//Inget ngelah pianak
Tong sida baan mekelin
Pang da ngambul
Tungkulang baan kekidungan //
___
Itulah petikan dari Geguritan Putra Sesana yang mengisyaratkan betapa efektifnya sastra digunakan sebagai alat penghiburan dalam keadaan prihatin (baca:miskin). Kemudian muncullah tradisi sastra yang non istana sentris, bukan cuma menghamba kepada penguasa. Sebut saja Nagarakretagama dalam beberapa sisi memuat sindiran kepada penguasa demkian pula Geguritan Bungkling yang jelas terlihat hendak melontarkan satire bagi golongan termapankan. tentu beragam risiko bisa ditanggung oleh sastrawan-sastrawan yang berani melakukan konfrontasi tekstual dengan penguasa mulai dari terkikisnya kepopuleran hingga hukuman psikologis maupun fisik.
Dalam Agama Hindu sastra dinyatakan sebagai kepemilikan yang paling utama (Sastra wisesa mukyanira sang Muniwara pilihen). Oleh karenanya tidaklah mengherankan bila banyak pengabdi sastra yang rela hidup miskin, terasing, atau menerima siksaan-siksaan demi menjaga martabat sastra. Pranda Made Sidemen dalam Geguritan Salampah Laku menyebut ketulusan semacam itu sebagai mayasa lacur. Pada masa perjuangan meraih kemerdekaan sastra juga menjadi alat membombardir kesemena-menaan penjajah, sebagaimana sajak berjudul “Andai Aku Seorang Belanda” yang ditulis Soewardi Soerjaningrat tatkala Kerajaan Belanda hendak memperingati kemerdekaannya.
Begitulah, pada detik-detik yang menyamankan kebanyakan orang pun masih bermunculan pencinta-pencinta sastra yang lekat dengan gaya hidup bohemian. Memasang raga untuk menghalau kesewenang-wenangan golongan termapankan. Mereka menikmati masa ‘berjuang’ dengan kaos lusuh, celana jeans sobek, sepatu kotor, dan semacamnya yang semakin mematangkan penjiwaan.
Namun demikian, perlahan kemiskinan yang paling ditakuti bukan lagi kemiskinan kultural yang disebut-sebut berasal dari kebudayaan, mengkristalnya mentalitas malas yang terwariskan turun temurun. Kemiskinan kultural sebagaimanapun berbahayanya masih bisa ditawar oleh sastra. Revolusi Industri yang semakin liar jauh lebih berbahaya, sebab bisa menggenosida idealism sastra itu sendiri.
Putu Adnya Suari (18), remaja pencinta Sastra asal BD Kastala, Desa Bebandem, Kabupaten Karangasem merupakan salah satu korbannya. Ketika rombongan PPKH Kabupaten Karangasem yang dipimpinn I Wayan Adi Sucita, A.Md berkunjung ke rumahnya Tu Ari mengenang betapa remuk hatinya tatkala antologi puisi tulisan tangan yang berisi sekitar 100 puisi dan beberapa cerpen karyanya harus dibakar. Sebab Tu Ari membakar kumpulan karyanya berakar dari penolakan sang ayah atas kegemarannya itu.
Sang ayah menilai seorang satrawan identik dengan kemiskinan, bersastra tidak bisa menghasilkan uang yang memadai. Padahal Tu Ari menyabet beberapa penghargaan dari bakatnya dalam bidang sastra seperti Juara II lomba baca puisi modern tingkat SMA/ SMK se Kabupaten Karangasem tahun 2017 dan Juara III membaca Mantra yang diadakan PHDI Kabupaten Karangasem tahun 2019. Para juri konon menilai Tu Ari memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dipunyai peserta lain sehingga meramalkan di masa depan Tu Ari akan menjadi sastrawan besar.
Tu Ari sejatinya lahir dalam keluarga pencinta Sastra. I Wayan Putra (43), Sang Ayah sangat mahir membaca dan menulis di atas daun lontar, bahkan petikan dari beberapa teks babad dihafalnya di luar kepala. Kemiskinanlah yang kemudian membuatnya memendam kekecewaan kepada Sastra. Kegemaran bersastra dinilai tidak banyak membantunya dalam mencari nafkah. Walau memiliki keahlian bersastra (nyastra), Putra tetap harus bekerja keras menjual pepes ikan (pesan), minuman tradisional, atau apapun yang bisa mendatangkan uang. Begitulah anastesi yang ditawarkan sastra untuk melipur kemiskinan jadi kehilangan dosisnya akibat himpitan kapitalisme.
Rasa antipati kepada tradisi Nyastra seperti yang dialami Wayan Putra sejatinya lebih memprihatinkan ketimbang pembakaran buku-buku di Perpustakaan Alexandria oleh Pasukan Julius Caesar atau pemusnahan naskah-naskah Pramoedya Ananta Toer. Produktivitas Pram tidak berkurang karena rasa pengabdian kepada sastra dalam dirinya tidak terganggu sesuatu yang serius.
Sementara tekanan yang dialami Tu Ari telah melenyapkan minat bersastra dalam dirinya dan dialihkan dengan paksa kepada bidang lain yang mungkin saja tidak terlalu digemarinya. Pada kasus pemasungan minat bersastra sebagaimana yang dialami Tu Ari tentu kesalahan tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada orangtua. Permasalahan bukan baru muncul di lingkup keluarga namun telah terkonstruksi secara terstruktur. Dengan demikian pemecahannyapun tidak bisa mengandalkan segelintir orang apalagi individual.
Dokumen Millennium Develompment Goals sendiripun disinyalir memiliki ‘maksud lain’ yakni mengkomodifikasi kemiskinan. Kejanggalan itu digambarkan lewat teori CDD (community-driven development), bahwa upaya penanggulangan kemiskinan justru meninggalkan kelompok termiskin dan lebih memilih penguaha kecil yang dinilai masih memungkinkan mengembalikan pinjaman proyek. Bagi beberapa oknum tidak bertanggungjawab, surplus dalam tubuh orang miskin bisa menjadi alat untuk meraup keuntungan materi, ketenaran, dan sebagainya. Demikianlah penanggulangan kemiskinan menjadi tidak total karena titik apinya telah membias.
Bordieu (2010) memandang secara material maupun kultural kekuasaan menampakkan jejaknya dalam tubuh orang miskin. Bila ingin membaca kuat atau tidaknya intervensi pemerintah dalam penanganan kemiskinan maka dapat dibaca dari tubuh orang miskin. Bilamana upaya penanganan kemiskinan banyak mengalami ketersendatan maka berarti ada kekuasaan lain yang direpresentasikan oleh tubuh orang-orang miskin seperti kapitalisme dan liberalisme. Petugas-petugas yang bergerak di lapangan seperti pendamping PKH adalah agen yang membantu negara untuk memerangi ideologi-ideologi penyebab kemiskinan.
Dalam melaksanakan tugasnya agen-agen penyerang kemiskinan tidak cukup hanya menguasai pengetahuan-pengetahuan text book yang tersusun secara teoretis namun juga mesti mempertimbangkan hidden knowledge yang banyak membantu dalam situasi nyata. Pendamping PKH mesti siap menjadi pendidik dadakan, psikolog dadakan, antropolog dadakan, dan yang lainnya.
Dalam menanagani kasus sebagaimana yang dialami Tu Ari yang mesti dilakukan bukan hanya mengadvokasi agar bantuan PKH diterima dalam jumlah yang benar, mengawasi penggunaannya, dan melakukan perubahan perilaku agar segera keluar dari jurang kemiskinan. Terdapat tugas lain yang lebih esensial ketimbang peningkatan taraf ekonomi yang tentu bernuansa material. Tugas yang dimaksud dapat bernuansa intangible, seperti pelestarian unsur-unsur budaya.
Koordinator PKH Kabupaten Karangasem dan para pendamping berkomitmen untuk menjadikan sastra justru sebagai aspek yang produktif dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Pihak UPPKH Karangasem berupaya menjadi mediator agar karya-karya Tu Ari bisa dimuat di media serta mendapatkan honor yang layak. Upaya yang dimaksud dilakukan dengan menghubungi beberapa sastrawan senior, salah satu sastrawan yang dihubungi adalah Penyair Winar Ramelan. Ketika dikirimkan video Tu Ari saat membaca puisi karyanya sendiri Winar mengungkapkan dukungannya bahkan merekomendasikan kepada penyair senior IDK Raka Kusuma.
Warsiman (2016) dalam bukunya Membumikan Pembelajaran Sastra yang Humanis menyebut tujuan mempelajari sastra adalah agar seseorang memiliki kepekaan bathin terhadap lingkungan sekitar, alam, dan sesama makhluk ciptaan Tuhan. Manakala kepekaan yang humanis telah tumbuh maka tentu perubahan perilaku akan menjadi lebih mudah dilakukan. Adi Sucita berharap keluarga Tu Ari dapat memperoleh kebahagiaan yang integral lewat kegemarannya bersastra.
Cukuplah karya-karya yang Tu Ari yang telah terbakar menjadi sastra pralina agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Misi yang lebih penting sastra tetap dapat menjadi lentera peradaban. Bukan berarti kemiskinan menghambat tradisi bersastra atau malah sastra hanya dimonopoli golongan borjuis.
Tu Ari Kini melanjutkan sekolah jurusan Food and Beverage Service (FB Service) di Word Training Centre (WTC) Karangasem setelah cita-citanya untuk masuk sekolah kedokteran kandas karena terbentur biaya. Meskipun demikian, semoga kepekaan bathin yang diberikan sastra membuatnya berdamai dengan tantangan-tantangan yang dihadapinya dalam kehidupan nyata. [T]