Setiap enam bulan, kita menyucikan dan mengagungkan Dewi Saraswati sebagai dewi ilmu pengetahuan. Kita dititahkan untuk menjungjung tinggi ilmu pengetahuan dan selalu memahami setiap filosofi kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya.
Bagaimana jika ilmu pengetahuan itu menjadi kontradiktif dengan dogma keyakinan kita? Apakah Dewi Saraswati salah mengilhami manusia dalam pengembangan ilmu pengetahuan itu? Atau, kita anggap ilmu pengetahuan itu bukan sebagai ilmu pengetahuan?
Aku pun teringat sebuah kutipan yang sangat terkenal dalam dunia sains.
“Variasi-variasi kecil yang memberikan keuntungan bagi organisme yang mampu beradaptasi dan akan menghasilkan jenis-jenis baru melalui sifat-sifat keturunannya. Organisme yang mampu beradaptasi dengan baik akan tetap bertahan hidup. ‘Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa manusia berasal dari satu jenis hewan berkaki empat, berekor, dan bertelinga runcing’.”
Aku baca kutipan ini di sebuah buku Kanon Ilmu Pengetahuan di dalam bab Evolusi Darwin. Kutipan ini mengungkap sejarah keberadaan asa-usul manusia yang berasal dari seekor kera. Melihat kenyataan bahwa kita berevolusi dari seekor kera, tentu menghancurkan harga diri sebagai manusia.
Melihat kenyataan ini, kita yang menganggap diri sebagai manusia ciptaan yang paling mulia, apakah kita harus mengutuk Charles Darwin? Jika mengutuk Charles Darwin, bukankah kita sedang mengutuk pencerahan Dewi Saraswati dan lari dari kebijaksanaan? Mungkin aku yang dikutuk karena memiliki pemikiran seperti ini di hari Saraswati dengan sesajen dan harumnya asap dupa di atas tumpukan buku. Tumpukan buku yang mungkin sudah bertahun-tahun tidak pernah kita baca.
Akan tetapi aku berimajinasi tatkala dulu, di bumi hanya ada tumbuhan, tapi belum ada binatang. Ketika itu di bulan purnama, Dewa Brahma bertapa di atas batu besar.
***
“Lihat Kamajaya! Siapa yang duduk di batu besar itu?” ucap Dewi Ratih menunjuk ke arah pohon beringin dekat batu besar.
“Mana, aku tidak lihat?” tanya Kamajaya penasaran.
“Itu! Tubuhnya bercahaya menghadap ke laut,” kata Dewi Ratih.
“Oh, itu Dewa Brahma sedang bertapa,” ucap Kamajaya.
“Mengapa Dewa Brahma bertapa di sana?” tanya Dewi Ratih heran.
“Aku dengar-dengar dari Dewa Surya, Dewa Brahma bertapa di sana karena sedang menciptakan sesuatu yang belum ada di bumi dan itu permintaan Dewi Saraswati. Entah apa itu, aku tidak tahu,”jawab Kamajaya.
“Ayo kita lihat dari dekat! Siapa tahu kita bisa tahu apa yang dibuat oleh Dewa Brahma,” ajak Dewi Ratih.
“Ah, aku tidak berani. Jika ketahuan Dewa Brahma, kita tidak diperbolehkan lagi menjelajahi dan menghirup wewangian tumbuh-tumbuhan yang ada di bumi ini,” tolak Kamajaya.
“Kita hanya melihatnya dari dekat. Kalau sembunyi dan tidak berisik, kita tidak akan ketahuan atau mengganggu Dewa Brahma,” kata Dewi Ratih.
“Benar ya? Kita bersembunyi dan kamu tidak akan berisik atau membuat keributan! Aku tahu kamu tidak pernah mau diam. Janji ya!” pinta Kamajaya.
“Ya, aku tidak akan berisik ataupun membuat keributan,” kata Dewi Ratih sepakat.
Mereka pun pelan-pelan mendekati tempat pertapaan Dewa Brahma yang sedang khusuk. Tanpa pengetahuan Dewa Brahma, mereka naik ke pohon beringin dekat batu besar itu dan bersembunyi di antara dedaunannya.
“Hati-hati, jangan sampai ranting kering pohon ini jatuh mengagetkan Dewa Brahma!” bisik Kamajaya.
Dewa Brahma semakin khusuk bertapa di atas batu besar itu.
“Kira-kira apa yang akan diciptakan oleh Dewa Brama?” tanya Dewi Ratih.
“Lihat saja! Kita akan melihat ciptaan Dewa Brahma ketika bulan punamanya berakhir. Itu yang kudengar,” ucap Kamajaya memelankan suaranya.
“Oh, begitu ya,” ucap Dewi Ratih percaya.
“Awas Dewi Ratih! Itu ranting kering,” kata Kamajaya.
“Kreakkkkkk boooook!” Ranting kering pohon beringin patah dan jatuh tepat di belakang pertapaan Dewa Brahma.
“Keraaaa!” terucap perkataan itu tanpa sengaja oleh Dewa Brahma karena kaget. Dewa Brahwa menoleh ke belakang melihat apa yang mengganggunya.
“Ooooo, apa yang kau lakukan Dewi Ratih? Lihat! Kau sudah mengacaukan pertapaanku. Kau telah menyebabkan aku menciptakan kera,” Dewa Brahma marah.
“Ampun Dewa Brahma. Bukan maksud hamba membuat kekacauan ini. Hamba hanya penasaran dengan apa yang dewa akan ciptakan. Maafkan hamba,” sesal Dewi Ratih.
“Siapa itu di atas? Jangan hanya sembunyi di sana! Turun!” ucap Dewa Brahma, nada suaranya meninggi.
“Hamba Kamajaya.” Kamajaya gemetar turun dari pohon beringin.
“Gara-gara kalian berdua, aku tak sengaja menciptakan kera. Aku melakukan pertapaan ini karena sedang menciptakan manusia,” kata dewa Brahma.
“Maaf Dewa Brahma,” ucap sesal mereka berdua.
“Karena kalian sudah mengacaukan ciptaanku, kalian berdua harus berada dalam tubuh kera ini. Selama keturunan kera ini belum bisa berjalan tegak, kalian berdua tidak akan bisa bebas,” sabda Dewa Brahma.
Seketika tangan Dewa Brahma mengeluarkan cahaya menyinari Dewi Ratih dan Kamajaya. Kemudian, Kamajaya masuk ke dalam tubuh kera jantan dan Dewi Ratih masuk tubuh kera betina. Mereka hanya bisa berteriak ketakutan. Mereka itu lupa kalau dirinya sudah berada dalam tubuh kera.
Dewa Brahma membawa pasangan kera itu ke tengah hutan. Kini, Dewa Brahma melanjutkan pertapaanya. Di dalam pertapaannya, Dewa Brahma menunggu Dewi Saraswati.
“Ini waktunya Dewi Saraswati akan menemuiku,” pikir gelisah Dewa Brahma dengan janji yang belum mencapai paripurna.
Tiba-tiba, Dewi Saraswati datang berkunjung. Dewi Saraswati telah selesai melakukan meditasinya.
“Kakanda, bagaimana dengan permintaan hamba? Hamba sudah siap memberkahi ilmu pengetahuan kepada manusia.”
“Maafkan kakandamu ini yang belum menepati janji,” sesal Dewa Brahma.
“Mengapa Kakanda tidak bisa menepati janji?” tanya Dewi saraswati bingung.
“Coba adinda melihat mahluk hidup yang dijaga oleh Kamajaya dan Dewi Ratih!” ucap Dewa Brahma.
Dewi Saraswati mengubah pandangannya menuju mahluk hidup yang dimaksudkan oleh Dewa Brahma.
“Hamba memohon diciptakan manusia. Mengapa hamba hanya melihat seekor kera?” pikir Dewi Saraswati.
“Benar apa yang adinda pikirkan. Kakanda sudah menciptakan seekor kera, tetapi dalam hatinya sudah tertanam bibit empati yang nantinnya akan tumbuh cinta kasih. Kelak ketika ia menjadi manusia, perjalanan hidupnya tergantung anugerah yang adinda berikan kepada mereka,” ucap Dewa Brahma memecah pikiran Dewi Saraswati.
Dewi Saraswati memahami maksud dari perkataan Dewa Brahma. Ia menyadari sebagai Dewi Penyempurna ciptaan Dewa Brahma. Ia pun meninggalkan pertapaan Dewa Brahma.
“Ini sudah kehendak alam. Aku hanya harus memberikan anugerah di waktu yang tepat sehingga kera itu bisa berubah menjadi manusia yang sempurna. Kelak dengan anugrah ilmu pengetahuanku, ia akan bisa menjelaskan asal-usulnya menjadi manusia yang sempurna.”
Begitulah sabda Dewi Saraswati terbawa angin menelusuri setiap hati ciptaan Dewa Brahma.
Kini kera-kera itu pun beranak pinak. Jumlah mereka semakin banyak hidup di dalam hutan. Namun belum juga ada dari keturunan mereka bisa berjalan tegak.
Akan tetapi, tiba-tiba terjadi kemarau panjang. Hutan tempat kera itu hidup menjadi kering. Kera-kera tidak lagi bisa menemukan makanan di dalam hutan. Kera turun merangkak di darat mencari makanan. Mereka sangat lama berada di darat. Mereka tak pernah lagi bergelantungan di pohon-pohon.
Suatu ketika di malam bulan purnama, ada dua kera melahirkan bayi laki-laki dan bayi perempuan. Kedua bayi itu memancarkan cahaya kemilau. Melihat pancaran cahaya pada kedua bayi itu, para kera menjauh karena takut dengan cahaya itu. Mereka pergi meninggalkan kedua bayi kera itu.
Di balik kemilau cahaya pada kedua bayi itu, muncullah Dewi Ratih dan Kamajaya.
“Kita di mana ini, Kamajaya?” tanya Dewi Ratih bingung. Kamajaya dan Dewi Ratih belum sepenuhnya sadarkan diri.
“Entahlah, aku tidak tahu kita ada di mana,” jawab Kamajaya.
“Kalian berada di dunia baru. Di dunia baru inilah, kalian akan bebas dan akan mendapat tugas baru,” ucap Dewa Brahma menyadarkan Kamajaya dan Dewi Ratih.
“Maafkan hamba! Bukankah ini belum waktunya hamba bebas,” ucap Dewi Ratih.
“Inilah waktu yang tepat kalian bebas. Sebab, kelak kedua bayi ini akan bisa berjalan tegak ketika sudah dewasa. Kalian akan menjadi dewa pelindung yang selalu menjaga kedua bayi ini,” sabda Dewa Brahma.
Selesai Dewa Brahma bersabda, Kamajaya dan Dewi Ratih kembali dalam keadaan semula.
“Kalian sekarang sudah kembali menjadi dewa-dewi yang memiliki kekuatan cinta kasih. Rawat dan jagalah kedua bayi itu dengan baik. Kelak, kedua bayi itu akan menjadi makhluk yang paling pintar dan cerdas di antara ciptaanku.
Sebab, mereka sudah mendapatkan anugerah dari Dewi Saraswati. Tapi ingat, jika kalian tidak merawat dan menjaganya dengan baik, ia akan menjadi moster pintar yang menghancurkan alam yang telah aku ciptakan ini,” pesan Dewa Brahma. Kemudian Dewa brahma menghilang di balik cahaya bulan purnama.
Semenjak saat itu, Kamajaya dan Dewi Ratih selalu menjaga kedua bayi itu hingga menjadi makhluk yang paling pintar dan cerdas. Ribuan tahun kemudian, anak-anak mereka disebut sebagai manusia.
***
Dalam imajinasiku, mungkin kisah inilah yang menjadi alasan Charles Darwin mendapatkan anugerah dari Dewi Saraswati sehingga melahirkan ilmu pengetahuan hukum evolusi. Atau mungkin, anugrah kebijaksanaan Dewi Saraswati tertinggal di dalama hati kera sadangkan manusia hanya mau membawa kepintaran.
Atau mungkin juga, Charles Darwin adalah reinkarnasi dari Dewa Brahma dan Dewi Saraswati sehingga kita bisa bercermin kepada seekor kera dan menemukan kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang murni seperti yang disabdakan oleh Dewi Saraswati. Sebab terkadang, seekor kera lebih berempati dibandingkan dengan kita sebagai manusia.
Benarkah semua itu? Entahlah! [T]