— Hikmah Keberadaan “Jokowi & Prabowo” Dalam Peradaban Bangsa
Bukan semata tentang pasal dan dalil hukum yang mengemuka dalam “arena”, bukan juga sebatas drama serial yang penuh peran (aktor) yang kita saksikan dalam ruang persidangan Mahkamah Konstitusi itu, sebuah pemantik transformasi pengetahuan.
Semua ini tentang “seni mengkomunikasikan pengetahuan”, yang simultan merangsang pikiran dan logika.
Bagaimana dunia pengetahuan dipentaskan, dijadikan rujukan yang ansih mempengaruhi perjalanan peradaban manusia bernegara dalam suatu bangsa.
Segala wujud drama yang diperankan, lebih pada “sajian” yang melibatkan logika dan rasa seluruh kayalak umum, masyarakat luas dalam menyaksikan bagaimana alur pencarian kemufakatan (inkracht; putusan yang berkekuatan hukum tetap) dalam sebuah panggung konstitusional.
Alur yang pastinya mengundang tanya dan memberikan makna, yang ditaburi penuh ragam argumen ilmiah (yang biasanya tersaji dalam dunia kampus), yang kompleks antara ilmu pengetahuan (hukum), masyarakat dan kebudayaannya.
Adanya dampak sosio kultur atas adanya alur dialektika dalam ragam perspektif dalam ruang ilmu hukum, dari para “pendekar” hukum dalam sengketa Pilpres, dalam hal ini, yang disajikan langsung (live) di berbagai media (streaming), hingga dapat disimak oleh jutaan rakyat dari berbagai lapisan.
Hingga masyarakat yang awam hukum pun ditarik ke wilayah ilmiah untuk berasumsi dan berfikir dalam ruang yang proporsional bahkan dilibatkan untuk sebagai saksi sejarah perjalanan sebuah peradaban.
Adalah sebuah panggung (sah/konstitusional) yang disajikan khusus, yang tidak biasa tersaji setiap saat, tidak seperti layaknya pertunjukan lainnya dalam keseharian yang disajikan setiap saat.
Alhasil energi yang tercurah, dalam pertunjukkan ini, melibatkan semua asumsi dan pemahaman, langsung menarik perhatian penonton (pemirsa) secara mendalam, dari tataran logika mendasar hingga rasa (emosi), bahkan tidak saja tentang logika hukum tetapi lebih pada domain budaya berfikir masyarakat untuk dapat berusaha memahami sebuah pengetahuan, yang “memaksa” penonton untuk bisa mengerti pada sebuah perdebatan (argumen) dalam wujud kesaksian, yang tentunya dapat berhasil memancing ketertarikan masyarakat, khususnya generasi muda untuk lebih mendalaminya dalam ruang akademik, pada fasenya.
Ketertarikan masa konstituen hingga masa mengambang (floating mass), pun akan diajak untuk menyimak dan tentu akan selalu dipengaruhi emosi keberpihakan/kepentingan masa (dalam konteks budaya politik).
Dalam hal ini, berkorelasi substantif, berpadu saling melengkapi semua ini berada dalam wilayah domain ilmu pengetahuan.
Interaksi empirik dalam masyarakat itu tidak hanya menyangkut masyarakat yang budayanya masih sederhana (primitif), tetapi juga masyarakat yang budayanya modern.
Bentuk perilaku budaya manusia yang mempengaruhi atau yang berkaitan dengan masalah hukum, dalam konteks kultur masyarakat tertentu, baik pada masyarakat modern, maupun masyarakat yang sederhana pun, akan membawa pada sebuah kehendak (gairah) berpengetahuan, hingga pada alur fikiran yang bermartabat.
Kembali pada bagian alur yang disajikan dalam sengketa Pilpres ini, terpapar garis melingkar yang tersirat, panggung pertarungan para “pendekar akademik”, sidang di antara para praktisi dan profesi. Yang sejatinya terlihat jelas bahwasanya mereka sangatlah menekuni dan mendalami keilmuannya, tentunya sejak mahasiswa memang menekuni bidang yang di, dunia yang sejatinya dipenuhi tinjauan literatur (pustaka) melimpah, hipotesa, eksperimen, simulasi, praktek hingga advokasi.
Sangatlah penting bagi kemajuan berfikir dalam berbagai lapisan masyarakat untuk mendalami peran sosialnya dengan kesungguhan, karena mempelajari dan mendalami pengetahuan (formal dan informal) dengan kesungguhan hati, akan mengembangkan daya “nalar” hingga budi pekerti.
Sebagai sebuah miniatur, dalam hal ini pada ruang persidangan, layaknya laboratorium akademisi, yang tentunya sangat bermanfaat bagi masyarakat (penonton) luas, karena diajak dan “dibujuk” untuk memahami tentang pentingnya mempelajari dan mendalami “ilmu pengetahuan” dengan baik, dalam bidang apapun, yang tentunya tidak untuk sekedar mengejar sebuah status/predikat/gelar semata, apalagi diraih tidak dengan jalan pintas, “membeli”.
Pada akhirnya diri kita sendirilah yang mengetahui bagaimana bentuk lekuk tubuh dan pemikiran diri kita sendiri.
Muara “sengketa pikiran” pada diri. [T]
Denpasar, 22 Juni 2019