Percaya atau tidak, kedua kata itu, cinta dan kematian, berkaitan. Erat bahkan. Contohnya: “Aku cinta padamu sampai mati”. “Aku cinta mati sama kamu”. “Aku akan terus mencintaimu sampai kematian tiba”. “Gue cinta mati sama elu”. “Tresnan Beline kanti mati”. Dan masih banyak lagi.
Contoh-contoh kata itu, biasanya digunakan oleh sekelompok kaum yang tidak boleh saya terangkan dalam tulisan ini. I can’t mention mereka. But, saya yakini kita sudah paham siapa mereka. Harus saya yakinkan kalau itu gombal.
Jelas saja itu gombal. Mana ada orang cinta hanya sampai mati. Yang namanya cinta, harusnya bertahan bahkan setelah kematian. Maka katakan, “aku cinta padamu, bahkan maut tak bisa memisahkan”. Gitu. Tapi itu lebih gombal lagi sepertinya. Atau ganti dengan, “aku cinta padamu tanpa kata sampai”.
Cinta kalau dicari di kamus-kamus, artinya sebuah perasaan suka sekali, atau sangat sayang. Kalau sudah terjangkiti, jangan harap ada rasa takut pada setan. Apalagi setan yang beraninya mengganggu hanya saat tidur. Kalau jatuh cinta, jarak jadi tidak berarti. Waktu seperti lenyap. Dan tubuh seperti tidak ada.
Itulah receh-receh cinta. Semacam kembalian sehabis beli sebotol yogurt dan sebungkus roti cokelat. Bisa juga kembalian sehabis beli sebotol bir besar dan sebungkus kacang. Ah, saya ingin melupakan bir-bir itu. Lalu menggantinya dengan segelas susu. Tentu saja tanpa air tuba di dalamnya. Itu karena saya ingin hidup sehat agar lebih lama saya lihat dirinya. Ciehhh…
Tulisan kali ini, saya tidak ingin serius. Di luaran sana sudah banyak yang serius. Saya yakin ada beberapa kawan yang bosan dengan obrolan pengkerut dahi. Tapi saya juga tidak yakin, selama seri Cangak ini ada, saya pernah serius. Mungkin pernah, mungkin tidak. Yang serius itu hanya satu, “aku sayang kamu”. Gombal.
Sepertinya ini tulisan paling receh yang pernah saya tulis [meski semua tulisan saya sepertinya memang receh]. Tapi tak mengapa, toh air masih mengalir, gunung masih tegak, dan Jdanau masih tergenang. Lalu sodara/i masih membacanya. Terimakasih.
Edisi kali ini, sebenarnya saya ingin menceritakan tentang sebuah lontar yang bicara tentang kematian. Tapi tidak jadi, karena nanti tulisan ini jadi serius. Makanya saya ubah judul di atas menjadi semacam kritik kepada dua klasifikasi manusia.
Isi lontar yang ingin saya ceritakan itu sebenarnya cukup mencengangkan. Di dalamnya ada cara-cara untuk mati [bukan cara mati ala Bali dari teks Sumanasantaka]. Di sana juga ditulis tentang anugerah seorang guru kepada muridnya tentang cara melepaskan atma dari tubuh. Saya masih menimbang, akankah isi teks lontar itu saya sebarkan. Karena menerima artinya mengalirkan.
Biarlah nanti kalau memang harus saya ceritakan, akan saya tulis. Tapi resikonya, kalau berani menulis, haruslah berani mempraktikkan. Kalau tidak, ya tulisan hanya tinggal tulisan. Tidak ada taksunya. Begitu saya diajarkan.
Dari sekian isinya, yang bisa saya telusuri hanya cara menghitung hari baik untuk upacara kematian. Tentu saja selain upakara yang juga ditulis di sana. Percaya atau tidak, setelah membacanya saya benar-benar takjub sendiri. Kok para tetua dulu, bakat baana ngitungang ane keto-keto. Im so proud of you my Panglingsir.
Apalagi pembicaraan tentang aksara dan juga rajahannya. Teks itu sungguh memusingkan. Tapi entah kenapa, juga mengasyikkan. Membaca teks memang begitu, ia sulit tapi menarik. Kadang sehabis membaca sesuatu teks lontar tertentu, kita bisa memetakan apa yang sedang dibicarakan oleh orang lain yang juga menyenangi dunia perlontaran.
Contohnya adalah kata Jarayu yang beberapa waktu lalu dimuat di tatkala.co. Ada dua teks Bali yang kebetulan saya baca memuat kata itu. Yang satunya memberikan terjemahan tegas, apa itu Jarayu. Yang satunya bicara tentang kemunculannya dari Ongkara Pramana sebagai ajaran dari Parama Rahasyopadesa.
Contoh lainnya adalah kata Kajang. Yang dipakai saat upacara ngaben. Ngaben itu ada banyak istilahnya: Sawa Wedana, Swastagni, Ngelanus. Belum lagi setelah ngaben diikuti upacara nyekah. Nyekah itu juga ada beberapa istilahnya: Nyekah Kakangsen, Kurung, Mamadya. Saya tidak ingin memperdebatkan antara Kajang yang bisa mengantarkan jiwa atau tidak.
Kajang menurut shastranya, adalah salah satu upakara. Sebagaimana umumnya upakara, ia adalah lapis terluar dari tiga lapisan kerangka agama. Karena ia lapis terluar, maka ialah yang sering terlihat dan diperdebatkan. Tidak mengherankan.
BACA TULISAN LAIN TENTANG JARAYU DAN KAJANG:
- JARAYU-TANTRA – Catatan Kecil dari Percakapan Prof Hooykaas dengan Pedanda Made Sidemen
- Kematian, Kajang dan Jiwa
- Sang Jiwa & Suara Aksara –Penjelasan Singkat Upakara Ngeringkes dan Ragam Kajang
Segitu saja tentang kematian. Pusing tidak? Bagi yang tidak, barangkali karena memang senang dengan yang begitu-begitu. Bagi yang pusing, silahkan tidur. Siapa tahu bisa mimpi indah tentang cinta dan kematian. Saya anjurkan tidur lebih banyak bagi kaum jomblo, siapa tahu di mimpi ketemu “ia” yang diharapkan. Biasanya dunia mimpi menyediakan yang kita inginkan. Biasanya! Kalau tidak, berarti tidak biasa.
Tidak ada salahnya jadi jomblo, tidak salah juga untuk tidak jomblo. Kedua kelompok ini tidak boleh saling mencaci maki. Sebaiknya silahturahmi. Saling kunjungi, saling mohon maaf, dan saling memaafkan. Yang jomblo tidak perlu demo agar ada aturan yang mengatur percintaan. Yang tidak jomblo, juga jangan mencibir. Kita ini kan satu negara. Negara Telaga.
Meski telaga akan segera kering, tidak apa-apa kalau kita mencoba dulu menggali sumur. Kan tidak ada kata terlambat. Masak iya, orang disebut bodoh hanya karena terlambat menggali sumur. Orang disebut bodoh, jika orang itu Belog. Menurut orang Bali jaman dahulu, belum tentu yang bodoh adalah yang tidak belajar. Orang terpelajar pun disebutnya bodoh. Orang yang terpelajar disebut bodoh, karena ia pintar. Saking pintarnya, ia asyik sendiri dengan kepintarannya.
Kalau ngomong dengan orang aneh memang begitu. Segalanya seperti kontraproduktif. Kata-katanya seolah kontradiktif. Yang paling kontras itu, kalau nemu orang saat bicara dengan kita dia berkata U, saat dengan orang lain dia berkata I, ketemu dengan koleganya yang kaya raya dia bilang A, ketemu orang miskin dan religious dia berkata T. Bayangkan satu kata apa yang bisa kita katakan untuk orang begitu.
Apapun kata yang bisa kita bayangkan, jangan sampai mengumpat. Karena itu tidak baik. Dilarang oleh segala macam aturan norma-norma hukum dan agama. Kalau tidak percaya, monggo ditakonkan kepada para ahli. Kan banyak tuh sekarang ahlinya ahli.
Ahli pindang sambel matah. Ahli sayur kangkung. Ahli babi guling. Ahli kitab. Ahli daun. Ahli apa lagi? Pokoknya banyak ahlinya ahli. Konyolnya, kita barangkali diam-diam tahu, kalau ada ahli ngaku-ngaku. Ngaku begitu dan ngaku begini. Begini begitu kok ngaku-ngaku? Giliran begitu-begituan tidak pernah ngaku. Konyol.
Tapi sepertinya memang begitu. Hidup ini sekumpulan kekonyolan. Boleh kan kalau kekonyolan yang banyol itu ditertawakan?
Hidup memang ada yang serius. Ada juga yang serius untuk hidup. Bagi yang serius hidup, segala pengalaman di masa lalu dijadikanya guru. Guru-guru masa lalu itulah yang menginisiasinya menjadi sosok bijaksana tiba-tiba. Sehingga bisa memberikan teladan kepada orang lain agar tidak seperti masa lalunya.
Begitulah hidup, konyolnya tiada akhir. Seberapapun konyolnya hidup, pokoknya “aku tetap cinta mati sama kamu sayang”. Auuuu… [T]
- BACA: CANGAK YANG LAIN