- Judul: Menanam Puisi di Emperan Matamu
- Penulis: Wayan Esa Bhaskara
- Penerbit: Mahima Institute Indonesia
- Cetakan: Desember 2018
- Tebal: xi + 106 halaman
- ISBN: 978-602-51560-3-8
—
“Kau terpelajar, cobalah bersetia pada kata hati”
Kalimat milik Pramoedya Ananta Toer ini selalu ingin saya kutip dalam setiap kesempatan yang mengizinkan saya memakainya. Akan tetapi, selalu ada batasan-batasan pada setiap tempat dan dalam diri setiap orang. Padahal kita hanya perlu merenungkannya bersama. Kualitas yang sama juga saya temukan setelah membaca puisi “Menanam Puisi di Emperan Matamu” karya Wayan Esa Bhaskara yang notabene seorang terpelajar, sekaligus yang senantiasa bersetia pada kata hati, yakni puisi!
Saya tidak dapat menjelaskan Esa sebagai siapa. Setiap kawannya tentu akan memeberinya nama sebagaimana kesan mereka saat bertemu dan saat bersama. Saya sendiri awalnya hanya mengenal Esa sebagai alumni Jurusan Pendidkan Bahasa dan Sastra Indonesia Undiksha. Kekasih dari seorang teman kekasih saya. Ia suka menulis puisi. Itu hal wajar bagi saya. Lulus dari perguruan tinggi dan memilih mengabdikan diri di sebuah sekolah negeri sebagai guru Bahasa Indonesia juga adalah hal yang sudah sewajarnya. Yang menjadikannya berbeda, Esa tetap menulis dan bergaul dalam komunitas ketika ia menjadi guru. Tidak banyak yang sanggup melakukannya sebagai pilihan.
Esa dan karya-karyanya seharusnya bisa menjadi rumah belajar bagi saya dan kawan-kawan guru Bahasa Indonesia dalam ruang-ruang pendidikan formal. Ketika Bahasa Indonesia menjadi sebuah mata pelajaran yang sulit dijelaskan, terasa sepele namun sulit dilakukan, terasa tidak dibutuhkan sebagai modal dasar mencari pekerjaan, untuk apa kehadirannya di dalam kelas?
Saya pikir guru Bahasa Indonesia-lah yang punya andil menjadikan mata pelajaran Bahasa Indonesia itu penting dan berguna di mata siswa. Ini memang semakin mengejutkan setelah siswa berada di dalam ruang kelas dengan sebuah tugas membuat karangan cerita pengalaman pribadi.
Kesulitan menulis hampir dialami semua anak. Bahkan ada pertanyaan salah seorang siswa saya, “Bu, saya mau bilang kalau saya akan datang menemuinya, bagaimana cara menuliskannya?”
Hal itu baru saja dikatakannya tetapi tidak sanggup dijelaskannya dalam tulisan. Dasar cerita di atas mungkin bisa bagi cerminan untuk saya dan kawan pengajar Bahasa Indonesia yang lain, kenapa kehadiran Esa dan karya puisinya menjadi penting.
Pada puisi Esa, ulang-alik penyair dan guru tampak hadir silih berganti. Kesadaran Esa dalam berlatih bahasa terlihat pada cara ia membiasakan kata dalam Bahasa Indonesia yang terasa asing, sengaja dihadirkan dalam puisi. Hal ini tampak secara sadar Esa tuliskan sebagai bentuk ungkapan identitas dirinya sebagai guru Bahasa Indonesia. Hal ini tercatat pada bait kedua puisi Sajak Tiga Bagian.
.
Pada Tubuh sajak ini
Kita bersepakat kata-kata telah matang
Gampang disergap mata
Rampng di ranjang hingga cecabang
Sementara kau terlalu lelah
Menggubah seluruh kisah tabu
Diceritakan ibu pada malam itu
.
Terdapat penggunaan kata “menggubah” dalam Bahasa Indonesia. Menggubah berasal dari akar kata “gubah”. Ia juga berupa sebuah homonim, atau dapat dikatakan sebuah kata dengan ejaan dan cara pelafalan yang sama tetapi memiliki makna yang berbeda. Memiliki makna yang berarti merangkai, mencocokan, dan mengatur.
Sebagai guru Esa sangat tahu itu kata yang begitu asing untuk siswa, atau untuk sebagian besar masyarakat umum. Meski demikian, penggunaan bahasa baku yang kerap kali Esa gunakan mungkin perlu dipertimbangkan kembali, sebab hal itu mungkin dapat menghancurkan bangunan kata lainnya. Semisal penggunaan bahasa baku dalam karyanya yang berjudul “Ruang” Esa menggunakan beberapa kata seperti “Relevan” dan “Merespons”. Secara pribadi, kata itu justru mengganggu bangunan puisi karena terkesan kaku.
Uniknya, kendatipun Esa tampak begitu kukuh dalam menyampaikan visi personalnya sebagai guru Bahasa dan Sastra Indonesia, pada beberapa bagian, permainan kata yang tidak biasa rupanya telah coba dilakukan Esa. Masih pada puisi yang sama, saya ingin mengutip bait terakhir Sajak Tiga Bagian.
.
Pada akhir sajak ini
Ribuan kata memilih jadi hujan
Hingga lelaron berlayang
Agar ka tak letih berlari
Dari satu sudut ke sudut lainnya
Mengembara satu dua kenangan
Yang mulai tampak tenang
.
Penggunaan “kata lelaron” semisal. Dalam pemakaian teori bentukan kata memakai imbuhan, di Bahasa Indonesia “le” tidak termasuk ke dalam imbuhan Bahas Indonesia. Demikian Juga dengan beberapa kata seperti “bebutiran” pada puisi ”Mengajak Putri ke Sawah” kata “bebutiran” yang berasal dari kata “butir” dapat berubah bentuk menjadi berbutir-butir, atau butir-butir. Hal ini bisa jadi adalah tanda bagi ciri khas karya-karya Esa. Di satu sisi Esa sangat ketat dalam penggunaan Bahasa Indonesia, dan di sisi lain ia mencoba mempermainkan kata di luar aturan kebahasaan.
Saya kira potensi Esa dalam menyikapi ulang-alik perjalanannya sebagai penyair dan guru begitu besar. Hal ini menjadi penting jika dikaitkan dengan konteks yang terjadi di lingkngan sekolah. Sudah jadi rahasia umum jika pelajaran bahasa cenderung disepelekan diantara siswa. Bahasa yang disepelekan terjadi karena pembelajarnya telah menggunakan bahasa yang mereka pelajari.
Menjadi terasa sulit kemudian karena bahasa itu disusun dalam bentuk-bentuk teks yang berbeda. Meski demikian, bagi saya pribadi bentuk teks itu hanya persoalan meletakan strukturnya. Masalah bagi siswa tidak terletak di sana, sebab secara teori dan praktik pelajaran Bahasa Indonesia saat ini memang telah berupa rumus-rumus penghafalan dan siswa jauh lebih dari kata sanggup untuk melakukannya.
Kesulitan itu justru saya temukan tentang daya ungkap siswa, memaknai kata sehingga tepat diletakan di mana. Dalam hal ini saya memandang Esa sangat menyadari posisinya sebagai seorang guru Bhahasa Indonesia tentang pentingya merawat kata sebagai modal dasar daya ungkap.
Kelahiran karyanya dalam bentuk kumpulan buku puisi, saya rasa adalah wadah yang Esa gunakan untuk proses latihan. Saya katakan demikian karena bagi saya pribadi puisi dapat memberi kita kebebasan mempermainkan kata-kata. Menjadikannya pasif atau aktif. Memebebaskan kata bergulat dengan perasaan apapun. Membiarkannya hanya jadi kata atu kalimat sempurna, dan kemngkinan-kemngkinan permainan bahasa lainnya yang Esa lakukan.
Upaya-upaya pegukuhan dan permainan kata dalam puisi Esa ini, barangkali bisa menjadi salah satu pedoman bagi kita selaku guru Bahasa Indonesia dalam menerapkan sistem pengajaran Bahasa Indonesia di kelas. Setidaknya upaya menulis dapat kita perkenalkan sebagai usaha mengukuhkan dan memepermainkan kata menjadi rangkaian-rangkaian kalimat yang lebih sempurna.
Atau setidaknya, mengajarkan anak merumuskan kata menjadi lebih terasa pantas di dengar dibandingkan dengan hanya mengatakan seperti, “Butuh mengoleskan balsem penahan hujatan” untuk mengatakan perasaan jengkel. Sebagaimana kerap kita temukan pada status media sosial hari ini. Betapa tak berdaya guna, betapa tak bergaya bahasa! [T]