Ini pertanyaan sejak lama, sejak lagu Pop Bali atau Lagu Daerah Bali dilombakan lalu diparadekan dalam Pesta Kesenian Bali (PKB). Kenapa lagu-lagu pop Bali ala PKB yang selalu menyedot penonton dan mendapat tepuk tangan meriah itu jarang sekali berlanjut kepada kepopuleran lagu-lagunya di masyarakat?
Di PKB, lagu pop Bali yang ditampilkan di atas panggung dengan segala properti, kadang lebih menonjolkan tarian, kadang lebih mengedepankan aksi teatrikal, itu memang selalu mendapat penonton melimpah.
Bahkan, selain menonton gong kebyar, para bupati, wakil bupati, dan pejabat-pejabat penting di setiap kabupaten hampir selalu punya kesempatan untuk menonton pemanggungan lagu-lagu daerah Bali itu – satu bentuk dukungan dari pejabat yang jarang dilakukan terhadap pementasan kesenian langka semacam wayang kulit, gambuh, wayang wong, arja atau taman penasar alias arja duduk.
Mungkin karena penonton yang selalu melimpah, maka pementasan lagu daerah Bali yang dulu-dulunya diadakan di Gedung Ksirarnawa dipindah ke panggung terbuka Ardha Candra. Atau mungkin karena para penyanyi, pemusik dan artis-artis pendukungnya mengiginkan kalangan yang lebih besar agar lebih leluasa memainkan aksi-aksi panggungnya.
Di kalangan yang sebesar itu, penyanyi, apalagi penyanyi anak-anak, tentu saja tak bisa hanya mengandalkan suara. Ia harus melanglang panggung, bila perlu dengan mengajak banyak pendukung seperti penari latar atau properti meriah. Jika hanya dibiarkan satu penyanyi klutar-klatir di tengah panggung, bisa terjadi “penyanyi uluh panggung” – tubuh penyanyi disantap oleh kebesaran panggung.
Mungkin hal semacam itulah yang membuat kita menjadi maklum bahwa sebuah penampilan seorang penyanyi dianggap bagus bukan semata karena suaranya, iramanya, nadanya, dan hal-hal teknis menyangkut seni suara, melainkan seorang penyanyi mendapat sanjungan karena tampil secara bagus, tak jelas apakah bagus akibat penari latar, performance, aksi teatrikal, atau properti-properti, selain alat musik tentu saja, yang kadang menumpuk dan ikut berseliweran di atas panggung.
Meski banyak pengamat punya anggapan bahwa lagu pop daerah Bali memiliki pakem dan aturan-aturan estetika yang khas, namun sesungguhnya sejak awal dipentaskan dalam PKB seni suara yang dipanggungkan itu seakan tak memiliki batasan yang jelas.
Kalau grup yang sudah kerap ditunjuk, apalagi hampir setiap tahun, mungkin saja punya gambaran yang jelas tentang apa-apa yang hendak ditampilkan dan bagaimana cara menampilkannya agar penonton puas. Namun bagi peserta yang baru pertama kali ditunjuk untuk mewakili sebuah kabupaten, misalnya, tak akan punya gambaran yang pasti tentang apa yang hendak diprioritaskan dalam pementasan itu, kecuali mereka ikut-ikut saja kata senior.
Aksi Panggung atau Aksi Musik dan Vokal?
Jika disampaikan pertanyaan apakah parade pop Bali itu mengedepankan aksi panggung atau aksi musik dan suara, maka kita akan mendapat jawaban yang klise. “Ya, kedua-duanya. Nyanyinya harus bagus, aksi panggungnya juga bagus!”
Ya, iyalah. Faktor musik dan suara tentu saja penting. Namanya saja lagu, lengkapnya Parade Lagu Daerah Bali. Namun aksi panggung juga penting karena tidak semua orang yang dating di Ardha Candra mengerti sepenuhnya soal musik. Mungkin termasuk pejabat-pejabat yang anteng duduk di depan itu tak banyak yang tahu soal musik. Mereka datang menonton, dan tak sepenuhnya menyiapkan telinganya untuk mendengar, apakah musiknya meleseta atau bukan, apakah suara penyanyinya fals atau bukan.
Yang diharapkan penonton adalah tontonan yang bagus. Maka, ya, pastilah aksi panggung juga harus penting. Maka itu properti (bukan rumah BTN, ya), dan penari-penari latar juga harus dimainkan di atas panggung.
Tak penting, apakah lagu itu kemudian diingat, menjadi kenangan, dan akhirnya menjadi lagu legenda sepanjang masa, atau lagu itu dilupakan setelah penonton bubar dan berebut mengambil motor di parkiran.
Mungkin sebab itu pula maka banyak yang mempertanyakan kenapa lagu-kagu hasil ciptaan para seniman musik yang pentas dalam PKB tak banyak dikenal orang. Lagu-lagu pop Bali ala PKB yang konon sudah sesuai rumusan dan pakem khas Bali itu masih kalah popular di masyarakat atau di pasaran dengan lagu-lagu Bali yang dibuat sekadarnya, semisal lagu Bali yang cengeng dengan lirik tanpa logika yang jelas. Yang ada malahan banyak lagu-lagu yang sudah popular dan komersil justru diangkat ke atas panggung.
Ini mungkin karena sebagai tontonan kadang sebuah grup musik yang tampil lebih memprioritaskan aksi panggung ketimbang kualitas lagu yang diciptakan. Karena bagaimana pun sorak di panggung lebih memuaskan ketimbang segelintir orang yang terkesima mendengarnya dan sesekali memberi apresiasi lewat tulisan di media massa.
Seorang seniman penggarap dalam Parade Lagu Daerah Bali Anak-anak dan Remaja dalam PKB tahun 2019 ini sempat menyampaikan keluhan lewat WA. “Dari zaman dulu panitia atau pembina selalu menekankan, ‘Jangan membawa banyak properti di atas panggung, wujudkan ide-ide kreatif dalam bentuk garapan…!”
Tapi kenyataanya, kata dia, pada saat pentas sejumlah grup seaakan saling berlomba banyak-banyakan bawa properti. Kalau penonton yang tak paham soal musik, mungkin akan menganggap yang banyak properti itulah yang wah dan bagus, meski misalnya garapan musik dan suara penyanyinya pas-pasan.
Mungkin karena itu pula, jangan-jangan sebuah grup musik keasyikan main di atas panggung, tanpa punya kepercayaan diri untuk rekaman. Jangan-jangan pula, panitia hanya ingin musik itu berada di atas panggung. Untuk urusan apakah lagu itu menyebar ke masyarakat, itu urusan bagian lain.
Belum Berhasil
Sebagai tujuan awal diadakannya Parade Lagu Daerah Bali pada setiap PKB adalah memperkenalkan sekaligus mengakarkan lagu pop Bali di hati masyarakat. Namun tampaknya parade itu sepertinya hanya jadi ajang rutin yang belum banyak menularkan iklim penciptaan musik yang berkualitas di masyarakat.
Ketut Sumerjana, salah satu Tim Pengamat Parade Lagu Daerah Bali Anak-anak dan Remaja, mengaku bahwa sampai saat ini belum ada upaya lebih lanjut untuk mengeksiskan lagu pop Bali baik secara nasional maupun internasional.
“Padahal visi misinya supaya tahu lagu pop Bali itu kayak gimana sih, sayang sekali ini baru sebatas rutinitas,” katanya di sela-sela Parade Lagu Daerah Bali yang berlangsung di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya, Denpasar , Selasa malam (9/7). Saat itu kelompok yang tampil adalah duta Gianyar, Badung, Buleleng, dan Denpasar.
Pria yang kesehariannya menjadi pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar ini juga mengungkapkan pada parade terdahulu dirinya dan tim sempat mengajukan untuk memperjelas bentuk karya selepas parade ini.
“Sempat kita ajukan untuk memperjelas bentuk karya dalam parade ini ya agar dialbumkan dan dapat mendarah daging di masyarakat tapi ya belum berhasil,” terang Sumerjana.
Ketidakberhasilan dalam rencana produksi lagu-lagu yang dinyanyikan dalam parade ini kepada pemerintah lantaran alasan klise yakni soal pendanaan. Sayang beribu sayang apabila perhelatan akbar ini hanya sebatas rutinitas tanpa sebuah keberlanjutan.
“Tidak hanya parade ini saja, parade lainnya di PKB pun juga berhak diramu kembali bentuk karyanya, minimal album digital-lah,” usul Sumerjaya. “Media sosial tak cukup untuk memperkenalkan karya para seniman yang sungguh berbakat ini, sebab yang terpenting dalam sebuah karya seni adalah hak cipta.”
Tak Perlu Kaku
“Semuanya punya sasaran dan tujuan berbeda, apa yang jadi selera pasar ya itu yang diputar!”
Pendapat itu dating dari pengamat seni, I Komang Darmayuda, sela-sela parade, Rabu malam (10/7). Saat itu, yang tampil adalah kelompok musik daerah Bali dari Jembrana, Klungkung, Tabanan, dan Bangli.
Menurut Darmayuda, lagu daerah Bali non komersil memang diikat oleh pakem bahasa, sehingga perlu nalar lebih untuk menikmatinya. Walau begitu sebenarnya pelestarian tak mesti kaku. Untuk bertahan di tengah derasnya arus globalisasi, Lagu Bali perlu pengembangan besar-besaran tanpa harus khawatir meninggalkan pakem. Selaku salah satu Tim Pengamat Parade Lagu Daerah Bali, Darmayuda telah mengupayakan pembuatan album Bali Kumara yang berisi kumpulan penyanyi anak-anak dan remaja dengan lagu bertemakan budaya serta nasionalisme.
“Bali Kumara adalah album anak-anak di youtube, tapi kita ini tujuannya bukan komersil melainkan pelestarian,” jelas Darmayuda. Darmayuda pun tak menampik bahwa lagu-lagu bertemakan budaya dengan bahasa Bali halus memang cukup sulit diterima masyarakat.
“Lagu daerah Bali dibunuh berdasarkan kriteria yang mengikat, sebagai penonton itu harus beda menikmatinya, perlu wawasan ekstra,” terang Ni Wayan Ardini yang turut sebagai tim pengamat.
Sejauh ini, lagu-lagu daerah Bali dengan nuansa Budaya dan Nasionalisme menggunakan istilah-istilah yang berat dipahami pendengar. Aransemen musik perlu dibuat lebih ringan jika lagu dengan tipikal budaya dan nasionalisme tetap ingin didengarkan. Ardini pun mengungkapkan, pernah diadakan sebuah kompetisi menciptakan lagu Bali bertemakan budaya untuk dikomersialisasikan yang didanai proyeknya oleh pemerintah.
“Waktu eranya Wirasuta (salah seorang penyanyi Bali) itu Taluh Semuuk nika, pernah sekali mengkomersialisasikan lagu tema budaya tapi tidak berhasil,” tutur Ardini.
Meng-indie-kan lagu daerah Bali adalah langkah yang terbaik, penciptaan lagu perlu dimaknai dengan filosofi mendalam sehingga membekas dibenak pendengar. “Pengemasannya perlu diperbaiki, penampilannya bisa lebih disederhanakan, dan strategi pelestarian harus terus digali,” papar pengamat seni, Ketut Sumerjaya.
Sumerjaya memang tak mau kaku soal pelestarian dan tak menampik jika ingin lagu daerah Bali didengar masal masyarakat, harus melalui tahap-tahap strategi pasar. Sayangnya, hal ini masih menjadi polemik tersendiri. Di satu sisi untuk meningkatkan eksistensi lagu daerah Bali dengan pesan bajik perlu langkah komersil, dalam sisi lainnya Parade Lagu Daerah Bali utamanya adalah pelestarian bukan ajang komersil.
Penampilan Duta Kabupaten dan Kota
Dalam PKB 2019 ini pada hari pertama Parade Lagu Daerah Bali Anak-anak dan Remaja menampilkan empat kabupaten/kota yang memukau penonton. Dengan ciri khasnya masing-masing, keempat kabupaten/kota tersebut yakni Gianyar, Badung, Buleleng, dan Denpasar, mengemas dengan apik lagu anak-anak daerah Bali yang mulai jarang diperdengarkan.
Penampil pertama datang dari Sanggar Giri Anyar, Banjar Celuk, Desa Buruan, Blahbatuh, Gianyar dengan membawakan lagu Ratu Anom, Guak Maling, Made Cenik sebagai lagu gabungan, disusul dengan lagu bertajuk Melayangan, Tresna Sehidup Semati (Lagu Komersil), Kebo Iwa (Lagu Ciptaan Sendiri), dan Sasih Kawulu (Lagu Wajib).
Sebagai penampil kedua, Sanggar Eka Mahardika, Abiansemal sebagai Duta Kabupaten Badung membawakan lagu bertajuk Meme sebagai lagu anak-anak, Made Cenik, Pulsinoge, Ketut Garing sebagai lagu gabungan, dan dilanjutkan dengan lagu bertajuk Bungan Jepun, Baleganjur, Sasih Kaulu.
Selepas ke selatan, penonton pun diajak menuju Bali Utara yakni Demores Rumah Musik Singaraja, Desa Pemaron, Buleleng. Dengan lagu yang dibawakan diantaranya Lila Cita, lagu gabungan Janger, Don Dap dappe, Dija Bulane, lalu berlanjut dengan lagu Spirit Truna Jaya, Sasih Kaulu, dan Lagu Luu.
Terakhir, Denpasar yang diwakili oleh Sanggar Musik Catur Muka Swara membawakan lagu Jempiring Putih, Ratu Anom, Made Cenik, Kaki Jenggot Uban (Lagu Gabungan), Pindekan Pakubon, Sasih Kaulu, dan Toh Langkir. Seluruh penampil tampak luar biasa dengan keterampilan layaknya penyanyi profesional.
Di hari kedua, Rabu malam (10/7) Parade Lagu Daerah Bali Anak-anak dan Remaja kembali berlanjut dengan penampilan keempat kabupaten yakni Jembrana, Klungkung, Tabanan, dan Bangli. Jembrana yang diwakili oleh Sanggar Kumara Widya Suara mengawali garapan dengan membawa nafas Jegog yang khas dalam setiap lagu-lagu yang dibawakannya yakni Melali ke Hotel Nusa Dua, Medley lagu Ratu Anom, Curik-Curik, Meong-Meong, dan lagu untuk kategori remaja Bungan Sunar Raga, Pelagan Selat Bali, dan Sasih Kaulu.
Penampilan pun berlanjut ke Sanggar Vocalia Kencana Nada, Duta Kabupaten Klungkung dengan lagu anak anak Tridatu Maha Suci, Medley: Goak Maling, Putri Cening Ayu, Juru Pencar, dan lagu Remaja diantaranya Jukut Serombotan, Idup Melarat, dan Sasih Kaulu. Tabanan yang diwakili oleh Gita Music Study Tabanan membawakan lagu bertajuk Merah Putih, Ratu Anom, dan Macecimpedan.
Dilanjutkan dengan lagu betajuk Luwih Rasa, Sasih Kaulu, Jagat Tabanan, Don Dapdape. Penampilan terakhir datang dari Sanggar Seni Belog Ajum Bangli dengan mebawakan lagu anak-anak Sekar Cempaka, Medley: Curik-Curik, Cening Putri Ayu, Ngalih Bagia, Sasih Kaulu, Cihna, dan Mebunga-bunga dengan memukau. [T] [*] [Ananta]