PADA dasarnya sebuah ideal punya potensi berubah. Apa yang ideal pada suatu ruang, waktu, tertentu potensial bergeser pada ruang dan waktu lain.
Berubah di sini, juga termasuk bertambah. Jadi ideal yang sebelumnya bisa berjalan seiring dengan ideal yang belakangan muncul. Saya dulu menganggap, akustik adalah ideal untuk puisi-musik (yang saya yakini sementara ini lebih tepat secara maknawi/kebahasaan dibanding yang dulu juga saya gunakan, musikalisasi puisi, karena puisi sudah musikal, meski tanpa dimusikalisasi), jadi puisi-musik, dua kata menyatu, sehingga serupa “bersenyawa” dalam sinergi.
Jika istilah puisi musik (dua kata terpisah), dapat bermakna puisinya musik atau sebaliknya jika musik menerangkan puisi ( hukum DM).
Saya juga pernah dan masih yakin istilah adalah soal
kesepakatan pemakainya, namun wajar sebagai orang yang bergiat di bidang
terkait bahasa, sejauh istilah tersebut bukan lisensi puitika, maka masih boleh
dipertanyakan. Para munsyi kerap melakukan hal ini dalam kolom bahasa Kompas (saya merasa saya bukan munsyi,
tapi tentu boleh juga sekali-sekali bicara).
Belakangan saya meyakini tak harus akustik. Bahkan tanpa instrumen musik yang
“umum” pun boleh (acapella, misalnya).
Saya dulu meyakini, jangan terlalu banyak baris puisi yang dibacakan, jika ada yang dibacakan. Namun belakangan saya belajar, ternyata gradasi vokal, kuat dan lembut, keras dan pelan…, dalam resital puisi (istilah ini memberi ruang untuk baca, baca plus nyanyi, dan nyanyi, serta digunakan oleh Berthold Damshausser juga dalam festival sastra yang pernah saya ikuti).
Dengan kata lain, baca seluruh puisi pun boleh (ini pandangan saya sebagai seniman), jadi saya belajar sambil melihat makna leksikalnya juga dalam hal ini. Tentang apakah puisi-musik belakangan ini semakin ruwet dan semakin jauh dari misi awal mendekatkan puisi ke publik yang tak hanya publik konvensional puisi, menurut saya, tergantung ekspektasi/ideal saat ini dari setiap kita yang sah jika berbeda.
Ketika dulu menganggap akustik ideal dan minimalis dalam instrumen (bukan genre musik minimalis), sehingga bisa dimainkan dengan satu gitar sambil camping, misalnya, saya pernah mengungkapkan, walau mungkin ke kalangan terbatas, tak tertutup dikembangkan dalam bentuk yang lebih “besar”, semisal orchestra. Hanya tentu saya harus realistis pada sumber daya yang ada, termasuk kapasitas saya. Misal, vokal saya tak mampu mencapai 3 oktav, maka saya harus tahu diri jangan memaksakan diri menyanyikan yang mencapai 3 oktav.
“Puisi memiliki nasibnya sendiri”, saya dengar diucapkan Frans Nadjira dan pengalaman saya menunjukkan ini memiliki kebenaran, namun konteksnya bukan puisi-musik. Saya menggunakan dalam puisi-musik, puisi “meminta” musiknya sendiri, sehingga konsekuensi logisnya, semakin beragam puisi, semakin beragam pula “bentuk” musik yang dapat bersinergi dengan puisi.
Walau, “deklarasi awal” Bali PuisiMusik (karena kami 4 personil Bali PuisiMusik), ikut terlibat sejak dini dalam Bali Blues Island, komunitas Blues di Bali, bahwa karya kami “blues-puisi”, dalam perjalanan kami, meski sentuhan blues (minjam istilah gitaris kami Yande Subawa), umumnya terjaga, dalam diskusi kami pada satu sesi latihan, saya melontarkan pertanyaan ke Yande selaku arranger di album Exorcism, apakah semua akan kita blueskan?
Jangan, jawabnya. Saya suka jawaban ini, sebab seperti saya sebut di atas puisi “minta” musiknya sendiri, karenanya musik kami lintas “rupa”, dengan sentuhan blues terjaga pada komposisi kami, umumnya. Musik juga bisa “minta” puisinya sendiri. Misalnya, Anda “fanatik” country, maka pilih saja puisi yang pas untuk country dan ini ada (jika tidak tulis atau minta dituliskan puisinya), sehingga mungkin.
Jika disimak blues kami yang bagan utamanya 12 bar pada Exorcism dan one chord pada Malam Cahaya Lampion, sesungguhnya kami sudah “mbalelo”, terutama dari segi “anger”-nya. Blues dalam kedua format tadi yang cenderung “introvert”, kami jadikan “explosive blues”. Ada alasannya, blues lahir di masa perbudakan oleh kaum Afro-Amerika, mereka duka, menderita dan marah (tentunya), hanya saja keadaan saat itu tak memungkinkan mereka “meledakkan” amarahnya, ini tentu beda dengan kami yang bukan dari serta tak mengalami masa “gelap” itu, dan semoga tak mengalami masa “gelap” seperti itu.
Saya juga beruntung menyaksikan atau mendengarkan Dennis Jannah (Suriname, membawakan puisi-musik genre Jazz, Deff P dari Belanda Hip Hop, Jim Morisson (the Doors), Blues, dan kecenderungan Rock & Roll yang menambah wawasan saya. Tentu ada banyak yang bisa kawan-kawan contohkan di sini. Saya semakin yakin semuanya dengan segala perbedaannya masih on the right track, termasuk tidak eksklusif (dalam arti hanya untuk publik “konvensional” puisi berbahasa Indonesia).
Saya punya beberapa pengalaman yang membuat saya meyakini hal ini. Pentas saya juga Bali Musik Puisi (Bali PM) di publik non-konvensional sastra, beserta apresiasi bagus yang kami terima menunjukkan hal ini (Mungkin ada indikator lain?), al : Di komunitas meditasi, apresiasi atas pentas Bali PM di komunitas ini bagus, hemat saya (Saya baru saja dihubungi untuk pentas lagi di HUT Komunitas ini 17-08-2018 ini).
Saat Bali PM pentas di Anjung Cahaya Tanjungpinang (Kawasan wisata, dengan publik beragam, penonton betah menyaksikan kami, sementara (maaf), maestro monolog kita Putu Wijaya ditinggalkan mayoritas penonton, mungkin karena tak semua penonton “publik sastra”. di Festival Seni Surabaya, sebagian penonton bergoyang dan betah mendengar kami (kami tampil pertama), namun ada dua kelompok masing-masing dari Solo dan Madura ditinggalkan sebagian penonton, bisa tak kena di selera penonton tsb, tak mustahil juga soal pencapaian yang debatable, tentunya.
Di JCC, kami tampil di Pameran Dagang, Kemendag dan industri Kreatif, ternyata apresiasi juga bagus. Ada yang tak saya kenal menyaksikan video yang diupload teman ke youtube berkomentar: “Saya menyaksikan orang ini, Gokil abis”.
Usai menyaksikan kami pentas di UWRF, Myrna Ratna (Kompas), yang duduk di sebelah Ari-Reda (Yang juga tampil sebelum kami), minta waktu untuk interview (saya tak mengenalnya sebelumnya). Yang menarik sepanjang interview, beberapa orang asing mendekat dan mengatakan “it was great”, padahal puisi yang kami bawakan berbahasa Indonesia.
Pengalaman dengan orang asing yang memuji terjadi lebih dari sekali, termasuk dari mantan tour manager the Rolling Stones Sam Cutler. Bahkan ada yang mengatakan suka hanya berdasarkan video sederhana kami. Tentu untuk yang orang asing, banyak di antaranya tak mengerti bahasa Indonesia, tapi tak mengahalangi untuk menikmati. Dan mereka ini boleh dikatakan lebih tidak konvensional dari publik sastra Indonesia yang tidak konvensional apalagi yang konvensional.
Lalu, apakah gagal mendekatkan puisi, karena publik yang orang asing itu, tak mengerti bahasa Indonesia? Masih terlalu dini untuk dinilai sekarang. Sebab tak mustahil di antaranya lalu berminat mendalami bahasa Indonesia termasuk puisi Indonesia walau tak pasti. Apalagi kelebihan bahasa, kan bisa diterjemahkan. Saya juga dulu menyukai banyak lagu bahasa Inggris tanpa mengerti banyak, arti liriknya. Walau belum ahli, saya mulai juga mempelajarinya.
Ada juga orang asing yang nonton Bali PM, berkata kepada saya : I don’t undesrtand the meaning, but I feel the energy”. Pernah di Casablanca, Sanur, di mana mayoritas publik orang asing dan band yang tampil tak hanya Bali PM, tapi yang diminta tambah oleh publik penonton, Bali PM bukan band yang lain. Ada beberapa contoh lainnya yang tak perlu rasanya diungkapkan di sini. Yang jelas jika orang sudah suka, maka berbagai ruang kemungkinan jadi terbuka.
Yang jelas saya tak jemu belajar. Saya pun sungguh terkagum-kagum akan skill bermusik cukup banyak anak-anak muda sekarang. Mari kita terus belajar. Bukankah kita di Bali kerap mendengar “de ngaden awak bisa” dst, di mana ada bagian yang sangat penting untuk kita, menurut saya yaitu, “masih banyak yang perlu dipelajari”.
Dan mari menyadari bersama bahwa perubahan bersifat niscaya. Satu-satunya keabadian adalah perubahan itu sendiri, bukan? Dan seperti kerap saya ungkapkan, dalam lomba, sesungguhnya kemenangan adalah merayakan sukacita, menjadi juara cuma bonus, apalagi di luar lomba yang relatif lebih bebas bagi kita dalam berekspresi.
Dan dengan masuknya puisi-musik sebagai bahan ajar SMP dan SMA, juga di Untirta sebagai bahan ajar, rasanya tak bisa dikatakan sebuah misi yang sia-sia(tentu di sini ada peran banyak pihak). Mungkin tak semasif musik indutri yang memang menguasai pasar saat ini, tapi bukanlah ukuran kegagalan.
Kita patut juga becermin pada kegigihan pemusik dangdut yang musiknya tadinya hanya dinikmati “kalangan bawah”, dicap kampungan, toh akhirnya sekarang berterima lintas segmen. Bahkan saya beranggapan untuk dunia musik yang berorientasi pasar, mereka bisa menjadi “komoditi” unggulan kita untuk bersaing di pasar global.
Satu hal yang juga penting dalam menjaga gairah berkarya adalah, kesiapan menghadapi surprise karena ketakterdugaan, “the future not eyes to see” bahkan 1 detik di depan kita pun belum kita ketahui, sebelum detik itu tiba. Jika segalanya terbaca, ibarat Lao Tse yang mengalami pencerahan dan tak ada lagi rahasia, tak ada lagi teka-teki, beliau hendak mengasingkan diri ke gurun.
Tentu yang dicapai Lao Tse tak dapat dikatakan buruk, malah mungkin banyak orang mendambakannya. Saya hanya ingin mengatakan, jika tak adalagi rahasia / teka-teki/ misteri, maka “apa yang hendak kau katakan/ tak lagi kau ucapkan” (seperti kutipan puisi saya, kali ini 🙂 ). Maka perlu juga disyukuri jika masih ada teka-teki yang tak terbaca, sehingga menantang gairah dan kreativitas kita untuk membacanya lewat karya dan tak membeku di satu titik beku.
Seorang teman jurnalis dari Suriname pernah berkata kepada saya : “Sulit mengerti lirik (baca puisi) lagumu karena dalam bahasa Indonesia” (bahasa nasional Suriname, bahasa Belanda dan dia bisa bahasa Inggris).
Saya menjawab: “Jangankan bagimu, bagi banyak orang Indonesia pun puisi (meski puisi yang berbahasa Indonesia), sulit dimengerti”.
Menjangkau lapisan masyarakat yang bukan publik konvensional sastra lewat puisi-musik, bukan berarti mereka harus mengerti. Bisa terasosiasi pun, sudah cukup. Juga jika gubahan puisi-musik dimainkan dan atau didengar dan atau dinyanyikan, dinikmati pun cukup. Bukankah kita kerap mengalami hal ini, saat berhadapan dengan lirik musik berbahasa asing yang tak kita mengerti sebagian dan atau seluruhnya?.
“Angkasa ini begitu luas/ tapi aku telah sampai pada batas/ di mana aku tak mungkin kembali”(Subagio Satrowardoyo), “the only possiible is non stop flying sonder mendarat”(Chairil Anwar). Selamat berkarya. Salam 🙂 [T]
Nb. Maaf, contohnya banyak pengalaman pribadi, karena ini yang lebih saya tahu untuk saya ungkapkan di sini.