Bahan-bahan utama, masing-masing bercitarasa enak.
Campur apa adanya, aduk saja.
Bungkus dengan daun kenangan masa lalu.
Tersajilah senyum mereka yang dulu pernah bersama.
Juga senyum saya, tentu.
***
Odalan sanggah (upacara agama tiap enam bulan sekali) di pura keluarga kami menyisakan banyak buah, pisang dan jaja uli begina. Selain peralatan upacara yang bertumpuk di beberapa tempat serta rasa letih yang akan pulih dengan tidur pulas setelah dua malam berlalu.
Selesai bersih-bersih dan membereskan peralatan upacara yang digunakan selama odalan, bertumpuklah buah dan jajan tersebut. Kami tidak bisa memberikan kepada sanak saudara, karena odalan kami bersamaan, sehingga tentunya mereka juga memiliki tumpukan buah dan jajan, yang sebaiknya dihabiskan, karena sesungguhnya seluruh buah dan jajan tersebut kualitas terbaik. Sudah pasti enak.
Untuk buah, selain pisang, solusinya tentu gampang. Tinggal dimasukkan ke dalam kulkas, amanlah dalam beberapa waktu dan bisa dicicil untuk dihabiskan. Nah, untuk pisang, agak sulit. Pisang, jika dimasukkan ke dalam kulkas, tampilannya akan tak elok lagi. Warnanya berubah coklat yang awalnya kuning gading. Meski sudah dibungkus dengan koran saat dimasukkan ke dalam kulkas, tetap saja bersemu coklat. Hilanglah selera untuk menikmatinya. Demikian juga dengan jaja uli dan begina. Jajan yang rasanya gurih dan renyah seperti kerupuk itu, bisa melempem jika tak segera dikonsumsi. Kadang jadilah dia penghuni tong sampah, padahal sungguh tak ada yang memungkiri, mereka enak sekali.
Hari ketiga setelah odalan. Saya memandang tumpukkan bahan-bahan berkualitas itu. Meski sudah dikonsumsi tiap hari selama tiga hari, tetap saja jumlah mereka masih banyak. Akhirnya hari ini saya memutuskan untuk membuat jaja leburan. Jajan yang selalu dibuat oleh kedua nenek saya, saat saya masih tinggal di kampung, belum menikah.
Saya hanya perlu membeli daun pisang. Bahan-bahan lain yang diperlukan sudah tersedia: pisang raja, jaja begina uli dan kelapa.
Sambil tersenyum karena berusaha mengingat bagaimana nenek saya dulu membuat jaja leburan, saya pun memulai melumatkan pisang raja. Sesungguhnya pisang apapun bisa dicampur, asal citarasanya manis, dan tentunya pisang batu tidak ikut serta. Pisang saya lumat dengan menggunakan garpu, dan karena merasa agak lambat, akhirnya tangannya saya pun ikut serta, tentu setelah dicuci bersih.
Kemudian saya melunakkan jaja begina dan uli. Saya gunakan air panas agar lebih cepat dan sekaligus membersihkannya. Jajan lunak dengan cepat. Dulu, nenek saya mencampur semua jajan lungsuran odalan. Jajan cacalan, jajan sabun (namanya memang begitu), jajan sirat, jajan matahari, satuh (yang bertekstur seperti pasir dan rasanya sangat manis karena campuran gula merah), dan entah jajan apalagi, yang penting berasa manis. Jajan yang dipakai oleh nenek saya ini memerlukan waktu yang lebih lama untuk melunakkannya karena lebih padat dibandingkan jajan begina dan uli. Kecuali satuh, tidak perlu ikut dilumatkan dengan air panas.
Saya kemudian mencampur seluruh bahan yang sudah dilunakkan, ditambah dengan kelapa yang sudah diparut. Sesudah tercampur seluruh bahan, saya kemudian mencicipi sedikit. Hmm…enak! Sudah pasti, karena seluruh bahan yang digunakan adalah bahan-bahan yang enak. Sebentar lagi akan jadilah jaja leburan yang saya buat.
Adonan jaja leburan itu saya sendok beberapa bagian dan saya pindahkan ke daun pisang yang sudah disiapkan. Masing-masing terdiri atas lima sendok makan adonan. Setelah membagi rata, terbentuknya lima bungkus jaja leburan.
BACA JUGA
Lima bungkus jaja leburan itu saya pindahkan ke panci untuk mengukus. Api kompor menyala. Mengingatkan saya dulu harus meniup semprong (bambu utuh kecil) untuk menyalakan api, karena dulu kami memasak menggunakan tungku tradisional, bukan kompor gas seperti saat ini. Nenek akan menggunakan daun-daun kering agar api cepat membesar, diantara kayu bakar.
Air mulai mendidih, uap panas muncul dari sela-sela tutup panci. Tak berapa lama, harum daun pisang bercampur dengan wangi pisang dan adonan lain yang tercampur, mulai memenuhi dapur, menelusup diantara lubang angin.
Sesudah terasa matang, saya pindahkan lima bungkus jaja leburan itu ke tempat untuk menyangrai, berupa wajan yang terbuat dari tanah liat. Jajan itu saya bakar atau dinyanyah, agar terasa lebih gurih.
Sepuluh menit kemudian jadilah jaja leburan yang saya buat. Harum gurihnya benar-benar membuat saya tidak sabaran untuk mencicipinya. Saya buka satu bungkus jaja leburan, warnanya dominan coklat putih, tidak seperti jaja leburan buatan nenek yang berwarna-warni karena aneka ragam bahan yang digunakan. Dengan riang hati satu suap jaja leburan berpindah ke mulut saya. Enak sekali. Meski sesungguhnya mulut saya gelagapan karena jajan itu masih panas mengepul.
Secangkir teh segera terhidang sebagai teman jaja leburan. Lalu saya duduk sendiri di balai dangin. Mengingat keriangan saya dan saudara-saudara saya menikmati jaja leburan. Kami harus mengirisnya agak tipis, agar semua kebagian dan bisa mengambil beberapa kali. Untuk yang membantu nenek saat proses pengerjaan jaja leburan, dia boleh mengambil satu bungkus.
Kini, saya bisa tersenyum mengerti, mengapa kedua nenek saya berusaha mengolah lungsuran odalan menjadi kudapan lezat atau bentuk olahan lainnya, hingga tak ada yang terbuang. Meski dulu kami tidak punya kulkas dan harus meniup api menggunakan semprong. Paling tidak, dulu nenek telah menyiapkan cikal bakal kenangan yang bisa saya ingat hari ini. [T]