Semarak kesusastraan di suatu wilayah biasanya ditandai dengan munculnya kantong-kantong sastra di wilayah tersebut; Komunitas, sanggar, ruang kreatif, suatu wadah yang niscaya diperlukan oleh para penulis sastra. Maka semakin semarak tradisi bersastra akan berbanding lurus dengan banyaknya komunitas-komunitas sastra yang muncul.
Umumnya komunitas-komunitas sastra sebagai komunitas nirlaba dan tak terikat dengan instansi tertentu. Sehingga sifatnya menjadi lebih cair, hidup, dan mampu mengembangkan diri dengan bebas. Dengan prinsip tidak mengikat dan tidak terikat, akan menjadi semacam organisme hidup yang terus memberi dan menerima. Hal ini sesuai dengan prinsip para pekerja kreatif yang tak suka dikekang.
Meskipun pekerja kreatif, khususnya penulis karya sastra, adalah pekerjaan yang sifatnya soliter dan hanya memerlukan ruang hening untuk bekerja atau mencipta karya, nyatanya para penulis tetap membutuhkan ‘ruang ramai’ dan persentuhan dengan banyak orang. Selain untuk mensosialisakan karyanya, dengan wadah komunitas para penulis karya sastra bisa mendiskusikan wacana tertentu terkait dengan kreativitas, ‘mengadu’ ide atau gagasan, sebagai ruang apresiasi, ataupun untuk memunculkan persaingan secara positifantarsesama penulis sehingga mampu menjaga energi mencipta untuk terus tumbuh. Dengan adanya tradisi semacam ini juga timbul saling “asah-asih-asuh,” dan rasa memiliki ‘rekan latihan’ tak lain demi menunjang keberlangsungan kerja kreatif itu sendiri.
Termasuk di Denpasar, kantong-kantong kesenian atau komunitas sastra di kota ini juga terus bermunculan. Salah satunya adalah adalah Jatijagat Kampung Puisi (JKP) yang didirikan pada 25 Mei 2014 silam. Para pendirinya adalah beberapa alumni Sanggar Minum Kopi—sebuah sanggar sastra tahun 80-90-an yang banyak melahirkan sastrawan Indonesia di Bali—yang sudah malang melintang dalam dunia sastra atau seni pada umumnya.
JKP menjadi salah satu tempat untuk aktivitas sastra atau seni, tak terkecuali juga sebagai wadah untuk menampung orang-orang yang mulai tertarik pada seni dan mencari jalan untuk berkesenian. JKP menjadi semacam oase di tengah hiruk pikuk kehidupan urban dan pragmatisme kota Denpasar yang lebih dikenal sebagai kota wisata meski punya slogan budaya ini.
Sebagai komunitas sastra, selain tujuannya untuk memberikan ruang kegiatan yang berkaitan dengan sastra, tentu JKP juga memberikan ruang untuk menumbuhkan bibit-bibit baru penulis. Sepanjang perjalanannya selain diisi kegiatan diskusi sastra, baca puisi, bedah buku, acara “ngampung seni” (yang diadakan tiap akhir bulan), juga pernah diadakan kelas menulis yang diasuh oleh penyair Frans Nadjira. Selain itu Penyair Umbu Landu Paranggi pun terus menerus turut memberikan bimbingan tidak langsung kepada mereka yang punya ketertarikan pada sastra, khususnya puisi.
Pada tanggal 25 Mei 2019 Jatijagat Kampung Puisi memasuki usia yang kelima. Acara ulang tahun pun digelar pada lima hari kemudian, Kamis malam (30/5). Acara yang dikonsep dengan perayaan sederhana sekaligus disambung dengan diskusi bulanan itu dihadiri oleh Sastrawan Martin Aleida dan F. Rahardi. Keduanya menjadi pengisi diskusi dengan masing-masing mengangkat tema diskusi yang berbeda.
Acara yang dimulai pada pukul 19:30 itu pun dihadiri oleh puluhan orang dari berbagai kalangan. Ada mahasiswa, penyair, seniman, aktivis teater, peminat sastra, aktivis sosial, dll. Martin Aleida sebagai pembicara pertama banyak membincangkan proses kepenulisannya yang secara waktu sudah terentang selama lima puluh tahun.
Martin yang saat ini sudah memasuki usia tujuh puluh lima malam itu tampak sangat enerjik, berbicara dan menanggapi pertanyaan dari audiens seputar soal proses kreatifnya dengan begitu antusias. Tidak luput ia menceritakan kisah hidupnya termasuk masa-masa pahit setelah meletusnya peristiwa 1965 yang turut berimbas pada dirinya sebagai penulis dan sebagai pribadi. Bahkan ia pun sempat mencecap pengapnya ruang di balik jeruji Orba.
“Saya harus berjuang untuk membuka pintu lagi bagaimana saya harus kembali ke dunia satu-satunya yang saya ketahui di dunia ini, yaitu dunia menulis. Saya harus mencari ‘paspor’ baru. ‘Paspor’ itu saya peroleh dengan menulis di majalah yang sangat terpandang ketika itu, yaitu majalah Horison. Dua-tiga cerpen saya dimuat, nah itulah saya gunakan sebagai ‘paspor’ untuk melamar dan kemudian menjadi wartawan Tempo selama tiga belas tahun,” tutur sastrawan yang pernah menjadi wartawan di harian Zaman Baru itu tentang perjalanan hidupnya pada masa-masa baru bebas dari sebagai tahanan politik dan tak punya sumber pendapatan untuk menghidupi dirinya.
Sambil diselingi membaca salah satu cerpen karyanya, Martin Aleida juga menceritakan kisah-kisah nyata di balik cerpen-cerpennya yang kini dikumpulkan dalam buku “Kata-Kata Membasuh Luka” terbitan Kompas Gramedia. Dari segi tema hampir semua cerpen dalam buku itu mengangkat kisah para korban peristiwa 1965, termasuk fragmen kisah hidupnya sendiri.
Menurut Martin, sastra harus berpihak dan menyuarakan suara korban. Namun, ia tetap menekankan penulis karya sastra tetap tidak abai pada estetika dalam karya sastra itu sendiri, sehingga karya sastra tidak berpretensi “mengabarkan” atau sebagai karya jurnalistik, melainkan menggambarkan keadaan dengan kekuatan kata-kata yang bersifat sastrawi.
Sedangkan F. Rahardi yang mendapat giliran berbicara setelah Martin selain membicarakan seputar puisi “mbeling” yang pernah menjadi fenomena dalam perpuisian Indonesia pada tahun 80-an, juga banyak menceritakan proses kreatif dirinya sejak awal. Ia mengaku lahir dari keluarga miskin di Ambarawa. Sehingga keadaan kehidupan keluarganya itulah yang membuat ia lebih memilih memutuskan bekerja setamat sekolah menengah ketimbang melanjutkan sekolah.
Tapi terkait dengan puisi, ia sudah mulai menulis sejak dini. Sekali waktu ada seorang temannya yang secara misterius mengirim puisi-puisinya ke majalah Basis di Yogyakarta dan terbit di sana. Persoalannya bukan di situ, melainkan ketika ia menerima honor puisinya jumlahnya di luar dugaan, yang secara nominal cukup besar. Itulah yang juga turut memicu spirit proses kepenyairannya pada mula-mula.
Meskipun sebagai seorang Kristiani—agama yang menjadi latar-tema dari banyak puisi-puisinya yang kemudian disebut “Puisi Mbeling Religus”, F. Rahardi (dan keluarganya) mengaku tidak cukup akrab dengan agama tersebut sehingga dewasa. Agama hanya sebagai formalitas dalam keluarganya. Sedangkan secara praktik-ritual sehari-hari lebih dekat ke agama leluhur (baca: Animisme).
Menurunya, banyak faktor yang memicu keadaan ini. Salah satunya adalah keadaan gereja di wilayahnya yang cukup berjarak dengan rakyat bawah, terutama golongan miskin. Gereja itu didirikan oleh orang-orang Eropa semasa Hindia Belanda dan hanya diperuntukkan untuk golongan Eropa atau warga Tionghoa yang kaya raya.
Latar seperti itulah yang mendorong puisi-puisi mbeling F. Rahardi dengan muatan kritik sosial terutama soal kemiskinan dan keterkaitannya dengan lembaga agama. Misal pada puisi berjudul “Seorang Tukang Sate Bertanya Pada Tuhan” yang menggugat soal daging kambing lebih mahal dari daging Kristus.Ia juga banyak menggugat masalah ‘budaya korupsi’ yang merebak di negara kita, entah itu di lingkup instansi pemerintahan maupun di lembaga agama.
Menurut F. Rahardi korupsi itulah yang merupakan biang dari segala kemiskinan. Bahkan ia menyebut korupsi sebagai kejahatan terbesar yang tiada bandingnya. Meskipun pembunuhan juga dikategorikan sebagai kejahatan besar, tapi pembunuhan lebih tampak dan lebih mudah diusut, bahkan orang-orang mungkin juga turut menghujat pelakunya. Sedangkan korupsi tidak demikian, ia bersifat laten dan lebih sulit diatasi. Padahal dampak kerusakan sosial yang diakibatkan oleh korupsi sangatlah besar.
Selain memaparkan proses kreatifnya dan seputar kehidupan perpuisian Indonesia pada tahun 80-an, F. Rahardi juga membacakan beberapa karya puisinya sekaligus sebagai penutup acara diskusi yang dipandu oleh penyair Wayan Sunarta itu, juga mengakhiri perayaan ulang tahun Jatijagat Kampung Puisi yang kelima. [T]