“When the weather is hot, keep a cool mind. When the weather is cold, keep a warm heart.” – Ajahn Brahm
***
Tak ada satupun, raja dalam sejarah dunia, yang paling dihormati dan menjadi figur abadi umat manusia, melampaui pangeran Siddharta Gautama. Ia abadi dalam kebesaran dam kemuliaan, bukanlah karena menguasai tahtanya dalam cengkraman kekuatan tak terkalahkan, namun karena hal sebaliknya, ia meninggalkannya.
Ia pun bukan orang sempurna sedari awal. Ia seperti kita, ia orang biasa. Justru bergelimang gemerlap kesenangan duniawi mengingat ia seorang pangeran, anak seorang pemimpin suku Sakya yang dilahirkan di Taman Lumbini oleh ibundanya, Ratu Maha Maya sekitar 563 SM. Yang kemudian telah menikah saat baru berusia 16 tahun.
Hingga usia 29 tahun Siddharta Gautama masih hidup layaknya pangeran-pangeran pada umumnya yang dekat dengan kenyamanan dan segala pelayanan istimewa. Ia disebutkan, bahkan memiliki tiga istana, yaitu istana musim hujan, istana musim panas dan istana musim dingin. Hingga pada satu malam yang menentukan, setelah memeluk dan mencium putra semata wayangnya, Rahula, ia memutuskan untuk meninggalkan kekuasaannya pergi menjadi pertapa untuk memahami hakikat kehidupan yang sesungguhnya. Saat berusia 35 tahun ia telah menemukan sebuah pencerahan, makna dari Buddha itu sendiri. Ia menjadi Buddha yang ke 28.
Ajaran Buddha memang menarik dan sedikit mengejutkan, jika dibandingkan dengan agama-agama lain di bumi ini. Buddha tak banyak menyembah atau membahas soal Tuhan yang dipuja. Ia lebih banyak mengajarkan nilai-nilai kebaikan universal seperti kasih sayang dan humanisme. Itulah kenapa, mata kita ikut terbelalak saat dunia dihebohkan oleh sosok biksu bernama Wirathu, pemimpin terkemuka organisasi Buddhis Myanmar yang dikenal sebagai Ma Ba Tha. Ia seorang biksu nasionalis yang dipersalahkan atas semangat anti-muslim berdarah di Myanmar.
Wirathu telah dituduh memicu kekerasan dengan retorika penuh kebencian dan anti-Islam di negara-negara Asia Tenggara dengan mayoritas penduduknya yang mencapai 55 juta orang beragama Buddha. Kejadian seperti ini, nyaris tak pernah kita bayangkan terjadi. Maka fakta ini makin kuat memberi bukti, radikalisme lebih banyak merupakan persoalan personal atas tafsir yang sangat subyektif terhadap tuntunan-tuntunan kitab suci agama yang dianut.
Daya tarik lain dari ajaran Buddha adalah, tidak menempatkan Sang Buddha sebagai nabi utusan Tuhan. Ia sekali lagi, adalah orang biasa, seperti kita, yang mungkin saja punya pengalaman dosa di masa lalu, yang kemudian berkat kemauan yang kuat dan luar biasa berhasil mencapai pencerahan dan kesadaran.
Maka, sepertinya setiap orang pun akan punya peluang untuk menjadi Buddha. Dalam keyakinan Hindu, gagasan setiap orang dapat menjadi Buddha dapat saja kita kaitkan dengan konsep awatara (juru selamat) yang kesepuluh, yaitu Kalki. Sosok yang akan datang membawa sinar kebaikan untuk umat manusia pada zaman Kaliyuga ini (zaman kegelapan dan kehancuran).
Sang jiwa agung, Mahatma Gandhi dapat dijadikan satu contoh, bagaimana seorang manusia biasa dapat begitu dimulikan berkat menapaki jejak-jejak spritual Sang Buddha. Ia membawa kebaikan untuk dunia, bukan dengan ambisi untuk mengubah dunia itu sendiri, melainkan dengan mengubah dirinya sendiri. Kita semua tahu, dalam biografinya, Gandhi muda pun penuh kenakalan, ia pernah mencuri dan menikah dalam usia yang sangat belia.
Namun, sejarah umat manusia telah menobatkan Mahatma Gandhi sebagai figur kebaikan peradaban dunia. Maka, keyakinan ada Tuhan pada setiap mahluk pun bisa kita percayai kemudian.
Dalam dunia modern saat ini, seorang biksu muda berdarah Inggris, Ajahn Brahmn begitu banyak memberi kita panduan-panduan yang sangat praktis dan menarik. Ia, yang seorang sarjana fisika teori, tentu saja memegang prinsip-prinsip dasar pencerahan dari Sang Buddha Siddartha Gautama. Mengubah diri sendiri untuk memperbaiki dunia. Bagian paling kontekstual akan spirit ini adalah gagasannya berikut. Dalam sebuah tanya jawab, ia diminta pendapatnya, apa sikap yang akan diambil saat seseorang merobek-robek kitab suci agamanya dan menjejalkannya ke kloset?
Mungkin tak banyak di antara kita yang cenderung reaktif, dapat menebak jawabannya. Karena jawabannya adalah, ia akan secepatnya menyingkirkan robekan kitab suci yang telah menyumbat kloset itu agar kloset tak macet dan bisa berfungsi kembali. Jadi, bukan menyingkirkan penistanya.
Ia menegaskan, boleh saja ada lagi ribuan kitab suci yang jatuh ke dalam kloset, namun jangan sampai isi kitab suci tersebut. Ketenangan dan pemaafan yag ditunjukkan dalam cerita itu adalah isi kitab suci, sementara buku kitab itu sendiri, bukanlah simbol Tuhan yang wajib kita bela dengan pedang dan cucuran darah.
Sebuah falsafah hidup yang begitu terkesan bagi pertapa Gautama, adalah petuah seorang ayah kepada anaknya di atas perahu yang melintasi sungai Nairanjana yang tak sengaja ia dengarkan. “Bila senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Kalau terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu.
Bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu.” Hidup ini, untuk kelestariannya memang membutuhkan keseimbangan, bukan ekstremisme, bukan! [T]