya mendatangi acara itu berawal dari ajakan teman teater saya. Katanya sih hanya sekedar pentas repertoar kecil saja. Saat sampai di sana baru saya mengetahui hal tersebut.
Saat acara berlangsung kebetulan juga kedatangan salah satu maestro tari Bali bernama Ibu Putu Menek, kebetulan juga beliau sedang menjadi salah satu maestro yang dipilih dalam program Kemendikbud bernama BBM (Belajar Bareng Maestro). Para pesertanya adalah siswa SMA-SMK sederajat yang kebetulan menggulati kesenian. Dan mereka juga berasal dari berbagai daerah di Indonesia seperti Lampung, Aceh, Maluku dan berbagai propinsi lainya.
Acara berlangsung sangat sederhana, hanya mementaskan repertoar kecil atau bisa dikatakan seperti hasil persentasi belajar. Dan itupun dilakukan karena kemauan sendiri saja, tanpa ada paksaan.
Karena kalau kita lihat juga pada era kesenian saat ini. Jarang sekali ada ruang yang seperti ini, sangat sederhana apalagi di daerah terpencil. Tak ada undangan pasti, tak ada lebel penonton pasti. Banyak juga latar belakang berbeda pada acara kali ini, ada penari, aktor bahkan pemusik sekalipun bergabung secara suka-suka disini.
Sepertinya misalnya saya, yang datang ke acara ini menggunakan kaca mata saya sebagai aktor. Banyak sekali pengalaman yang saya dapatkan di ruang seperti ini, ketika saya disadarkan oleh perkataan dari Bli Ibed.
“Pada biasanya ketika menjadi seorang perform pasti langsung belajar atau mencari contoh bentuk tarian atau apapun di internet seperti youtube, Instagram, atau facebook. Coba sesekali sekarang kita mencari contoh dari alam sekitar. Karena orang-orang tradisi dulu belajarnya langsung dari alam”.
Setelah mendengar perkataan seperti itu, saya membayangkan diri saya seperti orang yang sangat patut diprihatinkan. Jauh dari kota yang serba cepat, tak ada bising suara motor dan klakson. Tak ada bau polusi kendaraan, tak ada lagu disko, tak ada internet. Dan hanya mendengarkan suara deburan ombak, dan angin yang sepoi-sepoi berhembus dari laut ke daratan.
Saya seperti menjadi aktor yang sangat kedap suara, jauh dari label penonton jauh dari interpretasi sutradara hanya sendiri dalam keramaian yang mencoba mencari sebuah maksud dan contoh dari alam.
Saya seperti menemukan suatu perasaan yang sangat nyaman, benar-benar merasa sangat mencari sesuatu dan diberikan ruang untuk melepas penat. Apalagi setelah acara bergerak bebas ada acara sharing atau sedikit berbagi cerita dari Bu Menek, dia bilang bahwa belajar tari itu tidak mudah dan perlu intensitas dan keinginan yang besar di manapun dan kapanpun. Tidak hanya saat latihan tari saja, tapi seberusaha mungkin untuk memliki kesadaran sebagai penari.
Saya menarik obrolan tersebut ke dalam persepektif keaktoran saya. Bahwa benar bagi saya, perasaan-perasaan yang diperlukan saat mempersiapkan pentas atau memainkan suatu peran harus ada perasaan yang kita perlihatkan untuk memainkan peran. Dan itu saya rasa tidak bisa di dapatkan hanya sekedar menonoton pentas teater di Youtube saja.
Seperti contoh yang diberikan Bu Menek teknis kecil saat menjadi penari Bali, ada istilah nyeledep mata. Kalau kita melihat contoh tersebut di youtube bentuk hanya memelototkan mata tanpa tau dari mana asal dan motivasinya. Tapi kalau dari kata Bu Menek dia malah memperumpamakan nyeledet-kan mata itu ibarat kita memarahi anak kecil berumur 5 tahun yang sedang bermain api. Memang ada perasaan yang hebat ketika saya membayangkan.
Saya jadi mencoba menafsirkan sendiri apa yang dicontohkan tersebut, bahwa semisal saya kebutuhanya menajadi aktor teater, semisal semacam merekam semua perasaan yang sewaktu-waktu dibutuhkan untuk naskah. Atau mencari perasaan ketika kita berhadapan dengan naskah.
Saya menemukan perumpamaan itu ketika di jalan menuju pulang dari Desa Tejakula menuju Denpasar. Saya melewati wilayah Kintamani, saat tepat di Desa Batur angin sangat kencang saat malam hari ditambah berkabut, dingin sekali saya rasakan bahkan rasanya jaket itu tidak mempan untuk membendung perasaan dingin tersebut.
Kaki gemetar, seperti pemain Drumers band Metal. Jari-jari seperti semutan, jika di gesek-gesekan antar jari seperti sudah tidak terasa apa. Gigi beradu secara otomatis, seperti pisau seorang koki handal yang sedang memotong sebuah bawang atau cabe.
Di pikiran saya hanya ada perasaan dan membayangkan perasaan hangat, sampai saya lupa bagaimana bentuk perasaan hangat tersebut. Di tambah mata berair, sepertinya akibat kabut yang tebal. Ketika saya mencoba mengecek suhu derajat desa Batur, ternyata suhunya 17 derajat celcius.
Kemudian saya memutuskan untuk istirahat di depan Pura Ulun Danu Batur, untuk sekedar menikmati semangkuk bakso dan segelas kopi. Di saat sudah istirahat baru saya berpikir dan mencoba mengingat perasaan dan apa yang terjadi pada tubuh saya saat kedinginan, untuk sekiranya nanti ketika dihadapkan oleh adegan teater yang kebetulan ada adegan kedinginan sekiranya saya sudah punya bayangan dan kamus tentang perasaan kedinginan.
Semenjak dari Desa Tejakula tersebut dan mengikuti sharing oleh beberapa teman-teman di sana saya mencoba untuk menjaga intensitas dan kesadaran saya sebagai aktor. Karena mungkin kesadaran seperti itu memnag perlu untuk sebuah observasi dan interpretasi seorang aktor saat berhadapan dengan naskah. Karena saya sangat merasa sangat susah akan hal itu dan selalu mencari-cari bagaimana caranya untuk menyampaikan teks tersebut agar benar tersampaikan maksudnya yang jelas.
Akhirnya setelah sampai di Denpasar saya masih teringat apa saja yang saya coba rasakan dijalan, dan igin cepat-cepat menulisnya. Mungkin menjadi sebuah sharing juga untuk teman-teman yang lain, tapi saya sendiri juga belum berani mencetuskan diri bahwa sudah menjadi aktor yang menjadi. Saya juga masih berada yang sangat dasar. Mari kita sama-sama belajar dari hal sekitar dan jangan hanya meniru saja tanpa mempertimbangan hal kemungkinan lainya.
Sepertinya saya sudahi dulu tulisan sharing kali ini, karena saya sepertinya kelelahan setelah perjalanan. Dan ingin istirahat dan tidur sepertinya, dan mencoba meremkam perasaan apa yang di perlukan menjelang tidur dan saat tidur. Memang bisa? Sepertinya saya sudah mulai sedikit gila teman-teman. Salam. [T]