- Judul: Menanam Puisi di Emperan Matamu
- Penulis: Wayan Esa Bhaskara
- Penerbit: Mahima Institute Indonesia
- Cetakan: Desember 2018
- Tebal: xi + 106 halaman
- ISBN: 978-602-51560-3-8
—
Saya akan membuka ulasan/pembicaraan atas buku ini dengan mengutip pendapat George Orwell mengenai latar belakang penulis dalam menuliskan karyanya. Dalam konteks ini menerbitkan karya atau bukunya. Menurut Orwell dalam esainya yang berjudul “Mengapa Saya Menulis”, ada empat motif seorang penulis menuliskan atau menerbitkan karyanya.
Pertama, sekadar sebagai egoisme, yaitu keinginan untuk tampak lebih pintar, populer, dikenang setelah dirinya meninggal, ataupun menempatkan diri pada kedewasaan semu, dalam arti sekadar ingin membalas terhadap penghinaan-penghinaan atas kehidupan masa kecilnya.
Kedua, antusiasme estetis. Yaitu keterpesonaan pada kata-kata. Persepsi atas keindahan dan hasrat ingin berbagi pengalaman yang dianggapnya cukup bernilai. Ketiga adalah impuls historis, yaitu mencari fakta-fakta sejati, dan menyimpannya untuk keperluan pelacakan asal-usul. Dan keempat adalah menulis sebagai tujuan politis. Yaitu politis dalam makna yang sangat luas.
Barangkali motif keempat inilah yang jangkauannya sangat luas, dan mungkin sebagai puncak proses atau obsesi dari sebagian besar seorang penulis. Karena dengan motif politis seorang penulis akan turut menawarkan gagasan atau turut ambil bagian atas kehidupan masyarakatnya secara lebih konkrit. Dalam kata lain, hanya dengan motif politis sebuah tulisan bisa berkontribusi atas perubahan baik dalam skala besar maupun kecil dalam diri maupun di luar diri penulisnya.
Akan tetapi dalam penulisan karya sastra, motif politis saja tentu tidak cukup. Dalam tulisan sastra paling tidak atau idealnya ada motif estetis dan motif politis yang seimbang. Jika motif estetis semata tentu hanya suatu nonsens yang ditawarkan, atau katakanlah bersolek ria.
Dalam sejarah sastra Indonesia setidaknya kita pernah mengenal yang dinamakan puisi-puisi gelap. Puisi yang kabur makna. Puisi eksperimental yang memaksimalkan kata-kata untuk mencapai keindahan tertentu tetapi mengabaikan isi. Sedangkan motif politis semata tanpa diimbangi dengan motif estetis tentu akan jatuh menjadi banalitas, sarat pesan, jargon plastis dan sloganistis.
Lalu bagaimana dengan buku Menanam Puisi di Emperan Matamu karya buku pertama Wayan Esa Baskara ini jika ditilik kadarnya untuk membaca motifnya berdasarkan motif tadi, manakah yang lebih dominan?
Buku Menanam Puisi di Emperan Matamu ini memuat 105 puisi dengan beragam tema yang diangkat oleh penyairnya. Berdasarkan titimangsa yang tercantum di bagian akhir puisi, sebagain besar puisi-puisi dalam buku ini tergolong puisi-puisi baru diciptakan, yaitu sepanjang tahun 2017-2018—meski ada juga sebagian yang diciptakan pada tahun-tahun sebelumnya. Sesuai dengan pengakuan penyairnya, Wayan Esa Baskara, dalam pengantar buku ini, momen paling produktif dalam menulis puisi antara tahun 2017-2018.
Sebagai buku kumpulan puisi tunggal/perorangan, jumlah puisi dalam buku ini cukup banyak, atau jika tidak mau dikatakan terlalu banyak. Kumpulan puisi yang memuat cukup banyak puisi tentu memiliki keuntungan tersendiri jika digarap dengan cukup baik, yaitu menawarkan beragam hal dari penyairnya atau menyuguhkan lanskap yang luas atas pemikiran atau prinsip si penyair sendiri. Namun sebaliknya, jika tidak diperhitungkan dengan sungguh-sungguh tentu puisi-puisi yang banyak tadi hanya akan sebagai ukuran kuantitas semata dan menjadi mozaik yang menjemukan.
Misal jika kumpulan puisi itu terlalu banyak menyodorkan keberagaman tema, selain sulit mencari titik tolak pembicaraan atas apa yang hendak disampaikan oleh penyairnya dan wacana tertentu yang hendak disampaikan dengan kesadaran pada konsep estetika puitik, juga sulit dinilai keutuhan sebuah buku puisi.
Tapi hal ini dalam buku Menanam Puisi di Emperan Matamu, Wayan Esa Baskara sepertinya cukup paham menyiasati hal itu. Dengan puisi-puisi yang masih memiliki gaya ungkap yang serupa antara satu dengan yang lain, ketakberkaitan (terutama dari segi tema) yang menjadi rongga dan pemisah antara satu puisi dengan puisi yang lain itu menjadi sedikit tertutupi. Dalam arti puisi dari halaman pertama sampai halaman terakhir masih memiliki gaya yang serupa dalam mengkonstruksi kata-kata sehingga menjadi sebuah puisi.
Dikatakan juga oleh penyairnya, penciptaan puisi-puisi dalam buku ini dilakukan di tiga tempat atau kota berbeda, antara lain Tabanan, Singaraja dan Denpasar, yang tentu saja tempat-tempat itu memiliki atmosfir yang berbeda pula. Namun apakah atmosfir berbeda itu turut mempengaruhi proses dan corak puisi-puisi Wayan Esa Baskara?
Dari 105 puisi dalam buku ini sepertinya sulit dicari perbedaannya atas pengaruh tiga tempat berbeda itu—kecuali secara tema antara satu puisi dengan puisi yang lain yang memang berbeda-beda—baik dari segi diksi, metafor, sudut pandang (yang hampir dari keseluruhan puisi-puisinya sarat dengan personalitas si penyair) hingga persoalan mengolah sebuah tema ke dalam bahasa estetik. Dalam kata lain, tiga tempat yang berbeda secara karakteristik itu; Tabanan yang agraris, Singaraja yang maritim dan Denpasar yang urban, tak cukup memberi arti signifikan yang turut mengubah prinsip atau kesadaran estetik penyairnya.
Karena puisi-puisi dalam buku ini hanya menyertakan titi mangsa (waktu) tetapi tidak disertai nama tempat di mana puisi-puisi itu dibuat, cukup sulit sebenarnya mana puisi yang dibuat di tiga tempat berbeda itu. Namun dengan karakteristik tiga tempat yang memiliki ciri khasnya masing-masing itu tentu sedikit banyak kita masih bisa melacaknya.
Misal puisi “Lembu Hitam di Jalan Thamrin”: masih begitu pagi / dingin menyelimuti gundah hati / dilatari lagu nyiur di depan puri // begitu ampuh mengurai air mata / sejak pagi-pagi sebelumnya. Dengan puisi berjudul “Mengajak Putri ke Sawah”: kita tak perlu menuggu / langkahkan saja sepasang janji dan kesaksian / di bawah purnama kali ini // jangan takut gaunmu kotor / sebab malam menjelang / butiran lumpur akan menjelma jadi bebutiran gundu / warna-warni / yang siap kita mainkan / di petak sawah terakhir milik kakek.
Puisi pertama kemungkinan dibuat atau terpantik oleh suasana Denpasar, mengingat ada sematan nama Jalan Thamrin—nama yang umumnya hanya digunakan untuk nama jalan protokol dalam kota. Sedangkan puisi kedua adalah mengambil latar tempat yang bercorak agraria dan non unban.
Namun keduanya tidak memiliki perbedaan yang kental baik diksi, simbol, maupun suasana yang dibangun sehingga mampu memberi batas penegas antara dua tempat yang memiliki ciri berbeda secara spesifik. Pengalaman berbeda yang dialami penyairnya atas tempat berbeda belum sepenuhnya mampu mendorong menjadikan pengalaman berbeda pula baik secara estetik maupun prinsip.
Di sisi lain puisi-puisi Wayan Esa Baskara dalam buku Menanam Puisi di Emperan Matamu ini sebagian besar mengangkat ragam tema sederhana (meski ada juga tema yang tak begitu sederhana, misal puisi “Naga Bumi”, “Perang”, atau “Genderang Telah Ditabuh”) dan dilukiskan secara sederhana, dengan nuansa liris yang kental. Umumnya bercorak puisi-puisi pendek dengan bertumpu pada aku lirik atau personalitas penyairnya yang dominan dan cenderung impresif.
Sebagaimana sifat impresi, puisi-puisi dalam buku ini membicarakan beragam hal secara sekilas lalu, sesuatu yang tampak atau terasakan oleh penyairnya dan sesegara mungkin dicatat dan diberikan tempat dalam kata-kata. Dalam kata lain, puisi-puisi Wayan Esa Baskara adalah puisi-puisi yang tak mencari atau mendalami peristiwa.
Simak misalnya puisi berjudul “Malam” yang saya kutip secara utuh: Sungguh/ sebutir gelap yang tumpah / tak kau hirau / meski/ kau bisa membacanya. Puisi ini singkat, padat dan tampak sangat enteng seperti ditulis dalam sekali tarikan nafas oleh penyairnya. Tapi secara tak langsung juga memiliki daya gugah dan sugestif.
Sebagaimana kita tahu, keberhasilan sebuah puisi tidak ditentukan oleh panjang atau pendeknya, melainkan kadarnya; kekuatannya secara artistik, ketepatannya secara linguistik, padu dan mencapai sublimitas. Jika puisi panjang adalah sebuah formula yang singkat namun masih membutuhkan pengembangan; bagian-bagian dalam puisi panjang nyaris otonom (sebagai bagian dari keseluruhan), dengan keanekaan yang maksimal tanpa merusak kesatuan, pada puisi pendek keanekaan dikorbankan demi kesatuan sebagaimana puisi tersebut.
Meski ada juga pada sebagian puisi dalam buku ini yang tampak tidak terlalu diperhitungkan secara teknis. Terutama soal pertimbangan musikalitas puisi, seperti aliterasi, asonansi dan pola rima, sehingga meskipun perhitungan ekonomi kata cukup ketat, puisi menjadi sedikit tercecer terutama dari segi bunyi. Minus unsur bunyi jika dalam puisi naratif misalnya, tentu tidak terlalu mencolok. Tetapi dalam puisi lirik bunyi memiliki peranan penting. Jika tidak digarap dengan cermat, akan cukup mengganggu pembacaan.
Tapi terlepas dari persoalan itu puisi-puisi dalam buku ini cukup menarik terutama dari segi tema yang diangkat, apalagi seandainya tema-tema itu dieksplor lebih jauh lagi oleh penyairnya. Misal tema-tema tentang lokalitas Bali, terutama yang berkaitan dengan tema upacara agama atau adat seperti yang berada dalam puisi “Tumpak Landep”, “Saraswati”, “Nyepi,” dll.
Meskipun tema-tema ini sudah cukup umum diangkat oleh penyair-penyair dari Bali, tentu masih cukup ada celah untuk dimasukinya dan turut ambil serta, tentu dengan cara mengembangkannya lagi untuk memperkaya dari apa yang dibicarakan pendahulunya, atau bahkan mempertentangkannya sehingga menimbulkan rangsangan estetik yang lebih segar. Atau juga misal pada puisi-puisi tentang kuliner yang berkaitan dengan Bali yang cukup banyak ditemukan dalam buku ini.
Dengan menjelajahi tema-tema itu secara lebih luas, lebih serius, maka bukan tak mungkin motif-motif personal atau egoisme seperti yang sebut Orwell sebagaimana yang tampak dalam hampir semua puisi-puisi Esa Baskara ini, akan beranjak ke motif yang lebih luas lagi, atau bahkan bisa jadi sebagai gabungan dari empat motif sehingga mampu meperkaya baik secara personal atau ego, estetis, historis maupun politis. [T]