2 March 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Ulasan

Buku Puisi Esa Bhaskara: Puisi-puisi yang Melintas Batas Hingga ke Ruang Kelas

Ni Kadek Desi Nurani Sari by Ni Kadek Desi Nurani Sari
May 23, 2019
in Ulasan
38
SHARES
  • Judul: Menanam Puisi di Emperan Matamu
  • Penulis: Wayan Esa Bhaskara
  • Penerbit: Mahima Institute Indonesia
  • Cetakan: Desember 2018
  • Tebal: xi + 106 halaman
  • ISBN: 978-602-51560-3-8

—

“Kau terpelajar, cobalah bersetia pada kata hati” 

Kalimat milik Pramoedya Ananta Toer ini selalu ingin saya kutip dalam setiap kesempatan yang mengizinkan saya memakainya. Akan tetapi,  selalu ada batasan-batasan pada setiap tempat dan dalam diri setiap orang. Padahal kita hanya perlu merenungkannya bersama.  Kualitas yang sama juga saya temukan setelah membaca puisi “Menanam Puisi di Emperan Matamu” karya Wayan Esa Bhaskara yang notabene seorang terpelajar, sekaligus yang senantiasa bersetia pada kata hati, yakni puisi!

Saya tidak dapat menjelaskan Esa sebagai siapa. Setiap kawannya tentu akan memeberinya nama sebagaimana kesan mereka saat bertemu dan saat bersama. Saya sendiri awalnya hanya mengenal Esa sebagai alumni Jurusan Pendidkan Bahasa dan Sastra Indonesia Undiksha.  Kekasih dari seorang teman kekasih saya. Ia suka menulis puisi. Itu hal wajar bagi saya. Lulus dari perguruan tinggi dan memilih mengabdikan diri di sebuah sekolah negeri sebagai guru Bahasa Indonesia juga adalah hal yang sudah sewajarnya. Yang menjadikannya berbeda, Esa tetap menulis dan bergaul dalam komunitas ketika ia menjadi guru.  Tidak banyak yang sanggup melakukannya sebagai pilihan. 

Esa dan karya-karyanya  seharusnya  bisa menjadi rumah belajar bagi saya dan kawan-kawan guru Bahasa Indonesia dalam ruang-ruang pendidikan formal. Ketika Bahasa Indonesia menjadi sebuah mata pelajaran yang sulit dijelaskan, terasa sepele namun sulit dilakukan, terasa tidak dibutuhkan sebagai modal dasar mencari pekerjaan, untuk apa kehadirannya di dalam kelas?

Saya pikir guru Bahasa Indonesia-lah yang punya andil menjadikan mata pelajaran Bahasa Indonesia itu penting dan berguna di mata siswa. Ini memang semakin mengejutkan setelah siswa berada di dalam ruang kelas dengan sebuah tugas membuat karangan cerita pengalaman pribadi.

Kesulitan menulis hampir dialami semua anak.  Bahkan ada pertanyaan salah seorang siswa saya, “Bu, saya mau bilang kalau saya akan datang menemuinya, bagaimana cara menuliskannya?”

Hal itu baru saja dikatakannya tetapi tidak sanggup dijelaskannya dalam tulisan.  Dasar cerita di atas mungkin bisa bagi cerminan untuk saya dan kawan pengajar Bahasa Indonesia yang lain, kenapa kehadiran Esa dan karya puisinya menjadi penting.  

Pada puisi Esa, ulang-alik penyair dan guru tampak hadir silih berganti. Kesadaran Esa dalam berlatih bahasa terlihat pada cara  ia membiasakan kata dalam Bahasa Indonesia yang terasa asing, sengaja dihadirkan dalam puisi. Hal ini tampak secara sadar Esa tuliskan sebagai bentuk ungkapan identitas dirinya sebagai guru Bahasa Indonesia.  Hal ini tercatat pada bait kedua puisi Sajak Tiga Bagian.

.

Pada Tubuh sajak ini

Kita bersepakat kata-kata telah matang

Gampang disergap mata

Rampng di ranjang hingga cecabang

Sementara kau terlalu lelah

Menggubah seluruh kisah tabu

Diceritakan ibu pada malam itu

.

Terdapat penggunaan kata “menggubah” dalam Bahasa Indonesia. Menggubah berasal dari akar kata “gubah”. Ia juga berupa sebuah homonim, atau dapat dikatakan sebuah kata dengan ejaan dan cara pelafalan yang sama tetapi memiliki makna yang berbeda. Memiliki makna yang berarti merangkai, mencocokan, dan mengatur. 

Sebagai guru Esa sangat tahu itu kata yang begitu asing untuk siswa, atau untuk  sebagian besar masyarakat umum.  Meski demikian, penggunaan bahasa baku yang kerap kali Esa gunakan mungkin perlu dipertimbangkan kembali, sebab hal itu mungkin dapat menghancurkan bangunan kata lainnya. Semisal penggunaan bahasa baku  dalam karyanya yang berjudul “Ruang” Esa menggunakan beberapa kata  seperti “Relevan” dan “Merespons”. Secara pribadi, kata itu justru mengganggu bangunan puisi karena terkesan kaku. 

Uniknya, kendatipun Esa tampak begitu kukuh dalam menyampaikan visi personalnya sebagai guru Bahasa dan Sastra Indonesia, pada beberapa bagian, permainan  kata yang tidak biasa rupanya telah coba dilakukan  Esa.  Masih pada puisi yang sama, saya ingin mengutip bait terakhir Sajak Tiga Bagian.

.

Pada akhir sajak ini

Ribuan kata memilih jadi hujan

Hingga lelaron berlayang

Agar ka tak letih berlari

Dari satu sudut ke sudut lainnya

Mengembara satu dua kenangan

Yang mulai tampak tenang

.

Penggunaan “kata lelaron” semisal. Dalam pemakaian teori bentukan kata memakai imbuhan, di Bahasa Indonesia “le” tidak termasuk ke dalam imbuhan Bahas Indonesia. Demikian Juga dengan beberapa kata seperti “bebutiran” pada puisi ”Mengajak Putri ke Sawah” kata “bebutiran” yang berasal dari kata “butir” dapat berubah bentuk menjadi berbutir-butir, atau butir-butir. Hal ini bisa jadi adalah tanda bagi ciri khas karya-karya Esa. Di satu sisi Esa sangat ketat dalam penggunaan Bahasa Indonesia, dan di sisi lain ia mencoba mempermainkan kata di luar aturan kebahasaan.

Saya kira potensi Esa dalam menyikapi ulang-alik perjalanannya sebagai penyair dan guru begitu besar. Hal ini menjadi penting jika dikaitkan dengan konteks yang terjadi di lingkngan sekolah. Sudah jadi rahasia umum jika pelajaran bahasa cenderung disepelekan diantara siswa. Bahasa yang disepelekan terjadi karena pembelajarnya telah menggunakan bahasa yang mereka pelajari.

Menjadi terasa sulit kemudian karena bahasa itu disusun dalam bentuk-bentuk teks yang berbeda. Meski demikian, bagi saya pribadi bentuk teks itu hanya persoalan meletakan strukturnya. Masalah bagi siswa tidak terletak di sana, sebab secara teori dan praktik pelajaran Bahasa Indonesia saat ini memang telah berupa rumus-rumus penghafalan dan siswa jauh lebih dari kata sanggup untuk melakukannya. 

Kesulitan itu justru saya temukan tentang daya ungkap siswa, memaknai kata sehingga tepat diletakan di mana. Dalam hal ini saya memandang Esa sangat menyadari posisinya sebagai seorang guru Bhahasa Indonesia tentang pentingya merawat kata sebagai modal dasar daya ungkap.

Kelahiran karyanya dalam bentuk kumpulan buku puisi, saya rasa adalah wadah yang Esa gunakan untuk proses latihan. Saya katakan demikian karena bagi saya pribadi puisi dapat memberi kita kebebasan mempermainkan kata-kata. Menjadikannya pasif atau aktif. Memebebaskan kata bergulat  dengan perasaan apapun. Membiarkannya hanya jadi kata atu kalimat sempurna, dan kemngkinan-kemngkinan permainan bahasa lainnya yang Esa lakukan. 

Upaya-upaya pegukuhan dan permainan kata dalam puisi Esa ini, barangkali bisa menjadi salah satu pedoman bagi kita selaku guru Bahasa Indonesia dalam menerapkan sistem pengajaran Bahasa Indonesia di kelas. Setidaknya upaya menulis dapat kita perkenalkan sebagai usaha mengukuhkan dan memepermainkan kata menjadi rangkaian-rangkaian kalimat yang lebih sempurna.

Atau setidaknya, mengajarkan anak merumuskan kata menjadi lebih terasa pantas di dengar dibandingkan dengan hanya mengatakan seperti, “Butuh mengoleskan balsem penahan hujatan” untuk mengatakan perasaan jengkel. Sebagaimana kerap kita temukan pada status media sosial hari ini. Betapa tak berdaya guna, betapa tak bergaya bahasa! [T]

Tags: Bukukumpulan puisiPuisiresensi buku
Ni Kadek Desi Nurani Sari

Ni Kadek Desi Nurani Sari

Pemain teater, juga menulis puisi dan cerpen. Puisinya terkumpul dalam antologi "Hadiah untuk Langit". Kini menempuh pendidikan di Fakultas Bahasa dan Seni, Undiksha, Singaraja

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi

Puisi-puisi IGA Darma Putra | Kematian Siapa Hari Ini?

by IGA Darma Putra
February 28, 2021
Antara Mimpi dan Kenyataan/ Oleh Wika Arinata
Esai

Antara Mimpi dan Kenyataan

Oleh: Kadek Wika Arinata -- SMAN Bali Mandara Ini cerita sekitar tahun 2014-2015, perihal tentang seorang nenek, ibu dan anak. ...

March 31, 2020
Esai

Catatan Nyepi: Sedih, Saya di Rumah Sakit, Saya Melanggar…

Deru suara meja dorong, ketukan lembut perawat dan gemerisik hujan, membangunkanku dari tidurku. Dinginnya pagi dan suara lembut ibuku menyambutku ...

March 8, 2019
Puja Astawa dalam acara talk show yang digelar STAH Mpu Kuturan Singaraja
Kilas

Puja Astawa: Jangan Terpaku Ingin jadi PNS, Youtuber itu Peluang Besar

Kadek Puja Astawa, seorang conten creator yang video-video pendeknya selalu menajdi perhatian publik di media sosial menjadi bintang tamu dalam ...

March 8, 2020
Pameran "Blackscape  Series Gus Sindu" di Yogyakarta
Ulasan

Blackscape Series; Momentum Sindu Memaknai “Hening“

“Saya menampilkan seri karya yang sekarang (Black Scape Series) dengan kesadaran penuh. Dalam membaca dan merespon tema pameran “Peacefull Seaker ...

November 13, 2018
Foto: Google Image
Esai

Puisi dan Konsumsi

I Puisi menggelayut di antara dua kutub: pamflet dan khotbah. Sebagai salah satu bentuk ujar manusia, dalam bentuk kata-kalimat, puisi ...

February 2, 2018

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Jro Alap Wayan Sidiana memanjat pohon kelapa di Desa Les, Buleleng
Khas

Jro Alap, Kemuliaan Tukang Panjat Kelapa di Desa Les

by Nyoman Nadiana
March 2, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Ilustrasi tatkala.co | Vincent Chandra
Esai

Di Nusa Penida, Ada Gadis Menikah dengan Halilintar

by I Ketut Serawan
March 1, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (67) Cerpen (156) Dongeng (11) Esai (1418) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (10) Khas (343) Kiat (19) Kilas (196) Opini (478) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (9) Poetry (5) Puisi (103) Ulasan (336)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In