Seperti sebuah momentum yang tepat saat masuk masa tenang kampanye Pemilu 2019, sebuah gerakan pemerhati lingkungan mengeluarkan video dokumenter yang berjudul “Sexy Killer”. Film ini berisi cerita tentang dampak dari penggunaan batubara sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Indonesia.
Di berbagai tempat “kongkow literasi” video domenter ini diputar dengan mendatangkan narasumber setempat yang terdampak. Bahkan telah diputar ulang sebanyak 17 juta kali pada platform sharing video, Youtube. Diskusi terjadi, off air maupun on air (baca: diskusi kolom komentar sosmed) dengan berbagai pandangan dan pendapat terkait masalahnya ini, terutama terkait dampak lingkungan yang mulai memprihatikan.
Sayang, nampaknya pemerintah terkait tidak dilibatkan dalam diskusi-diskusi tersebut sehingga kurang adanya pendapat dari pihak-pihak pemerintah yang mengurus atau berwenang mengurusa persoalan itu.
Tulisan ini muncul sebagai reaksi atasnya. Tanpa adanya tendensi politis atau upaya untuk melakukan social judgement, saya mencoba mengupas sembari memberikan pandangan awam saya terkait permasalahan ini.
Di tengah gempuran teknologi yang serba canggih dan instan, kita dihempaskan kembali kepada permasalahan pokok dalam perkembangan teknologi. Penciptaan sumber tenaga listrik yang murah dan ramah lingkungan. Mari lupakan sejenak keberpihakan pilihan politik pada Pemilu kali ini. Ini bukan ajakan untuk Golput, meski Pemilu sudah lewat (saya bisa dipidanakan). Lebih baik mewacanakan solusi daripada berpangku tangan berharap untuk penyelesaian dari atas karena mereka, apalagi regulator ternyata juga aktor yang saling bermain kebijakan.
Dalam Debat Capres kedua yang digelar pada Minggu (17/2) malam dengan tema lingkungan hidup, energi, pangan, infrastruktur dan sumber daya alam, dalam sesi pertanyaan mengenai 8 juta bekas tambang di Indonesia yang belum direklamasi, kedua capres yang diberikan waktu menjawab hanya mampu “bermain aman” dengan menjawab secara normatif.
Kedua paslon tak memberikan jawaban memuaskan. Mulai dari mengetatkan regulasi, melakukan integrasi denga pemprov maupun pemda setempat hingga dijadikan kawasan pariwisata air menjadi kaset lama yang diputar-putar ulang tanpa ada efek signifikan. Tidak adanya rencana kongkrit yang disampaikan oleh para capres terkait pertanyaan tersebut membuat saya berpikir, apakah memang tidak ada solusi atau ada yang berusaha dilindungi?.
Pada video dokumeter tersebut, juga ditampilkan energi terbarukan sebagai solusi alternatif atas permasalahan lingkungan akibat penggunaan batubara. Panel Surya. Namun kendalanya masih ada, harga yang mahal perKwh dan juga besaran yang mampu diproduksi menjadi kendala penerapannya secara masif. Namun kini, kita perlu jembatan untuk mentransisikan dari penggunaan batubara menuju panel surya.
Pilihannya mungkin jatuh pada tenaga nuklir. Pilihan yang tabu bagi masyarakat Indonesia. Konstruksi mental atas nuklir mengambil peran atas pandangan masyarakat umum di Indonesia terhadap energi nuklir. Tragedi Chernobyl, Kebocoran reaktor di Fukushima, Jepang. Persitiwa-peristiwa semakin melanggengkan narasi tabu terhadap energi nuklir. Padahal berdasarkan data dari batan.go.id negara-negara di eropa (termasuk ex-Uni Soviet) dan Amerika sebagai pengguna energi nuklir melalui PLTN.
Tercatat di Eropa sampai 2006 ada sekitar 135 PLTN di Eropa dan 128 PLTN di Amerika. Jika memang bahayanya melebihi dampak lingkungan dari PLTU tidak akan dikembangkan energi nuklir hingga PLTN-nya mencapai ratusan yang katanya mampu memasok listrik kota New York dalam sehari hanya dengan satu reaktor nuklir.
Energi Nuklir pertama kali di buat percobaannya oleh para fisikawan Jerman, Otto Hahn, Lise Meiner dan Fritz Strassman pada tahun 1938. Energi nuklir ini dapat digunakan sebagai sumber energi maupun senjata pemusnah masal. Pada perang dunia kedua, Enrico Fermi menemukan reaksi berantai dari nuklir yang menghasilkan energi tinggi dengan menggunakan bahan plutonium. Energi nuklir sebagai pembangkit listrik dengan menggunakan reaktor nuklir digunakan pertama kali tahun 1951 di dekat kota Arco, Idaho.
Energi yang dihasilkan sekitar 100 kW. Dari tahun ke tahun kapasitas energi dari reactor nuklir mengalami perkembangan pesat hingga pada tahun 1980 300 giga watt energi nuklir dihasilkan. Gerakan untuk menentang adanya program tenaga nuklir, baru dimulai pada akhir abad 20. Hal ini didasarkan dari ketakutan akan adanya “nuclear accident” dan ketakutan akan adanya bahaya radiasi yang tidak kelihatan dari tenaga nuklir itu sendiri. Selain itu kekhawatiran akan adanya kebocoran dari sistem penyimpanannya. Apalagi setelah adanya kecelakaan nuklir di Three Mile Island dan Chernobyl.
Di Indonesia gagasan untuk pembangunan PLTN sebenarnya telah ada semenjak tahun 1956, namun pada tahun 1972 ide tersebut baru muncul bersamaan dengan dibentuknya Komisi Persiapan Pembangunan PLTN (KP2PLTN) oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga listrik (Departemen PUTL). Namun yang sangat di sayangkan, sampai pada saat ini pembangunan PLTN belum juga dapat terlaksana di karenakan banyaknya alasan-alasan.
Mengapa Indonesia sepertinya sangat ketakutan untuk membangun sebuah rektor nuklir? Pada tahun 2010, pemerintah mengalokasikan dana sampai 2 milyar untuk mensosialisasikan manfaat dari energi nuklir, khususya dalam pemanfaatan sebagai sumber listrik. Apakah karena takut dengan dampak negatif nuklir? PLTN tidak menyebabkan polusi udara yang begitu parah, limbah dari PLTN hanya berupa H2O, CO2, dan limbah-limbah lain yang akan kembali pada kolam penampungan agar dampak dari radiasi dapat di abaikan dan akan di awasi oleh Badan
Pengawas Tenaga Nuklir Internasional dan Badan Pengawas Dalam Negeri.
Atau memang ada korporasi-korporasi yang berusaha mencegah pembangunan PLTN di Indonesia demi kelancaran bisnis batubara? Siapa yang tahu.
Dengan semakin meningkatnya dampak lingkungan akibat penggunaan batubara di Indonesia, polusi yang berdampak tidak hanya di daerah sekitar kawasan PLTU tetapi juga daerah lain yang menjadi objek stretegis apabila tidak ditanggulangi dan ditemukan solusi yang tepat, akan berdampak kepada seluruh aspek kehidupan masyarakat. Limbah padat menyebabkan menurunnya sektor agraris, dan polusi udara akan berakibat pada pariwisata.
Kembali membuka kajian terhadap pemanfaatannya. Pemerintah perlu melakukan edukasi terkait nuklir. Dari data-data, dampak nuklir tak semengerikan yang dihasilkan batubara dari PLTU bahkan sekelas Chernobyl yang merupakan tragedi nuklir terparah sepanjang umat manusia. Perlu ledakan Chernobyl 4 kali setiap jam atau sekali setiap 15 menit untuk menyamai dampak yang diciptakan oleh penggunaan batubara pada PLTU.
Solusi yang layak dipertimbangkan bagi masa depan Indonesia sembari pengembangan terhadap sumber energy terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, pemerintah juga perlu mendesak instansi-instansi terkait untuk mencari tempat baru yang kira-kira lebih mungkin untuk dibangun PLTN. Hendaknya kita membangun PLTN di pulau terpencil agar tidak ada yang protes. Jikalau masih ada, karena alasan pencemaran laut, minta saja badan internasional yang menangani masalah nuklir untuk ikut mengawasi.
PLTN mungkin solusi yang dibutuhkan Indonesia, bagaikan tubuh yang kekurangan darah, Indonesia tidak akan mampu berkembang secara optimal jikalau masih ada permasalahan energi, khusunya listrik. [T]