Kali pertama saya membaca “moron” pada unggahan status FB personel band indie lokal, SID, yakni JRX. Ia adalah salah satu member SID yang sangat aktif menyapa outsiders dan ladyroses via media sosial IG maupun FB. Unggahan statusnya tak jauh dari tema sosial, lingkungan, politik, kadang seni dan kebudayaan. Kritik sosial yang sering dilontarkannya itu kerap menjadikanya bulan-bulanan warganet, namun tak sedikit pula yang mendukung. Kedekatan dengan Bali Tolak Reklamasi (BTR) menyebabkan ia dan bandnya dianggap bagian dari gerakan ini.
Tulisan ini tidak hendak mengulas JRX, SID, BTR atau persoalan sosial politik tempo hari yang sempat mengemuka semacam pro kontra film sexy killers, namun mengulas perilaku moron garis keras. Sejak awal, saya pikir, kata “moron” itu istilah Barat, tetapi setelah dicek melalui KBBI online, bermakna “orang dewasa yang perkembangan mentalnya sama dengan anak berumur 8-12 tahun”. Istilah ini juga digunakan untuk mengumpat seseorang, sinonim dengan goblok, tolol dan bodoh. Tidak berhenti sampai disitu, JRX membubuhi penjelasan tambahan bahwa “moron” merupakan akronim untuk “mayoritas orang korban sinetron”. Sedangkan +62 maksudnya kode negara yang digunakan oleh Indonesia. Penggunaan +62 berfungsi menghubungkan Indonesia dengan dunia internasional. Bisa disimpulkan moron +62 bermakna sekumpulan orang goblok yang bermukim di Indonesia.
Menurut saya, warganet yang tersindir dengan status itu rada stres, kurang gaul, pikniknya kurang jauh. Mengaku modern tetapi primitif dan barbar. Polanya selalu sama, setiap unggahan status yang berkaitan dengan dimensi agama, politik, suku dan golongan selalu menghasilkan keriuhan sosial. Berbeda jika yang diunggah itu konten positif. Bisa dipastikan sepi “like” dan minim komentar layaknya kuburan di perempatan jalan, alih-alih apresiasi.
Meski istilah ini cenderung kontemporer, tetapi sesekali dalam tatap muka di perkuliahan, saya selalu menyelipkannya untuk menyebut tiga tipe mahasiswa. Pertama, mahasiswa maye–maye (ngenah ilang), yakni jenis mahasiswa yang hanya kelihatan di pertemuan pertama dan terakhir. Beberapa informasi yang saya dapat menyebutkan bahwa yang bersangkutan tidak sakit, tidak juga berkabung. Sebalinya dalam kondisi sehat. Hal itu dibuktikan dengan unggahan story WA yang memperlihatkan aktivitas normal.
Moron tipe ini pernah saya temui di acara Tatkala.co di Rumah Belajar Komunitas Mahima Singaraja. Saat itu, saya menjadi pembedah buku “Bali yang Berubah” karya Ngurah Suryawan. Dengan raut muka lesu, yang bersangkutan datang menghampiri, diselingi salim sambil tertunduk malu. Ketika saya tanya, “kok kamu jarang kelihatan di kuliah saya?”, dengan jurus ngeles dijawab, “Iya pak, saya sedang berjuang melawan kemalasan.
Hal yang membuat saya kurang simpatik adalah pengakuan kuliah moron tipe ini ke orang tua di rumah. Saya pikir ia juga salah masuk jurusan, salah kandang dan salah habitat. Sepertinya lebih cocok masuk jurusan sastra. Alasannya, gaulnya lebih banyak dengan anak-anak Tatkala. Baca novel A sampai Z. tetapi buku-buku kuliahnya terbengkalai, lapuk bahkan lumutan.
Hal itu terbukti ketika yang bersangkutan tiba-tiba ikut acara KKL prodi pendidikan sejarah ke Jawa. Rasa jengkel semakin memuncak saat rombongan Prodi Sejarah tiba di Museum Gajah Jakarta. Sebuah arca raksasa setinggi kira-kira 3 meter yang beratribut Tantra Bairawa dan merupakan representasi Prabu Kertanegara sukses menjadi daya tarik hampir sebagian besar mahasiswa. Kebetulan, saya memiliki sedikit informasi perilaku tantrik raja ini berdasarkan isi prasasti. Setelah penjelasan usai, mahasiswa yang berkerumun di sekitaran arca membubarkan diri, berjalan-jalan melihat-lihat koleksi lainya. Saya sendiri masih betah berada di dekat arca sambil sesekali mengabadikan foto. Tiba-tiba, dari arah belakang, moron tipe ini menghampiri. “Pak, ini arca apa, dan siapa yang diarcakan?”
Saya jawab, “Owh, iya dik, ini arca Prabu Kertanegara dalam wujud tantra bhairawa. Kamu tahu siapa Prabu Kertanegara?”. Pertanyaan saya dijawab gelengan kepala dan dengan polos dijawab, “Tidak, Pak, saya baru pertama kali dengar”. Seketika saya mati rasa, jawaban itu seperti muntahan peluru yang menghujam jantung.
Di Prodi Pendidikan Sejarah, pengetahuan tentang raja-raja era klasik adalah kredo yang seharusnya telah khatam di semester 2. Gagap sosial yang dipertontonkan mahasiswa di atas adalah preseden buruk yang tidak saja mencoreng kehadiran kami, khususnya saya selaku salah satu staf pengajar, dan lebih parah dari itu telah melahirkan stigma ketidakbecusan kami dalam mentransformasikan pengetahuan sejarah kepada peserta didik.
Saya pribadi tidak pernah melarang mahasiswa membaca sastra, novel khususnya. Malahan, dalam beberapa momen perkuliahan sejarah intelektual di tahun 2017 lalu, saya membebankan mereka mereview Tetralogi Pulau Buru Pram yang termasyur itu. Di samping karya-karya Pram yang lumayan banyak, dan saya sendiripun belum khatam semua, saya lebih suka mengarahkan mahasiswa pada sastra angkatan Balai Pustaka hingga angkatan ‘66. Alasannya, setelah peristiwa ’65, tidak saya temukan kegairahan intelektual akibat genosida akademik Orde Baru selama 32 tahun. Hasilnya, sastra absurd dan ambivalen yang terlahir dari rahim represif rezim Orde Baru selalu phobia dengan bahaya laten komunisme. Meski dua dekade reformasi telah memperlihatkan perkembangan positif pada sastra Indonesia kontemporer, tetap saja belum mampu memuaskan dahaga primitif saya sebagaimana yang ditawarkan sastra Indonesia modern sejak 1920-an.
Dalam usaha pemutakhiran metodologi sejarah, monumen ingatan 65 di era reformasi mampu dikemas dengan apik oleh sastrawan, namun justru melahirkan dendam sejarah melingkar. Gen Z yang lahir belakangan disuguhi racun masa lalu antara siapa pelaku dan siapa korban. Kesimpulanya, historiografi ‘65 era reformasi tidak berbeda jauh dengan historiografi Orde Baru dan Orde Lama. Baik pelaku dan korban tidak berani mengungkap kesalahan yang telah dilakukan terhadap lawan politiknya. Pelaku hanya mengingat apa yang korban 65 lakukan sebelum 65, begitu sebaliknya, korban 65 mengedepankan nestapa pasca 65. Akibatnya historigrafi yang lahir mandul, non emansipatoris dan menghalangi rekonsiliasi di masa depan.
Meski saya mendukung mahasiswa membaca sastra, mereka perlu diberikan batasan-batasan, bahwa meskipun yang ditulis Pram adalah sastra sejarah, karyanya tidak bisa dijadikan sumber primer. Secara ideal, sejarah dan sastra harus berjarak. Sastrawan adalah Tuhan dalam alur cerita yang dibuatnya, bebas sekehendak hati mengatur subjek dan objek. Sejarawan sebaliknya tidak memiliki ruang gerak sebebas sastrawan. Sejarawan dituntut menunjukkan bukti dari sumber-sumber kredibel. Baik sejarawan dan sastrawan bertemu pada satu titik, yakni imajinasi. Tetapi, saya lebih menyukai istilah “fiksi”. Kata ini sempat diviralkan dalam acara ILC oleh Rocky Gerung untuk merujuk kitab suci semua agama yang dimaknai energi mengaktifkan. Sejarah yang dibuat tanpa imajinasi akan kering, bisu, tuli bahkan angkuh, karena hanya menyajikan fakta keras. Dengan meminjam keterampilan berimajinasi alasastrawan, narasi masa lalu itu bisa dikunyah dalam rasa yang lebih populis. Dengan saling pinjam metode masing-masing, sejarawan sebenarnya adalah sastrawan yang sedang nyambi
Kedua, mahasiswa sok marxis, saya menyebutnya marxis kimcil. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berorganisasi. Ruang HMJ, sekarang HMPS menjadi base camputuk sekedar kongkow, menyelesaikan tugas kuliah hingga merumuskan kegiatan. Dedikasi yang tinggi dan kadang berlebihan terhadap kegiatan kampus ditambah buruknya manajemen waktu, bahkan sampai mengorbankan perkuliahan. Akibatnya, tugas-tugas menumpuk dan terbengkalai, materi perkuliahan keteteran. Jalan satu-satunya adalah SKS, “sistem kebut semalam”. Jurus pamungkas yang sangat populer di kalangan mahasiswa sejak era bahula. Jika beruntung, tugas bisa selesai tepat waktu dengan hasil yang memuaskan. Jika kurang mujur, ketidakjujuran dalam wujud plagiasi dan copy paste tanpa etika menghasilkan tugas asal-asalan.
Moron jenis ini rata-rata memiliki cara pandang idealis. Bagi mereka, ada batas yang jelas dengan warna dunia yang hitam dan putih. Dalam momen tertentu, sikap kritis terhadap penyimpangan dualitas itu justru terperosok pada involusi, stagnasi berpikir ; yang sederhana terkesan ruwet, yang ruwet disederhanakan. Merekalah, yang dalam rapat-rapat jelang kegiatan kemahasiswaan menciptakan kondisi horor dan kaku. Rapat tidak akan usai jika alurnyanya tidak sesuai dengan apa yang moron jenis ini bayangkan.
Beberapa di antaranya saya lihat memiliki kemampuan akademik yang lumayan. Hal itu ditopang juga dengan budaya membaca yang bagus. Kebanyakan tertarik dengan buku-buku bertemakan gerakan dan protes sosial yang menjadikan kemiskinan, kebodohan, keterasingan, gender, kebudayaan, lingkungan dan bahkan politik sebagai trademark. Di setiap tatap muka, merekalah yang menjadi pioner kognitif kelas. Meski begitu, kadang saya menemukan kepongahan intelektual. Mereka menjelma menjadi marxis kimcil, metafora sosial bagi yang belajar teori gerakan sosial alamarxisme, tetapi setengah-setengah. Mereka hanya melahap buku bacaan gerakan dan protes sosial tanpa mentoring. Sekedar tahu, bukan paham.
Di prodi kami, penjelasan tentang teori agaknya terbatas. Materi perkuliahan lebih didominasi aspek pedagogik normatif. Teori sosial khususnya, hanya bisa didapatkan pada mata kuliah tertentu. Alasanya, background keilmuan prodi adalah pendidikan.
Pada sisi yang lain, sikap dan sifat konvensional ilmu sejarah termutakhir yang tidak menganggap teori sebagai ultima menyebabkan skripsi sebagai tugas akhir mahasiswa tidak terlalu banyak menggunakan teori. Alasannya, akan terperangkap pengkultusan dan etalase teori. Saya rasa sense of time dipadu metodethe power chronolgy sudah lebih dari cukup memberikan penjelasan yang komprehensif tentang fenomena sosial di masa lalu.
Salah satu teori sosial yang paling sering didiskusikan di mimbar akademik kampus adalah marxisme. Ketiadaan mentor dalam memahami teori sosial sekelas marxisme membuat jiwa-jiwa idealis aktivis mahasiswa ini mudah terprovokasi, khususnya melalui hoaks yang didesimnasikan melalui jejaring media sosial. Marx sebagai “isme” memiliki banyak sekali kelemahan organisatoris sehingga negara-egara penganut ideologi ini justru tergelincir pada diktatorisme, jauh dari visi egalitarianisme yang diangankan Marx. Marx dalam hal ini juga keliru, karena tidak memberikan penjelasan lanjut dalam berjilid-jilid karyanya yang berjudul “das capital” itu tentang apa yang terjadi setelah Fanguard Party didirikan utuk melakukan revolusi sosial mewakili kaum proletar mengambil alih kekuasaan borjuis. Dalam sejarah sosial bangsa-bangsa di dunia, Fanguard Party menjelma menjadi penguasa tiran. Eric Wolf menyebut golongan ini bermental petani atau peasant syndrome. Robert K Merton menyebutnya telah mengalami keguncangan budaya atau cultural shock.
Ketiga, mahasiswa melow. Moron jenis ini kebanyakan mahasiswi. Bisa juga mahasiswa sebagai pengecualian. Bagi mereka, kuliah ke kampus adalah ajang tampil fashionable, kekinian berbalut bedak tebal dan kutek cetar. Mereka adalah pribadi yang selalu update sekaligus upgrade teknologi informasi. Fesyen itu menjadikanya golongan yang mudah terpapar produk-produk kapitalis mulai dari parfum, peralatan make up, pakaian branded, musik, dan film. Mereka cukup antusias belajar di kelas jika dosen mampu menautkan tema pembelajaran dengan kehidupan asmara sehari-hari misalnya, atau mengkemas materi dengan banyolan-banyolan absurd mengocok perut. Sebaliknya, mereka akan mudah menguap dan membayang berada di “pulau kapuk” secepat mungkin meski perkuliahan baru berjalan beberapa menit jika dosen mengajar dengan cara-cara konvensional.
Sebelum menyampaikan kegaduhan sosial yang kerap terjadi pada setiap angkatan di prodi kami yang populasinya menjelang punah ini, makna sosial kontemporer moron saya kuliti. Lalu, dengan menarik benang merah ke masa lalu, akan mudah dicarikan padanan sekaligus genealogi ilmiahnya. Melalui cara kerja seperti itu, didapat gambaran bahwa moron tidak lain dan tidak bukan dekolonialisasi Barat yang tidak kunjung usai. Dengan sedikit sentuhan historis, jadilah istilah moron yang terkesan remeh mendapatkan panggung akademik dengan penjelasan yang lebih ilmiah.
Saya menyebut gaya ajar di atas sebagai ekspresi posmo, antitesis gaya konvensional yang text dan teacher sentris. Posmo berarti beyond modernity yang terispirasi dari teks-teks renaisance Eropa. Meski sudah muncul sejak dekade pertama abad XX, baru sejak tahun 80-an menjadi fesyen berpikir intelektual di Indonesia. Dalam mimbar akademik, kritik posmo kepada sejarah sebagai ilmu ditujukan pada kemiskinan epistemologis sejarawan dalam menautkan prosesualisasi masa lalu, kini dan masa depan. Di sisi yang lain, sejarawan pendidik yang berorientasi pada fesyen berpikir posmo harus mampu menjembatani konflik ideologis sejarah sebagai ilmu dan sejarah sebagai normativitas pendidikan. Keduanya, baik sejarawan ilmu dan sejarawan pendidik berhadapan musuh yang sama, yakni dekadensi kemapanan yang diakibatkan modernitas yang mendewakan masa depan, tanpa pernah menoleh ke masa lalu. Akibatnya, praktik-praktik pencecapan terhadap masa lalu dianggap “haram”, lalu muncul pertanyaan, untuk apa belajar sejarah?, gagal move on ya ?.
Hal semacam itu sering saya lakukan di perkuliahan, mengingat sebagian besar mahasiswa di prodi ini adalah “residu” dari calon mahasiswa yang gagal diterima di jurusan atau fakultas lain yang lebih populer. Masalahnya tidak berhenti sampai di situ, mahasiswa prodi sejarah harus berhadapan dengan stigma penampilan dan kesan kudet teknologi. Orang di luaran sana akan dengan mudah menuduh atau minimal memparodikan kami dengan satir-satir “kampungan”. Misalkan menyuguhkan gestur manusia purba yang tinggal di gua-gua, barbar sekaligus primitif.
Harapan saya, output mahasiswa di prodi ini meningkat, meski tidak ditunjukkan dengan raihan prestasi akademik, alih-alih non akademik, minimal muncul kegairahan belajar dan terpenting kebanggaan. Saya menyebutnya dengan “membangun militansi calon penyintas waktu di masa depan”.
By the way, saya sampai lupa menjelaskan makna moron sebagai dekolonialisasi Barat yang tidak kunjung usai. Jika dekolonisasi Barat diaktualisasikan dengan lahirnya sebuah negara baru secara de factosejak 17 Agustus 1945, maka dekolonialisasi Barat berhubungan dengan revolusi mental keindonesiaan. Dengan memakai kacamata Ben Anderson, keindonesiaan itu hanya fatamorgana, khayalan dan tidak sungguh-sungguh ada, bahkan cenderung absurd. Sebab, ia tidak lain adalah kebudayaan Barat itu sendiri yang bermimikri, diimitasi, diadopsi, lalu diberikan sentuhan lokal dan digunakan sebagai alat memerdekakan diri bangsa-bangsa terjajah. Thus, mimikri produk mental Barat itu menubuh (embodied) dalam alam pikiran bahkan perilaku kita. Beberapa sikap itu misalnya rasis, diskriminatif, mental penerabas hingga perilaku koruptif permisif.
Akhir-akhir ini, kata moron +62 itu tengah viral di prodi kami, khususnya di semester 4. Bukan saja stigma karena kandungan makna kontemporernya semata yang dikunyah remah ditelan mentah, namun juga makna akademisnya yang telah membatin. Dengan sangat mudah, orang-orang yang terkategorisasikan seperti ciri di atas dituduh moron, lebih sadis lagi “moron kimcil”.
Yang terbaru adalah ketika salah satu lagu pop Indonesia yang dinyanyikan Admesh Kamaleng, penyanyi asal Pulau Alor NTT, sekaligus juara ajang Pencarian Bakat The Raising Star Indonesia Season II berjudul “Cinta Luar Biasa” diperdengarkan hampir setiap malam di bus yang kami tumpangi pada acara KKL bulan April kemarin. Beberapa lirik yang digarisbawahi “aku tak punya bunga”, aku tak punya harta, yang kupunya hanyalah hati yang setia tulus padamu. Beberapa mahasiswa nyeletuk, “nikah makan cinta?”…”dasar ababil”, “wah lagu moron garis keras”, “moron radikal nih”. Sayapun tersenyum kecut mendengar ocehan malam genting itu.
Saat Study Tour usai, saya terkejut karena mendapati bahwa lagu yag dicap moron itu tersimpan di hp. Well, kesimpulannya, saya pun kadang dalam beberapa momen bisa menjadi moron, sederhananya “moron teriak moron”. [T]