- Judul: Gadis Suci Melukis Tanda Suci di Tempat Suci (kumpulan cerpen)
- Penulis: Made Adnyana Ole
- Pengantar: Sugi Lanus
- Penerbit: Mahima Institute Indonesia (cetakan 2, 2019)
- Tebal: xii + 82 halaman
- ISBN : 978-602-61063-6-0
___
Sesuatu yang berada di luar dugaan terjadi ketika Made Adnyana Ole berusaha “menulis kembali cerita-cerita” kakek-kakeknya guna menuliskan cerita-cerita pendek yang mengisi buku Gadis Suci Menulis Tanda Suci di Tempat Suci (selanjutnya disebut Gadis Suci). Upayanya tersebut tidak saja memberikan pembacanya sejumlah cerita-cerita pendek yang menarik dibaca namun juga menyingkapkan sesibak kondisi-kondisi kita saat ini.
Untuk memahami bagaimana Made Adnyana Ole (selanjutnya disebut MAO) melakukan hal tersebut, kita pertama-tama harus memahami bahwa yang MAO katakan sebagai “kegiatan bercerita” yang dilakukan oleh kakek-kakeknya adalah sesuatu yang saat ini tanpa ragu kita akan langsung golongkan sebagai “mendongeng”.
Dan pernyataan “menulis kembali cerita-cerita” sebenarnya adalah suatu proses rumit menuliskan kembali cerita-cerita yang kehadirannya dalam diri MAO dihidupkan oleh orang lain melalui kegiatan mendongeng.
Kita saat ini cenderung mengasosiasikan kegiatan mendongeng terbatas sebagai kegiatan menuturkan cerita-cerita khayal pengantar tidur semata, sehingga tanpa sengaja kita telah membutakan diri kita dari kemampuan untuk memandang seorang pendongeng sebagai suatu sosok kreatif sebagaimana kita memandang cerpenis, penyair, seniman rupa, dan penyanyi misalnya.
Hal tersebut disadari sendiri oleh MAO dan diketengahkannya dengan hati-hati melalui cerpen “Empat dari Seratus Lelucon Politik”; sebuah cerpen yang menceritakan tentang seorang ayah yang menidurkan anaknya dengan bercerita.
Cerpen yang sama juga memperlihatkan betapa tidak mudahnya memindahkan kegiatan mendongeng/bercerita secara langsung ke dalam bentuk tertulis. Karena berbeda dengan kegiatan menulis, publik penerima pada kegiatan mendongeng berada langsung dan turut berperan serta pada saat penciptaan.
Reaksi dan hasrat mereka dapat membuat sebuah cerita urung dituntaskan atau dilanjutkan terus-menerus hingga malam ke seribu serta pembawaan dan latar belakang mereka juga dapat membuat si pencerita menyesuaikan atau memilih cerita-cerita yang hendak diceritakannya.
Mengingat tingginya kesulitan yang harus dihadapi MAO, tidak akan begitu mengherankan jika renungan mengenai proses mendongeng dan kondisi sosok pendongeng di masa kita dapat turut mewarnai cerita-cerita yang diceritakan dalam buku Gadis Suci itu.
Dan memang, jika dilihat mempergunakan cara pandang tersebut, cerpen-cerpen serupa “Kerapu Macan” dan “Made Juta” memperoleh dimensi tambahan baru, hadir juga dorongan untuk meragukan sosok narator pada salah satu cerpen lain, dan kita mau tak mau dibuat bertanya-tanya ada apa sehingga MAO menyinggung peristiwa yang sama pada sekian cerpen yang berbeda sebelum akhirnya–seperti bom atom–menjabarkannya secara netral pada cerpen yang lain.
Sebagai sebuah buku, Gadis Suci adalah buku yang mengasyikkan dan amat memperkaya khasanah sastra mengenai Bali. Cerpen-cerpennya ditulis dengan kuat dan jitu, walau kadang terasa jika MAO terjebak dalam posisi “sekedar memberitakan” yang membuat saya berharap ia berani lebih banyak mengambil jarak dan tindakan kreatif. [T]