31 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Mozaik dari Personalitas Si Penyair –Catatan Buku Puisi Esa Bhaskara

Kim Al Ghozali AMbyKim Al Ghozali AM
May 23, 2019
inUlasan
Mozaik dari Personalitas Si Penyair –Catatan Buku Puisi Esa Bhaskara
41
SHARES
  • Judul: Menanam Puisi di Emperan Matamu
  • Penulis: Wayan Esa Bhaskara
  • Penerbit: Mahima Institute Indonesia
  • Cetakan: Desember 2018
  • Tebal: xi + 106 halaman
  • ISBN: 978-602-51560-3-8

—

Saya akan membuka ulasan/pembicaraan atas buku ini dengan mengutip pendapat George Orwell mengenai latar belakang penulis dalam menuliskan karyanya. Dalam konteks ini menerbitkan karya atau bukunya. Menurut Orwell dalam esainya yang berjudul “Mengapa Saya Menulis”, ada empat motif seorang penulis menuliskan atau menerbitkan karyanya.

Pertama, sekadar sebagai egoisme, yaitu keinginan untuk tampak lebih pintar, populer, dikenang setelah dirinya meninggal, ataupun menempatkan diri pada kedewasaan semu, dalam arti sekadar ingin membalas terhadap penghinaan-penghinaan atas kehidupan masa kecilnya.

Kedua, antusiasme estetis. Yaitu keterpesonaan pada kata-kata. Persepsi atas keindahan dan hasrat ingin berbagi pengalaman yang dianggapnya cukup bernilai. Ketiga adalah impuls historis, yaitu mencari fakta-fakta sejati, dan menyimpannya untuk keperluan pelacakan asal-usul. Dan keempat adalah menulis sebagai tujuan politis. Yaitu politis dalam makna yang sangat luas.

Barangkali motif keempat inilah yang jangkauannya sangat luas, dan mungkin sebagai puncak proses atau obsesi dari sebagian besar seorang penulis. Karena dengan motif politis seorang penulis akan turut menawarkan gagasan atau turut ambil bagian atas kehidupan masyarakatnya secara lebih konkrit. Dalam kata lain, hanya dengan motif politis sebuah tulisan bisa berkontribusi atas perubahan baik dalam skala besar maupun kecil dalam diri maupun di luar diri penulisnya.   

Akan tetapi dalam penulisan karya sastra, motif politis saja tentu tidak cukup. Dalam tulisan sastra paling tidak atau idealnya ada motif estetis dan motif politis yang seimbang. Jika motif estetis semata tentu hanya suatu nonsens yang ditawarkan, atau katakanlah bersolek ria.

Dalam sejarah sastra Indonesia setidaknya kita pernah mengenal yang dinamakan puisi-puisi gelap. Puisi yang kabur makna. Puisi eksperimental yang memaksimalkan kata-kata untuk mencapai keindahan tertentu tetapi mengabaikan isi. Sedangkan motif politis semata tanpa diimbangi dengan motif estetis tentu akan jatuh menjadi banalitas, sarat pesan, jargon plastis dan sloganistis.

Lalu bagaimana dengan buku Menanam Puisi di Emperan Matamu karya buku pertama Wayan Esa Baskara ini jika ditilik kadarnya untuk membaca motifnya berdasarkan motif tadi, manakah yang lebih dominan? 

Buku Menanam Puisi di Emperan Matamu ini memuat 105 puisi dengan beragam tema yang diangkat oleh penyairnya. Berdasarkan titimangsa yang tercantum di bagian akhir puisi, sebagain besar puisi-puisi dalam buku ini tergolong puisi-puisi baru diciptakan, yaitu sepanjang tahun 2017-2018—meski ada juga sebagian yang diciptakan pada tahun-tahun sebelumnya. Sesuai dengan pengakuan penyairnya, Wayan Esa Baskara, dalam pengantar buku ini, momen paling produktif dalam menulis puisi antara tahun 2017-2018. 

Sebagai buku kumpulan puisi tunggal/perorangan, jumlah puisi dalam buku ini cukup banyak, atau jika tidak mau dikatakan terlalu banyak. Kumpulan puisi yang memuat cukup banyak puisi tentu memiliki keuntungan tersendiri jika digarap dengan cukup baik, yaitu menawarkan beragam hal dari penyairnya atau menyuguhkan lanskap yang luas atas pemikiran atau prinsip si penyair sendiri. Namun sebaliknya, jika tidak diperhitungkan dengan sungguh-sungguh tentu puisi-puisi yang banyak tadi hanya akan sebagai ukuran kuantitas semata dan menjadi mozaik yang menjemukan.

Misal jika kumpulan puisi itu terlalu banyak menyodorkan keberagaman tema, selain sulit mencari titik tolak pembicaraan atas apa yang hendak disampaikan oleh penyairnya dan wacana tertentu yang hendak disampaikan dengan kesadaran pada konsep estetika puitik, juga sulit dinilai keutuhan sebuah buku puisi.

Tapi hal ini dalam buku Menanam Puisi di Emperan Matamu, Wayan Esa Baskara sepertinya cukup paham menyiasati hal itu. Dengan puisi-puisi yang masih memiliki gaya ungkap yang serupa antara satu dengan yang lain, ketakberkaitan (terutama dari segi tema) yang menjadi rongga dan pemisah antara satu puisi dengan puisi yang lain itu menjadi sedikit tertutupi. Dalam arti puisi dari halaman pertama sampai halaman terakhir masih memiliki gaya yang serupa dalam mengkonstruksi kata-kata sehingga menjadi sebuah puisi.    

Dikatakan juga oleh penyairnya, penciptaan puisi-puisi dalam buku ini dilakukan di tiga tempat atau kota berbeda, antara lain Tabanan, Singaraja dan Denpasar, yang tentu saja tempat-tempat itu memiliki atmosfir yang berbeda pula. Namun apakah atmosfir berbeda itu turut mempengaruhi proses dan corak puisi-puisi Wayan Esa Baskara?

Dari 105 puisi dalam buku ini sepertinya sulit dicari perbedaannya atas pengaruh tiga tempat berbeda itu—kecuali secara tema antara satu puisi dengan puisi yang lain yang memang berbeda-beda—baik dari segi diksi, metafor, sudut pandang (yang hampir dari keseluruhan puisi-puisinya sarat dengan personalitas si penyair) hingga persoalan mengolah sebuah tema ke dalam bahasa estetik. Dalam kata lain, tiga tempat yang berbeda secara karakteristik itu; Tabanan yang agraris, Singaraja yang maritim dan Denpasar yang urban, tak cukup memberi arti signifikan yang turut mengubah prinsip atau kesadaran estetik penyairnya.

Karena puisi-puisi dalam buku ini hanya menyertakan titi mangsa (waktu) tetapi tidak disertai nama tempat di mana puisi-puisi itu dibuat, cukup sulit sebenarnya mana puisi yang dibuat di tiga tempat berbeda itu. Namun dengan karakteristik tiga tempat yang memiliki ciri khasnya masing-masing itu tentu sedikit banyak kita masih bisa melacaknya. 

Misal puisi “Lembu Hitam di Jalan Thamrin”: masih begitu pagi / dingin menyelimuti gundah hati / dilatari lagu nyiur di depan puri // begitu ampuh mengurai air mata / sejak pagi-pagi sebelumnya. Dengan puisi berjudul “Mengajak Putri ke Sawah”: kita tak perlu menuggu / langkahkan saja sepasang janji dan kesaksian / di bawah purnama kali ini // jangan takut gaunmu kotor / sebab malam menjelang / butiran lumpur akan menjelma jadi bebutiran gundu / warna-warni / yang siap kita mainkan / di petak sawah terakhir milik kakek.

Puisi pertama kemungkinan dibuat atau terpantik oleh suasana Denpasar, mengingat ada sematan nama Jalan Thamrin—nama yang umumnya hanya digunakan untuk nama jalan protokol dalam kota. Sedangkan puisi kedua adalah mengambil latar tempat yang bercorak agraria dan non unban.

Namun keduanya tidak memiliki perbedaan yang kental baik diksi, simbol, maupun suasana yang dibangun sehingga mampu memberi batas penegas antara dua tempat yang memiliki ciri berbeda secara spesifik. Pengalaman berbeda yang dialami penyairnya atas tempat berbeda belum sepenuhnya mampu mendorong menjadikan pengalaman berbeda pula baik secara estetik maupun prinsip.

Di sisi lain puisi-puisi Wayan Esa Baskara dalam buku Menanam Puisi di Emperan Matamu ini sebagian besar mengangkat ragam tema sederhana (meski ada juga tema yang tak begitu sederhana, misal puisi “Naga Bumi”, “Perang”, atau “Genderang Telah Ditabuh”) dan dilukiskan secara sederhana, dengan nuansa liris yang kental. Umumnya bercorak puisi-puisi pendek dengan bertumpu pada aku lirik atau personalitas penyairnya yang dominan dan cenderung impresif. 

Sebagaimana sifat impresi, puisi-puisi dalam buku ini membicarakan beragam hal secara sekilas lalu, sesuatu yang tampak atau terasakan oleh penyairnya dan sesegara mungkin dicatat dan diberikan tempat dalam kata-kata. Dalam kata lain, puisi-puisi Wayan Esa Baskara adalah puisi-puisi yang tak mencari atau mendalami peristiwa. 

Simak misalnya puisi berjudul “Malam” yang saya kutip secara utuh: Sungguh/ sebutir gelap yang tumpah / tak kau hirau / meski/ kau bisa membacanya. Puisi ini singkat, padat dan tampak sangat enteng seperti ditulis dalam sekali tarikan nafas oleh penyairnya. Tapi secara tak langsung juga memiliki daya gugah dan sugestif. 

Sebagaimana kita tahu, keberhasilan sebuah puisi tidak ditentukan oleh panjang atau pendeknya, melainkan kadarnya; kekuatannya secara artistik, ketepatannya secara linguistik, padu dan mencapai sublimitas. Jika puisi panjang adalah sebuah formula yang singkat namun masih membutuhkan pengembangan; bagian-bagian dalam puisi panjang nyaris otonom (sebagai bagian dari keseluruhan), dengan keanekaan yang maksimal tanpa merusak kesatuan, pada puisi pendek keanekaan dikorbankan demi kesatuan sebagaimana puisi tersebut.

Meski ada juga pada sebagian puisi dalam buku ini yang tampak tidak terlalu diperhitungkan secara teknis. Terutama soal pertimbangan musikalitas puisi, seperti aliterasi, asonansi dan pola rima, sehingga meskipun perhitungan ekonomi kata cukup ketat, puisi menjadi sedikit tercecer terutama dari segi bunyi. Minus unsur bunyi jika dalam puisi naratif misalnya, tentu tidak terlalu mencolok. Tetapi dalam puisi lirik bunyi memiliki peranan penting. Jika tidak digarap dengan cermat, akan cukup mengganggu pembacaan. 

Tapi terlepas dari persoalan itu puisi-puisi dalam buku ini cukup menarik terutama dari segi tema yang diangkat, apalagi seandainya tema-tema itu dieksplor lebih jauh lagi oleh penyairnya. Misal tema-tema tentang lokalitas Bali, terutama yang berkaitan dengan tema upacara agama atau adat seperti yang berada dalam puisi “Tumpak Landep”, “Saraswati”, “Nyepi,” dll. 

Meskipun tema-tema ini sudah cukup umum diangkat oleh penyair-penyair dari Bali, tentu masih cukup ada celah untuk dimasukinya dan turut ambil serta, tentu dengan cara mengembangkannya lagi untuk memperkaya dari apa yang dibicarakan pendahulunya, atau bahkan mempertentangkannya sehingga menimbulkan rangsangan estetik yang lebih segar. Atau juga misal pada puisi-puisi tentang kuliner yang berkaitan dengan Bali yang cukup banyak ditemukan dalam buku ini. 

Dengan menjelajahi tema-tema itu secara lebih luas, lebih serius, maka bukan tak mungkin motif-motif personal atau egoisme seperti yang sebut Orwell sebagaimana yang tampak dalam hampir semua puisi-puisi Esa Baskara ini, akan beranjak ke motif yang lebih luas lagi, atau bahkan bisa jadi sebagai gabungan dari empat motif sehingga mampu meperkaya baik secara personal atau ego, estetis, historis maupun politis. [T]                           

Tags: Bukukumpulan puisiPuisiresensiresensi buku
Previous Post

Buku Puisi Esa Bhaskara: Puisi-puisi yang Melintas Batas Hingga ke Ruang Kelas

Next Post

Ngotek – Inilah Pementasan Tiada Henti Sepanjang Hari di Kampung Loloan

Kim Al Ghozali AM

Kim Al Ghozali AM

Penulis puisi, prosa, dan esai. Ia memulai proses kreatifnya di Denpasar, dan kini mukim di Surabaya.

Next Post
Ngotek – Inilah Pementasan Tiada Henti Sepanjang Hari di Kampung Loloan

Ngotek - Inilah Pementasan Tiada Henti Sepanjang Hari di Kampung Loloan

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Tembakau, Kian Dilarang Kian Memukau

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 31, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

PARA pembaca yang budiman, tanggal 31 Mei adalah Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Tujuan utama dari peringatan ini adalah untuk meningkatkan...

Read more

Melahirkan Guru, Melahirkan Peradaban: Catatan di Masa Kolonial

by Pandu Adithama Wisnuputra
May 30, 2025
0
Mengemas Masa Silam: Tantangan Pembelajaran Sejarah bagi Generasi Muda

Prolog Melalui pendidikan, seseorang berkesempatan untuk mengembangkan kompetensi dirinya. Pendidikan menjadi sarana untuk mendapatkan pengetahuan sekaligus mengasah keterampilan bahkan sikap...

Read more

Menjawab Stigmatisasi Masa Aksi Kurang Baca

by Mansurni Abadi
May 30, 2025
0
Bersama dalam Fitri dan Nyepi: Romansa Toleransi di Tengah Problematika Bangsa

SEBELUM memulai pembahasan lebih jauh, marilah kita sejenak mencurahkan doa sembari mengenang kembali rangkaian kebiadaban yang terjadi pada masa-masa Reformasi,...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025

MEMASUKI tahun ke-10 penyelenggaraannya, Ubud Food Festival (UFF) 2025 kembali hadir dengan semarak yang lebih kaya dari sebelumnya. Perayaan kuliner...

by Dede Putra Wiguna
May 31, 2025
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co