.
Dongeng dari Utara
.
Di utara, Ibu
Kebun kaktus, hutan bersuara liar
Punggung bukit hitam. Orang-orang Atas
memburu titik lampu
Sembunyi seperti bintang sesat
di atas langit jatuh, puing kota
yang mati dini hari
Lalu membusuk
di mulut ular!
.
Suara liar, hutan kaktus
Maka simpan suaramu, Ibu!
di goa mati
di tapal batas paling tipis
antara daun peneduh, kayu asam yang rindang
dan kampung pelacur
.
Simpan suaramu!
Desis ular, lolong anjing
atau raung hewan piaraan
di rumah kesayangan peri kota
Senantiasa memburu tumbal
Untuk menyambung pita tenggorokannya
yang terputus
usai mimpi besar, tadi malam
.
Di utara, kita terkenang
Dulu, kebun anggur, rambatan hati petani
Di sisi telaga bening. Ada air terjun
bisu tanpa riak
Ular-ular jinak memperlihatkan pelangi
Ekornya yang runcing
memanggil bidadari
.
Di utara, Ibu
laut kini menganga
seperti kuali
lubang matahari
tempat indah
bagi ikan-ikan kecil
bunuh diri!
.
2003
***
Dibukanya Bali bagi pengembangan pariwisata yang cenderung massal berakibat kepada degradasi lingkungan dalam berbagai ranah; seperti berkurangnya ruang terbuka hijau, semakin banyaknya jumlah sampah, rusaknya puluhan sungai akibat dari pembangunan villa yang seringkali dilabel sebagai hunian yang kembali ke alam, padahal senyatanya merusak alam itu sendiri.
Tidak hanya itu, pariwisata juga menjadi stimulan bagi berkurangnya sawah di Bali. Bagimana tidak, di Bali kini lahan produktif yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian semakin menyusut. Setiap tahun ditenggarai sekitar 1000 ha lahan sawah beralih fungsi menjadi peruntukan nonpertanian. Pesatnya perkembangan pusat-pusat pertumbuhan bisnis pariwisata, membuat terdesaknya fungsi alamiah lahan sebagai penyangga daur ekologis.
Tentu ketika kita berbicara perihal pariwisata, tak bisa lepas begitu saja dari kebermanfaatanya. Inilah yang menjadi masalah dilematis bagi Bali sendiri. Di satu sisi pariwisata memberikan banyak sekali pendapatan, di sisi lain, lagi-lagi lingkungan alam harus menjadi tumbal atas keserakahan manusia yang tak pernah berkecukupan. Hal-hal yang dilematis inilah yang dihadirkan Made Adnyana Ole dalam puisinya Dongeng dari Utara.
Membaca puisi Made Adnyana Ole yang berjudul Dongeng dari Utara, kita dihadapkan oleh diksi-diksi yang dilematis. Puisi Dongeng Dari Utara menceritakan tentang seorang anak yang bercerita ke ibunya tentang perubahan lingkungan hidup yang dulunya indah dan damai, tapi kini berubah menjadi sumpek, runyam dan panas. Waktu berlalu, hari berubah, dan perubahan-perubahan tak bisa kita dibendung, pun kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh keserakahan manusia itu sendiri.
Melihat bagaimana Made Adnyana Ole mengungkapkan kerusakan lingkungan beserta kenangan bagaimana keindahan Utara dulu akan saya lihat dari model analisis isotopi.
Menurut Otong Surotong, hahahaa, becanda. Isotopi adalah wilayah atau medan makna yang terbuka di sepanjang wacana. Secara sederhananya, kita (pembaca) dapat menangkap beberapa kata yang memiliki kesamaan makna. Masing-masing isotopi membentuk motif-motif dan motif-motif tersebut menunjukkan tema puisi.
Berdasarkan penjelasan di atas, puisi ini memperlihat perubahan lingkungan serta gambaran bagaimana Bali dulu dan kini. Asumsi ini pertama-tama dapat diperiksa dengan mencari isotopi. Isotopi “ketakutan” saya peroleh berdasakan adanya leksem: liar, hitam, memburu, sembunyi, sesat, jatuh, mati dan membusuk.
Isotopi “tempat” dijumpai pada bait kedua: hutan, goa, tapal batas, dan kampung pelacur. Pada bait ketiga ini terdapat isotopi “suara”: desis, lolong, raung dan tenggorokan. Pada bait selanjutnya terdapat isotopi “kenangan indah” hal ini bisa dilihat dari leksim: terkenang, dulu, hati, telaga bening, pelangi, bidadari. Bait terakhir isotopi “kerusakan”: menganga, lubang.
Berdasarkan isotopi yang telah ditemukan: isotopi ketakutan, isotopi tempat, isotopi suara, isotopi kenangan indah, dan isotopi kerusakan, maka dapat disimpulkan motif yang ada di dalam puisi di atas adalah motif ketakutan, motif kenangan, dan motif kerusakan.
Hal ini bisa dilihat dari bait pertama motif ketakutan (hutan bersuara liar, Punggung bukit hitam. Orang-orang Atas memburu titik lampu, Sembunyi, puing kota yang mati, membusuk di mulut ular!). Motif kenangan indah (kita terkenang, Dulu, Di sisi telaga bening. memperlihatkan pelangi, memanggil bidadari). Motif kerusakan (laut menganga, lubang matahari).
Puisi “Dongeng dari Utara” merupakan salah satu puisi dari buku kumpulan puisi Made Adnyana Ole yang memanfaatkan perlambangan yang sangat maksimal. Ini bisa dilihat dari bait pertama yang berkisah tentang orang-orang atas yang tinggal di balik perbukitan, yang gelap dan tanpa lampu. Sebuah perbandingan untuk melambangkan bagaimana jomplangnya model dan gaya hidup orang Utara dan Selatan.
Pemaknaan kerusakan lingkungan bisa dilihat pada bait ini juga, hal itu terdapat pada kalimat “Punggung Bukit Hitam” dimana bukit hitam ini memang benar adanya di Bali Utara. Seperti yang dikutip dari pernyataan Bupati Buleleng, Ribuan hektare lahan hutan di Kabupaten Buleleng, Bali, mengalami kerusakan yang cukup parah dan kondisinya sangat memprihatinkan. Ia menyebutkan secara keseluruhan luas hutan di wilayahnya itu mencapai 51.436,21 hektare, sedangkan 8.258,14 hektare di antaranya rusak parah.
Sepanjang tahun ini telah terjadi kebakaran hutan di wilayah Kabupaten Buleleng. Bahkan kebakaran hutan di Pulaki dan Tejakula telah merusak tanaman produktif di atas lahan seluas 56 hektare.
Awalnya ini hanya cocoklogi, mencocokan sana sini hahaha. Tapi ketika dicari, yih.. ade ternyata!
Leksim “ular” juga kita banyak jumpai pada puisi Dongeng dari Utara karya Made Adnyana Ole. Ia menggambarkan bentuk investor atau pengembang pariwisata dengan pemaknaan ular rakus yang main lahap dan pemberi janji-janji indah yang bisa dilihat pada kalimat (Ular-ular jinak memperlihatkan pelangi). Suara yang dibungkam dalam kalimat (simpan suaramu, ibu yang kemudian dilambangkan dengan beberapa jenis suara binatang) adalah perlambang bagaimana aspirasi dari masyarakat yang berbeda latar belakang coba dibungkam hanya untuk posisi aman.
Isotopi kerusakan lingkungan yang paling jelas terlihat terdapat dalam dua bait terakhir. Di bait ke empat, Made Adnyana Ole menggambarkan bagaimana Bali Utara dulu lewat kenangan-kenangan indahnya, kebun anggur, rambatan hati petani, telaga yang bening, air terjun yang bisu dalam artian tenang tergambar jelas dalam bait puisinya.
Leksim “bidadari” dan juga “pelangi” seakan menjadi unsur menambah kesan keindahan yang ingin disampaikan Made Adnyana Ole dalam puisinya. Sampai akhirnya puisi ditutup dengan bait ke lima yang menjelaskan tentang akhir kerusakan lingkungan dan bagaimana Utara kini. Hal ini bisa dilihat dari kalimat “laut kini menganga” dan tempat yang dulunya indah untuk ikan-ikan, hanya menjadi tempat bunuh diri. [T]