Juni adalah bulan yang sangat sakral bagi para peserta didik dan tenaga pendidik. Ritual pembagian rapot sebagai hasil akhir dari sebuah pembelajaran selama satu tahun akan dilaksanakan. Tentu saja sebelum kegiatan tersebut, kepala sekolah beserta jajarannya (tenaga pendidik/guru) melakukan rapat yang biasa dinamakan rapat kenaikam kelas.
Tentu saja hal ini sangat membutuhkan perjuangan bagi sebagian guru yang mempunyai permasalahan dengan siswanya di kelas. Dalam hal ini adalah para siswa yang dianggap belum layak untuk naik ke jenjang selanjutnya.
Beberapa pendapat yang menyebabkan hal tersebut dilakukan adalah siswa yang kemampuan akademiknya di bawah rata-rata kelas atau perilaku siswa selama dalam pengamatan selama satu tahun. Hal ini pasti akan selalu terjadi perdebatan dalam rapat kenaikan kelas karena pro dan kontra antara guru kelas, teman sejawat, dan kepala sekolah.
Sebagian pendidik/guru berpendapat bahwa dengan tidak menaikkan kelas bagi siswa yang bermasalah adalah tindakan yang akan membuat mereka menjadi jera dan mampu mengambil hikmah dari hal tersebut. Dengan demikian guru berharap siswa akan termotivasi dan jauh lebih semangat untuk memperbaiki diri. Apakah salah pendapat tersebut? Tentu saja tidak. Saya rasa tidak ada seorang guru yang memiliki niat menghancurkan mental atau masa depan siswa. Tetapi meski demikian saya memiliki pandangan yang berbeda dalam hal ini.
Berbicara tentang dampak tidak naik kelas pada siswa yang dipaparkan tersebut, apakah sudah pasti tidak ada kemungkinan lain yang muncul. Sebut saja siswa akan menjadi merasa dan menganggap diri mereka tidak mampu. Siswa akan menancapkan dalam otak bawah sadar bahwa mereka tidak bisa seperti teman mereka dan lebih parahnya lagi mereka akan putus asa karena rasa malu?
Dari sisi pendidik/guru, saya merasa bahwa kita perlu bertanya pada diri sendiri tentang beberapa hal jika dihadapkan pada kasus ini.
Pertanyaan pertama:
Sudah optimalkah dalam proses pembelajaran selama satu tahun? Baik secara umum pada semua siswa dan secara khusus pada siswa yang bermasalah.
Tentu saja kita menemukan masalah seperti ini tidak langsung saat menjelang akhir tahun pembelajaran. Pasti kita mengetahui diawal tahun pembelajaran dengan mencari tahu riwayat masing-masing siswa dari guru kelas pada jenjang sebelumnya. Atau ketika di tengah perjalanan kita berinteraksi dengan siswa.
Pendidik/guru sudah pasti harus melakukan perbaikan-perbaikan pembelajaran untuk mencapai hasil pembelajaran yang maksimal. Dalam hal ini guru dituntut untuk melakukan penelitian tindakan kelas (PTK). Tujuan dari PTK adalah mencari permasalahan yang terjadi dalam kelas dan mencari solusinya. Dengan demikian permasalahan pada beberapa siswa atau proses belajar mengajar yang memang harus diatasi bisa diperbaiki.
Jika boleh dikatakan secara jujur ketika siswa mengalami hal ini – ketidakmampuan dalam memenuhi ketuntasan belajar mengajar, maka bukan hanya kegagalan dari siswa melainkan juga kita sebagai seorang pendidik. (Hal ini jika terjadi di luar dari kaitannya dengan teknis).
Pertanyaan kedua:
Sudahkah kita memahami betapa siswa itu adalah bintang?
“Jangan pernah mengharap seekor ikan mahir memanjat pohon.”
Jika kita memahami hal tersebut, maka kita akan sadar bahwa setiap siswa adalah unik. Mereka memiliki kecerdasan yang tentu saja berbeda-beda. Kita tidak bisa memaksakan diri pada seorang siswa mendapat hasil maksimal pada bidang tertentu sedangkan mereka tidak memiliki passion di sana.
Lalu bagiamana menyiasati hal ini? Kita berupaya agar siswa minimal memahami dan mendapatkan hasil pada batas rata-rata kelas. Dengan demikian siswa akan tetap mendapatkan hak belajar tanpa mendapat tuntutan diatas kemampuan mereka.
Pertanyaan ketiga:
Sudah sadarkah kita bahwa setiap siswa membutuhkan waktu yang tidak sama dalam berproses?
Tingkat kematangan siswa tidak akan pernah bisa sama. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah jenis kelamin, usia, dan lingkungan. Namun, hal ini juga tidak bisa kita jadikan acuan yang pasti.
Salah satu contoh dalam kelas dengan siswa dengan rentang usia sepuluh sampai sebelas tahun. Tingkat memahami sebuah soal yang diberikan guru pasti berbeda-beda. Namun, bagi anak yang tertinggal dari sisi akademik pada usia tersebut bukan berarti mereka tidak mampu atau tidak pandai. Mereka hanya butuh waktu sedikit lebih lama daripada yang lainnya.
Tiga hal tersebut dapat mewakili pendapat saya bahwa semestinya tak perlu ada tindakan tidak menaikkan kelas. Dalam mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan, guru memang butuh kerja keras dan kerja cerdas dalam menjalankan profesinya. Tentu saja semua itu tidak lepas dari dukungan orang tua ketika siswa berproses. [T]