Sejak 2010 silam, saya memiliki ikatan yang cukup erat dengan Gunung Batur, titik episentrum kaldera purba yang telah diakui UNESCO sebagai salah satu taman bumi di Indonesia. Saya memang lahir di kawasan Kaldera Batur, namun tahun itu adalah titik awal saya tersadar dengan ekologis Batur yang begitu penting bagi Bali
Ketika itu, saya menjadi salah satu bagian gerakan hijau bernama “Green Circle Gitakita”, yang dimotori SMAN 1 Kintamani, SMAN 1 Gianyar, dan SMAN 1 Tampaksiring -sekolah pertama adalah sekolah saya. Setahun berselang, keanggotaan forum itu bertambah dua SMA, yakni SMAN 1 Payangan dan SMAN 1 Sukawati. Selama tahun-tahun selanjutnya, gerakan mandiri yang melibatkan siswa-siswa SMA ini terus menyembul, dan masih aktif hingga kini seiring dengan keanggotaan dan semangat yang terus tumbuh.
Pada 2010 dan 2011 saya tahu betul bagaimana teknis gerakan hijau itu berjalan. Dua tahun itu saya masuk dalam panitia penyelenggara, bahkan pada 2011 saya adalah ketua panitianya. Sedangkan, pada 2012 dan seterusnya, jika ada waktu saya hanya melibatkan diri sebagai “tim hore” di hari H. Tak lagi terlibat teknis, sebab bukan lagi siswa SMA. Berapa tahun terakhir, saya ketahui pusat penanaman pohon pun telah digeser, berawal di kawasan Pura Pasar Agung Batur ke kawasan Pura Bukit Mentik Batur. Pura Pasar Agung merupakan “pintu utama” pendakian Gunung Batur saat ini, sedangkan Pura Bukit Mentik berada di kaki bagian barat gunung api itu.
Mungkin sebuah kebetulan, namun masa antara 2010-2012 adalah tahun-tahun penting bagi Batur dan Kaldera Batur. Tahun itu adalah awal mula ketersohorannya, hingga akhirnya diburu para “peraih puncak semu” yang kini hilir mudik tak kenal surut menjejak tempat yang dihormati masyarakat Hindu Bali sebagai parahyangan Hyang Dewi Danuh. Hingga 2010, Gunung Batur masih didaki oleh kalangan terbatas, jalur pendakian pun masih jalan setapak. Antara tahun-tahun tersebut memang telah dibangun jalan besar menuju Pura Pasar Agung, namun kondisinya belum semulus sekarang, yang berani menapakinya dengan kendaraan hanyalah orang-orang lokal atau para petualang sejati.
Dengan kondisi sedemikian rupa, eksekusi perdana Gitakita sangat berat. Tak banyak kendaraan yang mampu membawa logistik hingga empat zona tanam kami (terdiri dari zona hitam di sebelah barat laut Pura Pasar Agung, zona merah di sebelah barat daya pura, zona kuning di sebelah selatan, dan zona kuning di sebelah timur, di kawasan perbukitan dekat parkir saat ini). Untuk membawa ribuan bibit ampupu (Eucalyptus urophylla) dan trembesi (Samanea saman), juga logistik lainnya, diambil metode berantai, membutuhkan waktu hampir tiga jam hingga semua siap tanam.
Hasil penanaman yang kebanyakan dilakukan manusia berusia belasan tahun itu bisa dibilang menyedihkan. Tanaman yang hidup dari penanaman perdana jauh dari harapan, jauh di bawah 10 persen. Satu sisi, kami melakukan kesalahan dalam memetakan zona tanam. Disamping itu, cara tanam kami juga banyak yang ngawur, meski sudah di-briefing. Namun, gerakan perdana itu perlu diapresiasi tinggi. Tanpa ada semangat luar biasa dari para remaja yang rela menginap di alam semi terbuka di kawasan Pura Jati, tampaknya tak ada gerakan selanjutnya.
Berkaca pada penanaman 2010, sejumlah perbaikan dilakukan di tahun 2011. Zona diperkecil, hanya diambil kawasan zona kuning. Di kawasan tersebut, unsur tanah cukup memadai, tidak seperti daerah lainnya yanh didominasi batu lahar. Briefing pada peserta tentang cara tanam juga dipertajam. Meski demikian, lagi-lagi hasilnya belum maksimal. Hanya beberapa persen tanaman tumbuh dengan selamat. Sejumlah tanaman ampupu dan trembesi yang merupakan sisa-sisa aksi Gitakita di kawasan Pura Pasar Agung dapat ditemui saat ini dengan rentang tinggi sekitar 4-5 meter, hidup cukup rimbun.
Begitulah gerakan Gitakita itu berlangsung hingga saat ini. Pemainnya terus berganti, lokasinya pun digeser. Bukan hanya menanam, mereka juga dilakukan pemupukan pada tanaman yang mampu hidup.
Aliran Pendaki
Karena penasaran dengan puncak yang begitu dekat dari kawasan Pura Pasar Agung, beberapa minggu setelah Gitakita perdana, saya dan beberapa orang sahabat OSIS SMAN 1 Kintamani (Osmakita) melakukan pendakian Gunung Batur. Saya memang pernah sekali waktu menjajaki puncak saat SD, waktu itu bersama keluarga. Namun, tentu berbeda rasanya menyusur lereng bersama keluarga dan bersama rekan sebaya.
Seperti dinyatakan sebelumnya, ketika itu Gunung Batur belum setenar sekarang. Jalur pendakiannya pun belum mudah. Dimulai di Pura Jati, melewati jalur setapak yang beberapa puluh meter berada di barat jalan saat ini. Meski demikian, di puncak memang telah dibuka beberapa kedai. Satu sudah semi permanen, tempat kami selalu beristirahat sebelum menjajal puncak sejati untuk menyambut mentari.
Bagai candu, kegiatan itu semacam mentradisi. Sejak 2010, setiap tahun saya tak pernah absen naik Gunung Batur. Pada 2012, 2013, dan 2014 saya lakukan sebagai “hadiah kelulusan” tiga generasi Osmakita. Dalam kurun waktu 2015-2019 saya lebih sering mendaki bersama teman-teman kampus, dengan berbagai pilihan jalur.
Selebihnya, pendakian adalah pemenuhan tugas adat terkait ritual tertentu yang digelar Desa Pakraman Batur. Sebab di desa, saya masuk sebagai anggota Roban (pemuda desa adat) yang bertugas menjadi salah satu menyokong pelaksanaan segala macam ritus. Perjalanan sejak 2010-2019 itulah yang akhirnya berubah menjadi semacam rekaman, yang pada bagian tertentu dapat menjadi benih keprihatinan pada gunung yang melahap desa tua kami di kakinya, 1926 silam.
Arus wisatawan pendaki Batur sejatinya melonjak drastis sejak 2012, sesaat setelah Batur ditetapkan sebagai Global Geopark UNESCO. Lonjakan aliran itu pun semakin deras seiring menjamurnya media sosial (medsos) disertai akses jalan yang semakin mulus ke Pura Pasar Agung Batur. Kini, siapapun yang memiliki kendaraan dapat menuju Pura Pasar Agung dengan mudah dan nyaman. Jika ingin menuju puncak, cukup berjalan kira-kira 1 jam (standar) maka dijamin “anda sudah menjadi pendaki”.
Posisi Pura Pasar Agung memang sudah cukup tinggi. Ibarat badan manusia, mungkin sudah di ulu hati, cukup dekat dengan Siwadwara, stana Hyang Dewi Danuh. Di puncaknya, sunrise pun menanti. Siap mempopulerkan siapapun melalui jentikan jari di medsos ini dan itu, terlebih jika waktunya beririsan dengan fenomena alam Batur yang tiada tanding.
Etika di Gunung
Serbuan wisatawan naik puncak Batur memang dibenarkan menyulut menggelinsingnya ekonomi warga sekitar. Kedai-kedai di puncak Batur yang awalnya tak lebih dari lima buah, kini telah membiak menjadi belasan, mungkin puluhan.
Namun, konsekuensinya, beberapa titik puncak saya amati “diratakan”. Sebagian dibangun kedai baru, sebagian dimanfaatkan sebagai spot membangun tenda. Ada juga yang digunakan sebagai tempat duduk bagi wisatawan.
Dulu ada titik tracking yang menarik dan mendebarkan, lebar jalurnya tak lebih sejengkal, praktis hanya dilewati sebagian kaki. Sementara, kanan-kirinya sudah berupa kawah dan lerang yang sama-sama terjal. Itu adalah jalur terhoror dari semua jalur. Namun, terakhir saya merengkuh puncak pada Februari 2019 lalu, jalur itu telah punah. Hilang karena diperlebar. Pada satu sisi, pelebaran jalur itu akan mempermudah langkah pelancong, tapi sisi lainnya tidakkah termasuk mengubah topografi gunung yang masuk kawasan konservasi itu?
Jalur pendakian dari Pura Pasar Agung menuju Pura Kanginan (Puncak I Batur) dan Pura Kawanan (puncak II Batur) kini telah berubah bak sungai kering yang menyajikan longsoran batu dan pasir. Cerukannya begitu tampak, bagai mulut yang semakin lapar, membelah gunung perkasa itu.
Memang, seiring dengan mudahnya akses, mendaki Batur tak lagi sebuah beban. Jika dulu ada sejumlah pertimbangan yang menjadi jaring penyaring komitmen sang pendaki, kini jaring itu lebih cukup lebar, bahkan bolong-bolong. Hal yang sama juga terjadi pada perbukitan di timur Pura Pasar Agung. Dulu, tak begitu tampak jalan. Namun, kini sudah mengalami erosi, tampaknya begitu banyak kaki yang menapakinya menit demi menit. Sebuah gazebo juga telah dibangun di puncak bukit itu, sebagai fasilitas bagi para pemuja swafoto, untuk selanjutnya diunggah ke medsos. Tampaknya saya menjadi salah satu yang bertanggungjawab, sebab dari dulu cukup sering berfoto di sana.
Terkait kondisi jalur, dari sekian banyak jalur yang bisa dilalui menuju, saya kurang tahu kondisinya. Apakah semua mendapat perlakuan yang sama, hingga mengalami erosi? Tapi, keterjamahan itu tampaknya juga telah menerpa geosite-geosite yang ada, titik-titik yang dulu pernah saya sambangi ketika mendapat pelatihan kegunungapian dari Museum Geologi, 2011 silam.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Gunung Batur adalah kawasan suci. Puncaknya saja disebut Pura Kanginan (kawah I) dan Pura Kawanan (kawah II) yang tidak bisa didaki oleh sembarang orang, terutama yang cuntaka, baik karena sanak keluarganya meninggal maupun karena cuntaka diri, menstruasi misalnya. Beberapa barang, seperti olehan daging babi juga sangat pantang dibawa naik.
Saat ini, siapa yang menjamin hal itu? Sepengetahuan saya, belum sekalipun saya atau rekan yang saya kenal ditanya kondisi kecuntakaan, termasuk dibekali etis-etis di gunung suci oleh pemandu. Itu dapat dipahami, sebab tak mungkin memulangkan atau menunda seorang wisatawan Inggris misalnya, yang telah menjadwal kunjungan wisatanya hanya karena menstruasi. Bisa-bisa dolar yang sudah pasti masuk kantong terbang melayang!
Etika lainnya yang tak kalah penting, menyoal keberadaan biodiversitas di kawasan gunung itu. Bagi sebagain besar “pendaki semu”, ungkapan hits di kalangan pencinta alam “jangan meninggalkan apapun selain jejak, jangan mengambil apapun selain gambar, jangan membunuh apapun selain waktu” tak berlaku. Sepanjang kisah pendakian yang saya lakukan, masih sering dijumpai orang-rang mengambil bunga atau mencabuti batang bunga kasna atau edelweis yang hidup di kawasan tersebut.
Prilaku itu tak dapat disalahkan seratus persen. Sebab, kami masyarakat adat Batur memang kerap memetik bunga itu, kemudian digunakan sebagai sarana sembahyang. Bahkan, pada banten-banten tertentu, penggunaan edelweis sangat dianjurkan. Konon, ia disebut sebagai bunga perak, bersanding dengan bunga tiblun yang disebut bunga emas. Mereka merupakan bunga utama yang cukup berarti dalam pelaksanaan ritus di Batur. Kedua bunga ini tak mudah layu, dan hanya bisa temui dengan kualitas baik di kawasan Kaldera Batur. Maka, barangkali bunga ini bisa dijadikan salah satu referensi bagi Bangli yang tengah sibuk tentukan maskot. Dibanding gumitir, edelweis atau bunga kasna, cukup mewakili nilai endemik dan sisi kegunaan. Meskipun memang belum begitu terkenal. Tapi, bukankah maskot mementingkan kekhasan? Bukan wujud-wujud yang sudah lumrah?
Prilaku etis yang paling penting dari slogan di atas adalah sampah. Itulah yang saya lihat pada 2015 di Pura Kawanan dan saat saya menulis tulisan kecil ini di perbukitan samping Pura Pasar Agung. Jujur saja, rasa jengkel tak bisa dielakkan. Terlebih melihat sampah plastik digantung begitu saja di cabang pohon di perbukitan Pura Pasar Agung (tampaknya salah satu pohon yang berhasil hidup dari penanaman 2010).
Pada 2015, saya dan beberapa kawan mahasiswa Sastra Jawa Kuno Udayana yang melakukan pendakian telah dibuat jengkel oleh segundukan sampah di Pura Kawanan Batur, tepat di puncak yang masih mengeluarkan panas bumi dan sering dimanfaatkan memasak oleh segerombolan pendaki. Sampah sisa makanan, mulai dari pembungkus mie instan, air mineral, hingga tempat telur menggunung di puncak gunung. Meski penangannya kurang tepat, kami putuskan untuk membakar. Sebab, tak mungkin rasanya dibawa turun. Rasa jengkel itu kemudian saya tulis sebagai status di Facebook dan direspon beberapa orang, salah satunya pemandu pendakian. Setahun berselang, saya naik lagi ke spot itu, namun sudah tak ada lagi sampah.
Kejengkelan yang tak dapat dielakkan adalah kasus yang saya temui di kawasan perbukitan timur Pura Pasar Agung. Jika pelancong cukup waras dan paham Pergub Bali No 97 tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai, serta membaca gerakan Kedas Sampah Plastik gagasan PD KMHDI Bali, DPP Peradah Bali, dan aliansinya –kemudian dikukuhkan Pemprov Bali, yang beberapa bulan ini mengisi beranda medsos, temuan menjijikan itu tak akan terjadi. Kita patut menduga, pelaku penggantungan sampah plastic itu murni menggunakan gadgetnya untuk kepentingan swafoto dan ritual kekinian lainnya. Bukan membaca narasi yang baik-baik!
Jika sedikit tenang, mungkin juga laku itu sebuah kritikan. Di tempat kejadian perkara, memang tak ada tempat sampah. Namun, si pelaku memiliki niat baik, sejatinya sangat mudah membawa sampah bekas makanannya kembali ke bawah. Jaraknya tak begitu jauh juga dari parkiran, tak lebih dari 500 meter, tak sampai membuat ngos-ngosan. Selain pembungkus makanan, kemasan dan puntung rokok juga tersebar. Sebagian sampah tampaknya telah dibakar di tempat itu, terlihat dari bekas-bekas arang. Melihat sisa pembakaran itu, kami juga putuskan membakar sampah yang masih menggantung.
Batur Bukan Warisan!
Di akhir tulisan ini saya harus mengatakan secara jujur bahwa Batur bukan warisan. Dia adalah energi hidup Bali.
Sejumlah teks pondasi adab batin Bali, begitu juga aktivitas keagamaan yang terwarisi saat ini menjelaskan hal tersebut. Usana Bali misalnya, menyatakan Gunung Batur sebagai salah satu potongan Gunung Mahameru di Jambudwipa. Gunung Batur, layaknya Gunung Agung adalah lingga utama bumi Bali. Batur adalah stana Hyang Bhatari Danuh, penguasa unsur pradhanaatau unsur material Bali.
Jika belum begitu yakin dengan uraian Usana Bali, silakan bandingkan dengan ceruk sastra-sastra lainnya. Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul, Purana Tatwa, Babad Patisora, Babad Dalem, Babad Pasek, Babad Kayuselem, Babad Tambyak, Babad Badung, Dharma Pamculan, dan masih banyak lagi bisa dibaca menjadi pembanding.
Jika ingin lebih nyata, tanyakan tanyakan pada pekerja dan pengurus subak di antara Tukad Unda-Tukad Sungi (selatan) dan Tukad Macanggah-Tukad Banyumala (utara) tentang keberadaan Batur. Subak-subak di antara empat sungai itu adalah penyokong Pura Ulun Danu Batur yang disebut pasihan.
Menurut informasi teks dan konteksnya pada sistem pasihan, maka menjadi pekerjaan rumah bersama untuk dapat menjaga Kaldera Batur. Menurut kepercayaan, krama Batur memang berkewajiban sebagai juru sapa dan juru sapu (penyambut dan tukang bersih-bersih) parahyangan Ida Bhatari Dewi Danuh (Gunung dan Danau Batur). Namun, krama Bali tak boleh abai terhadapnya. Berbakti pada putri utama Hyang Pasupati ini tak serta merta terbayar dengan sembahyang sekali setahun ketika Ida Bhatara Turun Kabeh di Pura Ulun Danu Batur pada sasih kadasa, yang seringkali membuat lalu lintas lumpuh. Bakti itu dapat dilakukan dengan tindakan sederhana, misalnya menjaga lingkungannya dari sampah plastic yang jorok atau menjaga punting rokok agar tak menjadi bara dan melahap savana ketika musim kering.
Jika krama pasihansecara niskala menghaturkan sawinihatau sarin tahun sebagai ungkapan terimakasih atas keberlimpahan air, di era sekarang mungkin sudah saatnya dibangun kesadaran untuk sama-sama menanam sebatang pohon di kawasan kaldera Batur. Tujuannya sama, untuk kelangsungan air.
Bagi kalangan inti penjaga Gunung Batur, upaya penjagaan hendaknya juga tak berhenti sampai ritual pacaruanketika ada hal-hal yang mengotori gunung atau danau. Tindakan lebih nyata, misalnya memberlakukan sistem buka tutup pendakian, untuk memberikan waktu gunung beristirahat dapat diambil. Penyediaan fasilitas penunjang seperti tempat sampah juga sangat penting diadakan, sebagai tanggung jawab moralitas Kaldera Batur yang telah menghidupi. Terpenting, tentunya adalah pembekan etis pada pendaki. Setelah semua upaya sekaladitempuh, selebihnya kita hanya bisa gantungkan harapan kelestarian Batur pada kekuatan niskala. Jika kekuatan niskala memang menghendaki Kaldera Batur beserta semua isinya musnah, maka musnahlah. Desa Batur telah menerima anugerah itu pada 1926 silam, ketika pekarangan desa habis ditelan lahar. [T]