Era 1970 hingga 1990 an Pariwisata Bali mulai tumbuh pesat. Di era tersebut sejumlah obyek wisata melesat pesat di ruang-ruang informasi dan promosi pariwisata dunia. Lebih pesat lagi ketika tahun 2000 an mulai muncul teknologi informasi berbasis internet yang membuat beragam informasi hadir dalam ruang-ruang pribadi masyarakat dunia.
Harus diakui, denyut perekonomian Bali sangat tergantung dengan industri pariwisata. Bali menjadi destinasi pariwisata terkenal di dunia tidak bisa lepas karena pelaku usaha gencar melakukan komunikasi dan promosi. Namun jangan salah, lebih banyak lagi pelaku usaha atau hotel-hotel besar terkenal karena Bali, bukan sebaliknya.
Setiap tahun jutaan wisatawan manca negara berkunjung ke Provinsi Bali, hal itu memicu pesatnya pertumbuhan hotel, restauran dan akomudasi wisata. Sehingga dibandingkan dengan tahun 1980-1990 an, di abad 21 ini wajah Bali jauh lebih sesak dengan beragam dampak ikutan yang ditimbulkan seperti kemacetan lalu lintas, perang tarif, kriminalitas, penurunan masa tinggal hotel dan sebagainya.
Hal itu membuat Pariwisata Bali ada dalam ‘dilema”, satu sisi target pertembuhan ekonomi harus bisa di capai, namun disisi lain Bali mulai kehilangan pengagum masa lalunya yang membayangkan Bali pulau yang “hening” dan hanya bergerak dalam nafas kedewataan. Karena keheningan itu Pulau Bali pun disebut-sebut “pulau sorga”, jangan sampai sorga kehilangan penggemarnya.
Mengupas kepariwisataan Bali tak akan habis-habisnya, sangat multi dimensional. Selama ini di koran-koran, meja seminar, bahkan di meja rapat paripurna para dewan (DPRD), isu pariwisata terkesan lebih banyak soal pertumbuhan ekonomi, perizinan, tarif, pajak, retribusi atau belakangan yang tidak kalah keren soal pembahasan peruntukan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang bersumber dari Pajak Hotel dan Restauran (PHR) Kabupaten Badung yang mengalir ke sejumlah kabupaten di Bali.
Di tengah laju dan geliat pariwisata Bali, dari sisi budaya, sesuatu yang tak disengaja pun terjadi, karena Ikon Pariwisata yang sudah go international sejumlah desa di Bali (desa dinas maupun desa adat) nyaris dibuat “balik nama”. Balik nama dalam kamus bahasa Indonesia berarti “diganti”.
Misalnya dulu ketika saya bertemu dengan kenalan baru, saya bertanya, asalnya dari desa mana? Dengan enteng kenalan saya itu menjawab dari Candidasa, usut punya usut ternyata dari Desa Bugbug. Karena yang saya tanya asal desa, seharusnya jawaban kenalan saya itu dari Desa Bugbug, bukan Candidasa. Candidasa adalah salah satu obyek wisata terkenal di Bali timur, berada di wilayah Desa Bugbug Kabupaten Karangasem.
Sering juga saya mendengar seseorang ketika ditanya alamat tempat tinggal mengaku tinggal di Nusa Dua. Padahal maksudnya dari Desa Bualu. “Nusa Dua” adalah Ikon Pariwisata yang terkenal dengan puluhan hotel berbintang yang dikelola oleh BUMN Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC)-dulu Bali Tourism Development Corporation (BTDC). Nusa Dua berada di wilayah Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung.
Tidak itu saja, mereka yang berasal dari wilayah obyek wisata Bali utara Buleleng ketika ditanya mengaku dari Lovina. Padahal desa asalnya dari Desa Kalibukbuk. “Lovina” adalah Ikon Pariwisata di Bali utara. Kawasan ini terkenal dengan pantainya yang tenang dengan atraksi ikan lumba-lumba. Kata “Lovina” sendiri dikenal di manca negara sejak tahun 1950 an yang erat kaitannya dengan sosok bangsawan dan sastrawan Anak Agung Pandji Tisna. Bahkan kini setidaknya ada enam desa disekitar Desa Kalibukbuk juga disebut kawasan Lovina.
Ternyata di Kabupaten Tabanan juga ada desa yang nyaris “balik nama” karena ikon pariwisata. Sering saya dengan seseorang menyebut berasal dari Tanah Lot. Padahal maksudnya dari Desa Beraban, Kecamatan Kediri Tabanan. Tanah Lot adalah nama Pura yang berada di atas batu karang di tengah laut. Karena keindahan panorama laut, sun set, dan aktivitas keagamaan Umat Hindu membuat kawasan suci Tanah Lot (DTW Tanah Lot) memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan manca negara.
Masih ada lagi mereka yang berasal dari Desa Candikuning Kecamatan Baturiti lebih akrab menyebut dirinya berasal dari Bedugul. Kawasan Bedugul (DTW Bedugul) juga salah satu ikon pariwisata Bali memiliki daya tarik berupa hutan pegunungan dan danau dengan udaranya yang sejuk.
Begitulah sejumlah kawasan/obyek wisata terkenal di Bali seolah-olah “menenggelamkan” nama desa-desa asli. Penyebutan kawasan wisata terkenal tentu tidak salah, semua itu serta merta agar lebih mudah di pahami oleh orang lain dari pada menyebut desa asli yang brandingnya kalah jauh dengan brading obyek wisata.
Tetapi dari sisi kepentingan pariwisata budaya atau pelestarian budaya tentu fenomena tersebut perlu mendapat kajian lebih lanjut, jangan sampai secara tidak sengaja kita membiarkan sesuatu yang membuat seseorang lupa dengan asal-usulnya, lupa dengan sejarah dan tatanan leluhurnya.
Desa di Bali bukan sekedar batas-batas administratif, tetapi “Desa” adalah tempat/wilayah untuk belajar dan menerapkan nilai-nilai kerohanian dan pengetahuan suci (Weda). [T]