Ke mana, ke mana, ke mana, ku harus mencari ke mana…
Begitulah lirik lagu dengan judul “Alamat Palsu” yang dinyanyikan oleh penyanyi dangdut Ayu Ting Ting yang debut tahun 2011. Lagu tersebut mengisahkan kebingungan Ayu Ting Ting mencari alamat kekasih tercintanya yang lama tak datang ke rumah, lalu ia cari ke mana-mana dan ternyata alamat yang diberikan kekasihnya palsu. Lagu dangdut berjudul “Alamat Palsu” membuat nama Ayu Ting Ting meroket di blantika musik nasional dan sukses.
Ngomong-ngomong soal mencari alamat, dua tahun lalu, sekitar 2017, saya punya pengalaman lain, walau rada-rada serupa dengan kebingungan Ayu Ting Ting. Bedanya, Ayu Ting Ting memegang alamat palsu, sedangkan saya tidak. Alamatnya benar-benar asli.
Dalam sebuah perjalanan tugas, sore menjelang malam, saya pernah kebingungan mencari alamat yang diberikan oleh panitia. Alamat yang harus saya tuju adalah kantor perbekel di sebuah desa yang ada di kawasan wisata yang mulai go international di wilayah pesisir Bali selatan.
Waktu itu saya ada undangan untuk sebuah pertemuan dengan muda-mudi di sana. Dengan bantuan aplikasi internet saya mendapat petunjuk kalau sudah mengarah ke wilayah yang dimaksud.
Nampak di sepanjang jalan di kawasan wisata itu begitu padat dengan bangunan bercorak khas usaha dagang dan jasa wisata. Sangat berbeda jauh dengan kondisi 10 tahun lalu, di mana terakhir kali saya melintasi wilayah itu.
Awalnya, dalam pikiran saya, mencari alamat kantor perbekel pasti sangat mudah dan pastinya banyak orang yang tahu. Oh, ternyata tidak, setelah memasuki kawasan yang ditunjuk oleh aplikasi internet, saya tidak langsung ketemu alamat yang dimaksud. Beberapa kali saya harus muter-muter dengan sepeda motor dan sempat bingung dengan arah. Maklum sudah lebih dari sepuluh tahun saya tidak pernah lagi melintas di wilayah itu.
Di sepanjang perjalanan saya terus toleh kiri dan kanan sambil melirik sejumlah papan nama usaha yang terpangpang di pinggir jalan. Di sepanjang jalan utama berderet puluhan pertokoan, restaurant, homestay, hotel dan sejenisnya. Setiap usaha memiliki papan nama yang keren dengan desain yang bagus.
Nama usahanya pun memakai bahasa asing yang belum akrab dibenak saya. Kawasan yang sangat padat dan banyak perubahan, benar-benar merasa asing dibuatnya.
Sepeda motor terus saya pacu mengikuti penunjuk arah seperti dalam aplikasi internet. Tetapi dalam aplikasi tanda panah terlihat mengarah ke arah obyek wisata utama di kawasan itu. “Saya mencari alamat kantor perbekel, bukan obyek wisata,” pikir saya.
Saya pun berusaha mencari tahu nama jalan, banjar atau desa yang biasanya ditulis di papan-papan nama perusahaan. Aneh dan sedikit jengkel, senja itu, saya tidak menemukan satu pun papan nama usaha atau papan promosi yang mencantumkan alamat lengkap seperti nama desa, banjar dan nama jalan. Hal itu membuat saya ragu, tidak tahu apakah saya sudah ada di wilayah yang benar. Rupanya banyak pelaku usaha di jalur itu yang tidak lagi mencantumkan alamat seperti nama jalan, banjar atau nama desa di papan nama perusahaannya.
Saya kembali memacu sepeda motor sambil berharap ada petunjuk yang bisa memastikan kalau saya sudah berada di wilayah yang benar. Wow, sudah beberapa puluh meter melaju dengan sepeda motor saya tetap gagal menemukan papan nama usaha atau billboard yang mencantumkan nama banjar atau desa. Saya tidak menyerah, seperti pepatah mengatakan “malu bertanya sesat dijalan”, setelah bosan muter-muter saya berhenti lalu bertanya dengan salah seorang warga.
“Permisi, numpang tanya, di mana alamat kantor perbekel desa anu, Mbak?” tanya saya.
“Maaf saya tidak tahu, saya bukan warga sini,” ucapnya.
Saya buru-buru permisi dan melanjukan perjalanan. Beberapa meter saya kembali berhenti untuk bertanya, kali ini dengan ibu-ibu paroh baya.
“Permisi, Bu, numpang tanya, di mana alamat kantor perbekel desa anu?”
“Oh, terus saja, nanti ada belok-belok lagi, setengah kilo dari sini, lokasinya dekat anu,” jelas ibu itu dengan bahasa Bali.
“Baik, Bu, saya coba cari. Permisi,” ucap saya dan segera balik kanan sambil mengira-ngira karena nama tempat yang disebut ibu tadi tetap asing dalam benak saya.
Sepeda motor saya pacu lagi menuju arah yang ditunjukkan ibu tadi. Sempat bolak balik beberapa kali. Akhirnya saya beruntung, setelah sempat resah hampir 40 menit, kantor perbekel yang saya cari berhasil saya temukan dengan tidak sengaja.
Setelah memarkir sepeda motor, sesaat saya merenung sambil duduk di sadel. Susah juga mencari alamat seperti dalam surat undangan, lumayan melelahkan lahir dan batin, gumamku dalam hati. Maklum, sejak berangkat dari rumah pikiran terpatok pada nama desa, sementara di aplikasi internet hanya terlihat nama obyek wisata, kebingungan terjadi karena obyek wisata berbeda dengan nama desa.
Peristiwa itu hingga kini terus terngiang, sebuah pengalaman berharga sekaligus mengingatkan saya bahwa jaman telah berubah, Bali telah berubah. Saya pun disadarkan kini di beberapa wilayah di Bali mencari alamat harus benar-benar dipersiapkan dengan matang dengan waktu yang cukup. Jika tidak ingin terlambat, jam berangkat pun harus lebih awal dari waktu tempuh sebelumnya karena jika tidak terjebak kemacetan lalu lintas, sangat mungkin kita kesasar karena situasi berubah sangat cepat.
Sekarang ini mencari alamat di beberapa kawasan di Bali apalagi yang belum pernah kita lewati sangat sulit berpatokan pada simbul dan situs-situs sosial dan budaya seperti pohon beringin, tempat suci/pura, balai banjar/nama banjar, batas-batas desa dan sejenisnya. Kalau kita bertanya pun banyak warga yang kita temui di pinggir jalan mengaku tidak tahu karena kebanyakan dari mereka adalah warga pendatang.
Bagi saya hal ini cukup memperihatinkan, ditengah dengung pariwisata budaya, kita tidak lagi merasa penting menunjukan simbul-simbul budaya lokal. Atau bisa jadi usaha tersebut bukan lagi dikuasai oleh orang lokal, atau kita semua sudah lupa bahwa banyak usaha wisata terkenal karena Bali, bukan sebaliknya.
BACA JUGA:
Bagi warga yang lahir di atas tahun 1960-an pasti bisa merasakan perbedaannya, kini generasimellenia(kelahiran diatas 1990 an) jika ditanya soal alamat, banyak yang mengandalkan aplikasiinternet/onlineuntuk menemukannya atau mereka berpatokan pada pusat-pusat usaha, belanja atau pusat-pusat keramaian lainnya seperti mall, hotel, pusat hidangan cepat saji, karaoke, SPA dan sejenisnya.
Bahkan hingga di desa-desa, jika kita menanyakan alamat seseorang, sudah mulai warga tidak lagi menyebut simbul-simbul budaya seperti pura, balai banjar, setra atau tempat-tempat keramat lainnya sebagai patokan. Sekarang sudah lumrah kita mendengar, jika bertanya alamat di pelosok-pelosok desa, warga akan menjawab, oh di sana, terus saja, nanti ada “minimarket anu”, ada perempatan lalu belok kanan, dan seterusnya.
Mereka tidak lagi menggunakan balai banjar, perempatan agung, atau simbul-simbul lokal lainnya sebagai patokan. Tentu hal itu tidak salah, karena mungkin saja dengan cara itu alamat bisa lebih cepat di temukan. Tetapi akan menjadi masalah kalau itu terjadi karena generasi muda Bali (generasi mellenia) tidak paham lagi dengan potensi wilayahnya (baca; palemahan) yang pastinya sangat terintegrasi dengan kesadaran filosofis “Tri Hita Karana” dan panji-panji pariwisata budaya. [T]