- Judul Film : Calon Bini
- Sutradara : Asep Kusdinar
- Pemeran : Michelle Ziudith, Rizky Nazar, Slamet Rahardjo, Niniek L. Karim, Cut Mini, Minati Atmanegara, Butet Kertaradjasa
- Tanggal Rilis : 14 Februari 2019
___
Film bertema usang tidak selalu menjemukan untuk ditonton. Calon Bini, salah satu film Indonesia yang telah berhasil membuat saya betah lama-lama memelototi layar monitor. Menonton lewat smartphone, pada aplikasi Inflix. Terlambat untuk menonton, karena dulu di bioskop keburu habis maya tayangnya.
Film ini mirip dongeng. Atau memang betul-betul dongeng. Sebenarnya ceritanya klise. Kisah tentang gadis desa. Lari dari rumah untuk menghindari perjodohan. Menjadi pembantu di sebuah rumah mewah, milik pengusaha kaya raya. Kemudian happy ending: menjadi calon istri dari putra majikannya sendiri.
Tapi film ini telah didaur-ulang sehingga terasa baru. Tema lama dengan bentuk baru. Sehingga menghadirkan tontonan yang sungguh bergizi dan menyehatkan batin. Nutrisi untuk kesehatan jiwa. Film yang mengocok-ngocok emosi kita selama beberapa jam. Dibalut bentuk komedi, yang membuat kita tertawa, terharu, bersedih dan kemudian merenung.
Cerita dibuka dengan adegan kegembiraan semua siswa SMU karena telah lulus. Ningsih, tokoh utama dalam film ini yang diperankan sangat apik oleh Michelle Ziudith, pulang dengan wajah berseri-seri dari sekolah, ditemani dua orang temannya. Dalam benaknya hanya ada tekad untuk melanjutkan kuliah. Cita-cita harus digapai, setinggi apapun dia menggantung.
Betapa kecewa hati Ningsih, karena di rumahnya ada rembug keluarga untuk menjodohkan dirinya dengan Sapto, anak Pak Kepala Desa. Sapto tergila-gila dengan Ningsih. Di awal cerita ada adegan saat Sapto mencegat Ningsih di perjalanan dari sekolah, sekedar memberikan sekuntum bunga untuk Ningsih, pujaan hatinya. Agung, paman Ningsih, yang digambarkan haus harta, berperan sebagai penghubung perjodohan itu.
Ayah Ningsih digambarkan sebagai pribadi yang lugu. Dia tidak bisa dengan tegas menolak perjodohan itu.
Ningsih berontak. Dia bertekad pergi ke Jakarta. Menggapai cita-citanya yang masih menggantung di langit. Takdirnya bukan lagi sumur, dapur, kasur. Dia ingin kuliah, kalau perlu sampai S2. Atas ijin kedua orang tuanya, Ningsih pun berangkat ke ibu kota yang keras. Anak gadis yang pergi ke metropolitan yang kejam.
Di Jakarta, Ningsih diperkenalkan dengan keluarga Prawira, pengusaha kaya raya, oleh Sri teman baik Ningsih. Dalam film ini, Sri tidak pernah dimunculkan dalam sebuah adegan. Hanya digambarkan lewat percakapan telepon dengan Ningsih. Dan karakter Sri juga digambarkan dalam percakapan Ningsih dengan Bu Andini.
Nutrisi film ini dibentuk dari kehadiran beberapa aktor dan aktris senior yang tak diragukan lagi kualitas akting mereka. Ada nama besar seperti Slamet Rahardjo yang berperan sebagai Pak Prawira, majikan Ningsih di Jakarta. Minati Atmanegara sebagai Andini, istri Pak Prawira. Niniek L. Karim menjadi tokoh Oma, mertuanya Pak Prawira.
Dan Cut Mini, yang aktingnya begitu kuat dalam film Laskar Pelangi sebagai ibu guru muda yang memperjuangkan nasib pendidikan anak-anak di daerah terpencil, mendapatkan bagian peran sebagai ibunya Ningsih. Terus ada Butet Kertaradjasa yang terasa pas sebagai kepala desa.
Seperti kebanyakan anak remaja jaman sekarang, Ningsih begitu lekat dengan gadget. Chatting, selfie, menjadi keseharian Ningsih di sela-sela pekerjaanya sebagai pembantu rumah tangga di keluarga Pak Prawira. Walau begitu Ningsih tetap sebagai perempuan desa yang lugu, mandiri, dan penyayang.
Beberapa kali adegan saat Ningsih selfie berlatar rumah mewah majikannya. Dia begitu kagum melihat rumah mewah majikannya, sekaligus bahagia bisa bekerja di sana. Foto-foto selfie yang kemudian dia kirim kepada orang tuanya di kampung, yang kemudian memicu salah paham yang menjadi klimaks pada film ini. Karena semua orang di kampungnya mengira bahwa Ningsih telah sukses dan kaya raya. Adegan kekonyolan yang menjadi ciri khas sebagai film komedi.
Tokoh Oma diperankan begitu kuat oleh Niniek L. Karim. Perempuan tua yang dingin, yang lebih banyak mengurung diri di kamar. Oma tidak memiliki hubungan baik dengan anak dan menantunya. Pelan-pelan Ningsih berhasil meluluhkan hati Oma. Untuk pertama kalinya Oma bisa tersenyum dan tertawa di hadapan Ningsih.
“Kamu pernah kesepian, nggak?” tanya Oma kepada Ningsih. Kalimat pertama dari Oma ini menggambarkan betapa galau hatinya karena rasa sepi. Kesepian di masa tua yang begitu menggigit. Satu-satunya hiburan bagi perempuan tua ini adalah saat ketemu sahabat-sahabatnya di rumah makan. Setelah ditinggal Satria Bagus, cucunya tersayang, untuk kuliah di New York, Oma menemukan pengobat rasa sepinya pada diri Ningsih yang lugu dan penyayang.
Tapi karena sebuah kesalahan, kesalah-pahaman yang konyol, Ningsih dipecat oleh Pak Prawira. Oma menjadi sedih dan kembali merasa kehilangan. Ningsih pulang ke kampung dengan perasaan hancur. Rencana perjodohannya dengan Sapto berlanjut lagi, lelaki yang dia benci selama ini. Ningsih putus asa. Masa depannya telah habis.
“Sayapku telah patah,” tulis Ningsih kepada teman chatting-nya yang bernama Jejak Langkah, yang sebenarnya tak lain adalah Satria Bagus, putra bekas majikannya di Jakarta, yang sedang menuntaskan kuliahnya di New York. Selama ini mereka sering chatting lewat media sosial tanpa pernah mengenal satu sama lain di dunia nyata, dan akun Satria Bagus dengan nama samaran tanpa foto profil. Walau sosok misterius, ternyata Ningsih membiarkan perasaannya mengalir. Mereka begitu akrab di dunia maya karena sama-sama ingin menggapai cita-cita setinggi langit.
Kemudian dalam dunia nyata, Satria Bagus yang diperankan Rizky Nazar, menjemput Ningsih untuk dilamar. Bagaikan seorang pangeran yang jatuh cinta pada perempuan desa dari kasta yang rendah, yang kemudian diboyong menjadi putri istana. Betul-betul dongeng yang menarik dan jenaka. Ningsih menolak lamaran Sapto, dan menyatakan jatuh cinta dengan Satria Bagus.
“Pak, Bu, Ningsih boleh bahagia kan?” ucap Ningsih dalam bahasa Jawa, begitu lugunya.
“Boleh, boleh,” kata ayahnya bersukacita, menerima lamaran Satria.
Adegan-adegan dalam film ini begitu hidup, segar dan menarik. Mengalir dan tidak membosankan. Alurnya yang terasa jenaka, sangat menghibur dan memberi perenungan. Film yang sangat berkualitas. Begitu kaya dengan karakter tokoh-tokohnya. Ada juga figuran yang tidak berperan dalam benang merah alur cerita. Tokoh yang dilihat Ningsih di dalam kereta, seorang pria yang kebetulan memakai sepatu kets dengan gambar sayap, sepatu sama seperti yang dipakai oleh Jejak Langkah, teman chatting Ningsih di media sosial.
Beberapa adegan mengandung kritik sosial. Seperti saat Sapto merampas motor di sebuah bengkel untuk dipakai mengejar Ningsih ke Jakarta.
“Aku ini anak kepala desa!” teriak Sapto sambil mengambil motor begitu saja seperti begal. Demikian juga saat dicegat penjaga loket kereta api. “Aku anak kepala desa!” Sapto begitu angkuh.
Sosok Sapto mewakili putra-putra pejabat tinggi, yang sombong, angkuh, manja dan juga rapuh.
Kesimpulannya, Calon Bini memang layak ditonton. Bukan Cuma layak, tapi harus. Rugi tidak nonton film sebagus ini. Duduk selama satu setengah jam akan dirasa kurang setelah menikmati adegan demi adegan di film ini. Tidak perlulah kita nonton film-film yang berat. Tema ringan dengan gaya komedi dalam Calon Bini, di samping menghibur juga memberikan pendidikan karakter. Film komedi yang penuh isi. [T]