Cerpen Agus Darmita Wirawan
Lelaki itu tampak dalam kecemasan. Pagi itu ia duduk di beranda ditemani secangkir kopi kental manis dengan imbangan sebatang sigaret putih dengan tar rendah. Entah nengapa sejak seminggu ini, ia sengaja menyisakan waktu untuk melacak isi koran sebelum berangkat dijemput sopir kantornya yang patuh.
Pagi itu, loper koran datang menyodoknya dengan lipatan koran. Langsung saja disambarnya tanpa sedikitpun basa-basi. Kemudian, seperti biasanya, menjelajah dari judul berita satu ke judul berita yang lain sambil sesekali meneguk sisa kopinya. Seluruh judul berita nasional disedotnya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Dahinya pun mengkerut ketika tertumbuk pada judul berita, Hasil Produksi IPTN Ditukar Ketan.
“Sialan, ada saja wartawan,” pikirnya tidak yakin. Karena sepengetahuannya, perdagangan antar negara selalu menghitung total ekspor dan impor kedua negara. Pembayaran senantiasa dilakukan dengan barang pula sebagainana sistem perdagangan nenek moyang jaman bahula. Barter ¾ barang tukar barang.
Hitung-hitung, akhirnya ia pun menyadari jika kebutuhan ketan di negeri ini makin meningkat. Ia jadi ingat waktu kecil di kampung, bagaimana lemper membutuhkan ketan. Dodol, wajik, jaja uli, jaja gina, bantal, trenginang, tape, semuanya dari ketan, semuanya butuh ketan. Ia manggut-manggut saja, sambil menyedot batang sigaret dengan tar rendah di lipatan jari tangannya dan sesekali meneguk kopi kental manisnya.
Pagi itu, ia masih suntuk menjelajahi seluruh isi koran. Berita di daerah menunjukkan keberhasilan tim dokter menjalankan operasi penyakit kanker, nenyebutkan Burung Gimbar Kembali Berkokok, Niat Berpacaran Tumbuh. Baru separuh kolom saja dibacanya, tiba-tiba suara isterinya pecah sembari menenteng kemeja dan sepatu kulitnya.
“Mas, semuanya sudah siap. Mandilah dulu,” potong isterinya dari balik kamar.
“Sebentar, Nur…sebentar saja,” sahutnya agak serius.
Ia pun lantas memanggil isterinya, seolah tak ingin memborong sendiri isi berita itu.
“Nur, sini Nur. Ke sini sebentar. Lihat ni, lihat.”
“Apa sih, Pak. Kok serem amat. Apa lagi tu.”
“Baca. Coba baca,” katanya meyakinkan.”
Nurhayati hanya membaca judul beritanya saja, Wanita Setengah Milyard Diajukan ke Pengadilan.
“Apa, komentarmu, Nur.”
“Penipu memang harus diadili, Mas.”
“Apa ? Penipu. katamu!”
“Ya, karena ada pihak-pihak yang dirugikan. Ini kasus pidana dengan delik aduan, Mas. Harus ada yang keberatan.”
“Kalau tidak?”
“Ya, ndak toh !”
“Udah,… udah. Wis,… urus kerjamu sana.”
“Lho, Mas?”
“Kalau ngomong, mbok ya jangan nyinggung, gitu ah.”
Ia tak ingin berdebat dengan istrinya. Bagai kutu loncat atau layaknya virus komputer, ia meloncat-loncat pada judul berita yang lain.
Pembekalan Caleg, antara Pro dan Kontra. Tak sempat dibaca, kemudian loncat lagi, Tanah Laba Pura Karang Awak Telah Dibebaskan. Loncat lagi, Hindu selalu Marak dalam Upakara, Tapi Selalu Kalah dalam Politik Beragama. Baru dua kolom dibacanya. Ia pun tersedak, ketika nenghabiskan sisa kopi yang tidak diketahuinya sudah kemasukan anak nyamuk.
Hampir saja ia muntah. Kemudian permen “rasa rame” yang selalu terselip di saku dapat meredam dan mengepel kanal kerongkongannya. Tapi rasa mual dan batuk-batuk kecil masih terdengar. Terakhir, hanya ia mendehem sebagai pamungkas.
Ia masih dalam kecemasan, tapi mampu tersenyum, walau hambar dan agak aneh bagai senyum bayi yang lelap di pangkuan ibunya digoda Sang Kumara. Ketika berita unik, Jembatan Roboh, Rombongan. Gubernur Tercerbur, menyapu pandangannya. Belum habis berita ini dilahapnya, tiba-tiba ada sinyal dari perutnya ¾ pabrik omnivora yang pemakan segala itu ¾ merambat bagai sengatan listrik. Limbahnya harus dibuang. Buru-buru ia ke kamar kecil sekalian mengepit koran itu pada ketiaknya.
***
Sekarang ia selesai berdandan. Berdasi warna abu-abu yang tergantung di kerah kemeja putihnya dibungkus jas biru tua. Tampak ia bernar-benar menjadi seorang direktur. Bersih dan berwibawa. Ia menunggu sopir kantor menjemputnya, tapi tak kunjung tiba. Sesekali ia mendongak dari balik gorden, ketika ada deru mobil lewat.
Akhirnya ia putuskan untuk sarapan sendiri. Seperti biasanya, di meja makan hanya ada menu telur rebus dua butir, nasi uduk, bawang goreng, kerupuk, dan sedikit garam. Di ceper lain ada kacang goreng garing dan beberapa potong tempe-tahu bacem tergeletak, serta dua gelas susu sebagai pembasuh tenggorokannya. Ia seorang vegetarian sejak ikut bergabung di Ashram Canting Mas.
Ia masih tampak dalam kecemasan. Sopir kantornya belum juga nampak ujung rambutnya. Padahal, waktu sudah molor 35 menit dari biasanya. Demi melatih kesabaran, ia coba membunuh waktu. Ia sambar lagi koran di atas meja yang belum tuntas dibaca.
Ia menjelajah lagi isi koran itu, tapi ia berhenti pada sebuah tajuk rencana, Hakim Korea Selatan Mengadili Roh. Pada kolom opini ada tulisan bertajuk, Negara-Negara dengan Tingkat Korupsi Terparah di Asia. Lagi-lagi matanya tergoda, melahap habis berita itu. Dan pada kolom “refleksinya” John Tana tertulis, Lima Pejabat Nondepartemen Dimutasi. Setelah membaca berita inilah, ia ingat detik-detik perjuangannya dulu yang sangat menegangkan itu.
Saat ia berhasil merobohkan lawan kariernya, Pak Darus, di kantor yang sama. Waktu itu, ia sebagai Kabag Audit, berhasil menemukan kejanggalan manajemen Pak Darus yang membekukan sejumlah uang untuk dipinjamkan kepada karyawannya dengan bunga nol persen. Delapan puluh karyawan masing-masing mendapat pinjaman maksimal seratus juta. Tujuan Pak Darus hanya semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan karyawannya.
Dengan pemberian fasilitas itu, diharapkan produktifitas kinerja perusahaan makin meningkat. Nyatanya benar, PT Bank Alfa Mega telah berhasil membuka beberapa cabang baru di beberapa kota dan ibu kota. Bahkan puncaknya, bank ini mampu membuka cabang di Los Angelos, A.S. Suatu kemajuan yang luar biasa dalam dekade dasa warsa terakhir ini. Jika dihitung-hitung, kesalahan Pak Darus kecil dibanding keberhasilannya menjadi Direktur Utama PT Bank Alfa Mega.
Di lain pihak, Pak Darus telah berkolusi dengan nasabahnya yang sebagian kecil famili. Mertuanya, istrinya, menantunya, keponakannya, dan kerabat-kerabatnya mendapat fasilitas pinjanan dengan bunga terendah bahkan tanpa jaminan. Tapi, untungnya tak pernah macet. Pada berkas “akad kreditnya” tertulis, “Jaminan ada pada Direktur. Acc seluruhnya.”
Inilah saatnya Pak Darus dicopot dari jabatannya untuk selanjutnya dikarantina selama beberapa waktu dengan alasan, diamankan dalam pembinaan mental. Pak Darus harus mengakui kekalahan dari saingan dan suingan lawan karirnya. Sudahlah !
“Inilah saatnya aku meniti karir,” pikir Kabag Audit itu, yang kini telah duduk di kursi dan menempati meja Pak Darus sejak 5 tahun terakhir.
Pak Karnani, Direktur baru yang agak tuli, tapi untung tidak bisu, diangkat oleh pamannya yang Komisaris Pusat. Ia tidak dipilih, tapi diangkat. Karena itu, ia agak angkuh dan sombong, serta selalu tertutup, kurang tanggap untuk bisa memahami bawahannya. Sejak lima tahun terakhir ini tercatat kasus pemogokan 6 kali, demo 11 kali, PHK 27 kali, dan pemecatan karyawan secara tidak homat 14 kali. Prestise, prestasi atau frustasi. Entahlah!
Lelaki itu masih tampak cemas, sebagaimana kecemasannya sejak awal duduk di beranda muka dengan secangkir kopi kental tanis dan sebatang sigaret dengan tar rendah. Rupanya ia telah terdampar pada berita yang selama ini ditunggu-tunggu. Terbukti sopir kantornya yang patuh tak lagi bisa menjemput sang Direktur.
Berita pagi terakhir inilah yang menubruknya di jalan tol. Menghempaskannya, menyudutkannya menjadi tak berkutik, bahkan berkedip sekalipun. Matanya yang agak sipit yang plus 2,5 itu mewajibkan ia harus menyelipkan kacamata pada bidang wajahnya. Bank Alfa Mega Dirubung Nasabah, Pihak Keamanan Turun, dibacanya tuntas-tas. Setelah itu, mukanya jadi sepucat mayat. Tiba-tiba langit di wajahnya redup, tak bercahaya. Matahari seakan tertutup tembok. Tekanan darahnya naik, karena jantungnya memompa lebih keras dan tak teratur. Telpon seluler tiba-tiba jatuh dari genggamannya.
Lalu, perlahan-lahan ia buka dasi abu-abunya, sepatunya, jas biru tuanya, kemeja putihnya. Semuanya itu disodorkannya lagi pada isterinya yang setia telah menemaninya hampir seperempat abad penuh, dengan kondite “baik sekali.” Dan “pajer”-nya tulalit terus. Komputer di rumahnya pecah. Ferozanya jadi ringsek. Rent Car di kawasan Kuta disegel.
Beberapa hektar tanah yang baru disertifikatkan ditumbuhi padang gajah. Ia tak bisa lagi menghitung depositonya di beberapa bank. Sepekulasi Valas-nya dibekukan. Sejumlah wanita yang dikawin sirih ngambul, pulang ke daerah asalnya. Teringat ia dengan rivalnya, Pak Darus. Terbayang ia bagaimana seorang narapidana harus menghabiskan waktunya di kamar tahanan. Anak-anaknya pasti menuduhnya sebagai koruptor, penipu, perampok, pencoleng, maling, penghianat dan sejenis itu.
“Nur, kita mulai dari nol kecil,” katanya terbata-bata, sedangkan Nurhayati diam semati tugu Caturmuka. [T]