Ini adalah catatan aktor sebelum pementasan Komunitas Senja dengan judul “SANG GURU” adaptasi naskah monolog “Pidato 7 Menit” karya Hendra Utay, Sabtu, 18 Mei 2019 pukul 18:00 WITA. Pementasan ini dalam rangka “Program Penyajian dan Pembangunan Seni UPTD Taman Budaya Art Centre 2019”, di Gedung Ksirarnawa, Art Centre, Taman Budaya Denpasar.
***
Pada proses kali ini saya sedikit ingin berbagi pengalaman saja, karena tidak bisa menulis terlalu banyak tentang teater dan seni pertunjukan. Jadi mungkin pilihan gaya bahasa saya lebih seperti bahasa sehari-hari. Bukankah teater juga seperti itu?
Untuk proses kali ini, saya selaku aktor yang mendapat kewajiban serta “paksaan” menulis pengalaman sebelum pentas hanya sedikit ingin bercerita. Kebetulan pada garapan ini saya sebagai salah satu anggota yang tidak begitu aktif di Komunitas Senja, dipilih secara kesadaran untuk ikut bergabung dalam garapan ini.
Padahal saya tidak begitu sering terlibat pada saat komunitas ini berproses kreatif ataupun hanya sekedar kumpul-kumpul. Tapi kalau dihitung-hitung pada kenyataan di luar masalah itu, kan lumayan buat saya belajar lebih banyak lagi tentang teater dan lain sebagainya yang bersangkutan. Termasuk aktor, karena kebetulan di sini saya dipercaya menjadi salah satu aktor di lini tengah, udah kayak pemain sepak bola saja.
“Ngomong-ngomong soal bola, kasian ya Barca kalah sama Liverpool di semifinal Liga Champions, hahaa”.
Lanjut. Banyak sekali temuan saya pada saat proses dengan Komunitas Senja, karena sebelumnya saya lebih sering terlibat proses kreatif dan lebih banyak berproses di Teater Kalangan yang bisa saya sebut sebagai rumah saya. Tapi karena ini pengalaman saya dengan Komunitas Senja, jadi saya simpan dulu rumah saya dan tinggalkan sebentar. Sekiranya untuk mencari referensi serta pandangan lain tentang teater dan keaktoran.
Pada awal-awal proses saya tentunya sedikit kaget dengan ruang dan arena kultural dalam komunitas ini. Ya, walaupun kami sesekali kadang berjumpa dan minum-minum bareng, untuk gabung proses yang seserius ini baru pertama kali. Karena sangat berbeda dengan ruang dan arena kultural di rumah teater saya. Kemudian saya mengira, sepertinya saya harus memang benar-benar menaruh dulu apa yang saya ketahui di ruang rumah saya untuk kemudian mulai memasuki ruang yang baru.
Karena saat awal proses saja sudah terjadi ketegangan yang luar biasa, cekcok antar anggota untuk memilih tim kreatif atau pengurus lainya, serta debat soal pengadaptasian naskah. Karena kebetulan juga proses kali ini, kami berangkat dari naskah monolog karya dramawan tersohor Hendra Utay dengan judul “Pidato 7 Menit”, yang saya kenal seringkali digadang-gadang sebagai dewa monolog (bukan dewa mabok ya).
Saat cekcok dan debat besar di hari pertama itu, ternyata tidak membuahkan hasil sama sekali, yang ada malah hampir melahirkan perkelahian entah apa yang terjadi sebelumnya. Tiba-tiba dua salah teman sudah mulai emosi dengan nada yang naik. Saat melihat kejadian itu saya berpikir, sampai sejauh inikah teater?
Tapi dalam cekcok itu mereka sepertinya sadar bahwa harus ada yang mengalah, serta menurunkan egonya masing-masing, saya rasa harus menanamkan kesadaran bahwa kita sedang kerja berkelompok.
Akhirnya dengan realitas seperti itu di awal proses, saya selaku aktor yang baru membaca ruang di komunitas ini memilih untuk mengambil jalan yang terbuka. Terbuka dalam artian bahwa saya di sini menjadi aktor, apapun yang berkaitan dengan kerja aktor harus saya pelajari dan jalankan.
Karena yang saya takutkan adalah kejadian tidak menyenangkan itu kembali terjadi, akhirnya malah membuat ruang pada komunitas itu mulai melemah karena kebanyakan debat dan cekcok antar mulut tanpa dibarengin dengan kerja nyata.
Menariknya lagi saat saya sudah mulai memposisikan diri saya menjadi aktor yang terbuka, banyak hal yang masuk dan mulai menginterpretasi pikiran saya menjadi aktor. Dalam keterbukaan itu saya mengerti suatu hal apa yang sutradara maksud dan yang dia inginkan, perantaranya lewat obrolan diskusi serta evaluasi usai latihan dengan batasan-batasanya agar tidak keluar kesana kemari, agar pembicaraanya juga jelas tujuanya kemana.
Bahkan pada satu kesempatan saya ditunjuk oleh sutradara untuk memberi materi latihan olah tubuh yang baru sedikit saya pahami, saya terbuka dan memberikan apa yang saya ketahui kepada teman-teman aktor yang ikut terlibat.
Di sini saya merasa bahwa sangat susah memang mengubah kebiasaan suatu kelompok yang sudah punya titah serta pemahaman tentang teater sebelumnya, kemudian diberikan pemahaman lain dan baru. Di hari pertama saya benar merasakan betapa berat dan susah sekali untuk menggiring teman-teman ke arah dan tujuan yang saya maksudkan, tapi disini juga saya menyadari bahwa pada pijakan dan tahapan tertentu saya tidak bisa semata-mata melompat begitu saja.
Jika hari pertama temuan dari teman-teman memang baru sedikit dan bahkan ada yang tidak ada, mungkin bagi saya memang belum sampai atau saya yang kurang efektif menyampaikan. Kemudian pada hari-hari berikutnya, saya mencoba mengulang lagi dengan perlahan serta lebih terbuka menerima apapun yang diberikan. Akhirnya satu persatu teman-teman mulai sedikit paham dari apa yang saya maksud, pun begitu sebaliknya timbal baliknya kepada saya.
Sangat sadar saya akan hal ini, bahwa dalam setiap kelompok yang tergabung dalam banyak elemen memang susah untuk menyatukan menjadi satu pemikiran dan tujuan. Tapi jika dipadukan dengan diskusi serta obrolan, di momen inilah kami belajar untuk menyamakan tujuan serta cara pandang untuk proses pentas kedepanya.
Itu juga saya lakukan dengan sutradara, kebetulan sutradara saya kali ini beda lagi. Namanya Adi Wiguna, saya akrabnya memanggil dia Kak Legu. Saya sering menanyakan serta banyak ngobrol saat jam latihan, maupun diluar jam latihan. Karena saya rasa dengan begitu saya menjadi lebih terbuka lagi menjadi aktor, biasanya orang yang tidak mau membuka dirinya saat menjadi aktor yang terjadi adalah jika bersikap pun akan mempengaruhinya saat proses.
Atau bisa jadi aktor yang kurang terbuka tersebut menganggap dirinya sudah selesai dan paham betul tentang aktor. Itu juga yang menjadi bekal saya saat tiap menjalani proses teater, saya sangat berjarak sekali untuk mencetuskan diri saya sudah paham betul soal dunia keaktoran. Karena setiap saya pentas, saya selalu sering di koreksi orang lain serta sering juga saya melakukan evaluasi terhadap diri saya sendiri. Karena usai pentas, yang terjadi dalam diri saya hanya kata-kata, “seharusnya tu tadi aku kayak gini, seharusnya tu tadi aku kayak gitu”.
Masih banyak ternyata kemungkinan yang saya harus pelajari, saya rasa juga untuk mencapai dan memahami kemungkinan itu dasar menjadi aktor bagi saya adalah terbuka. Terbuka dalam artian menerima apapun itu yang di ucapkan sutradara, serta berbicaralah jika halnya memang tidak paham atau berbicaralah jika ada hal yang ditemukan atau ide apapun. Agar kedepanya juga sutradara bisa mengambil tindakan ke tahap selanjutnya.
Kesadaran menjadi aktor, saya juga tidak mengamini bahwa sudah berada pada tahap menjadi aktor yang terbuka. Tapi saya selalu menempatkan kesadaran dalam diri, bahwa saya adalah seorang aktor yang nantinya akan di pertontonkan di atas panggung dibawah bayangan wacana sutradara.
Kesadaran ini juga yang akhirnya bagi saya menimbulkan semacam perasaan untuk saya bermain dan belajar lebih maksimal, karena yang dilihat di atas panggung adalah kemampuan aktor memahami konteks naskah dan alur ceritanya untuk kemudian di pertunjukan.
Selain itu juga kesadaran saya berkelompok menjadi salah satu dorongan untuk belajar lebih maksimal lagi, walaupun di kenyataanya saya belum menjadi orang maksimal dalam berkelompok. Latihan jarang datang, ataupun sering telat, saya tidak akan membela diri. Tapi kalau di pikirkan kembali, ternyata itu juga mempengaruhi jalanya proses yang kelompok itu jalani.
Sebagai contoh, ketika dari sebagian banyak aktor yang ada ternyata lebih banyak yang tidak hadir di latihan tanpa keterangan, akhirnya itu mempengaruhi pikiran aktor yang pada proses awal rajin datang. Pikiran-pikiran tersebut saya dapatkan ketika saya paham kunci dasar sebagai aktor yang terbuka dan menjadi bagian dari kelompok itu.
Karena hanya itu saja yang saya dapatkan saat proses ini, semoga bermanfaat untuk saya sendiri khususnya dalam berproses kreatif menjadi aktor ataupun teman-teman aktor lainya.
Karena menjadi aktor yang terbuka itu sangat perlu bagi saya pribadi, selain itu juga di umur saya yang masih sangat muda ini saya harus banyak belajar dan menemukan sesuatu untuk di pertanyakan. Dengan cara menaruh dan menyimpan dulu ideologi dan pemahaman saya tentang teater untuk menyelaraskan kemungkinan lain dalam berteater.
Karena bagi saya teater tidak bisa di pelajari hanya setahun dua tahun. Saya rasa selalu ada evaluasi dan perbaikan, bahkan tak jarang soal pengulangan. “Udah kayak hidup aja hahaa”, tapi saya tidak menganggap teater sebagai hidup. Saat ini saya menganggap teater sebagai sarana dan jembatan belajar untuk masuk ke bidang apa saja. Tak terkecuali salah satunya menulis.
Dan untuk menjadi aktor yang bisa berbicara banyak tentang dunia keaktoran nanti, saya harus lebih sering dulu berbicara dasarnya saja selain itu juga karena memang itu yang saya dapatkan kali ini “hehee”. Untuk kemudian merumuskan sendiri dan menjadikanya metode sendiri kelak nanti, gimana besar tidak cita-cita saya menjadi seorang aktor yang profesional?
Dan saya kira, segini dulu bahasan dan cerita pengalaman saya menjadi aktor dalam pentas bersama Komunitas Senja.
Dan jangan lupa saksikan nanti pementasan kami dengan judul : “SANG GURU” adaptasi naskah monolog “Pidato 7 Menit” karya Hendra Utay. Sabtu, 18 Mei 2019 pukul 18:00 WITA. Dalam rangka “Program Penyajian dan Pembangunan Seni UPTD Taman Budaya Art Centre 2019”, di Gedung Ksirarnawa, Art Centre.
Salam sepoi-sepoi, dan sampai ketemu nanti terutama untuk cewek-cewek manis dan jomblo di luar sana. [T]