Di sisi jenazah ibu, satu anak, di antara sepuluh anak yang menangis, bercerita tentang pisang: Ibu selalu menjinjing sesisir pisang pada setiap sore, melangkah agak terburu di jalan desa, lalu meliuk masuk rumah seseorang.
Di dalam rumah, sisir pisang matang di pohon itu dihadiahkan pada anak-anak. Maka, riang senang memenuhi rumah itu, dan ibu kemudian pulang ke rumah sendiri dengan senyum bahagia.
Ibu melakukan ritual itu setiap sore, saban pulang dari sawah, secara bergantian dari satu rumah ke rumah lain. Dan ibu selalu tepat menebak di rumah mana anak-anak sedang berkumpul, bercerita atau bermain, sehingga ia senantiasa menerima sambutan alami dan getar bahagia ucapan terima kasih, seakan-akan ia berhadapan dengan berpuluh-puluh anak dari buah rahimnya sendiri.
Anak-anak itu datang begitu mendengar ibu meninggal. Berkerumun mereka datang dan menangis, bahkan seorang anak perempuan sesenggukan tak habis-habis hingga tubuhnya bergetar hebat. Di sela sedu-sedan itu, mereka berebutan bercerita — kisah yang sama dengan irama yang beragam tentang pisang. Begitu bangga mereka bercerita dengan sungging bibir lembut dan cerah, meski air bening senantiasa deras meluncur dari mata jernih mereka.
Satu anak perempuan seperti sedang menyimpan telaga di matanya sekaligus menyimpan ribuan cerita di kepala dan ia menumpahkan air mata dari telaga matanya sekaligus menumpahkan cerita dengan penuh perasaan. Ia berkisah tentang bagaimana ibu mendirikan pagar dari berbagai jenis pohon pisang di tepi-tepi sawah, terutama di pinggir petak kecil di sisi jurang, agar tanah tak tergerus saat hujan. Tak ada yang bisa paham bagaimana deret pisang itu ditanam dan dirawat sehingga setiap hari selalu ada sesisir pisang yang matang di pohon dan ibu akan memotongnya setiap sore, hadiah sederhana bagi anak-anak desa.
“Untuk urusan petik pisang, ibu paling lihai. Ia pegang bambu runcing, seperti di film-film perang itu, lalu menusukkannya ke bagian batang pisang agak ke atas. Ditusuk berkali-kali. Tusuk, tusuk, tusuk!” pekik si anak, sembari tetap menangis dengan air mata meleleh pada ranum pipi. Pilu sekaligus lucu.
Anak-anak lain tertawa sekilas, lalu menangis lagi.
“Tusuk, tusuk! Sepuluh kali, seratus kali, batang pisang koyak, getahnya merembes, dan setengah bagian atas akan tertekuk, terkulai ke bawah. Tidaklah putus. Tandan pisang hanya menjuntai seakan tunduk pada ibu. Ibu dengan leluasa kemudian mengiris sesisir pisang yang matang, hanya yang matang. Lalu sisanya dibiarkan begitu saja, tetap menjuntai ke bawah, untuk diiris besok atau dua hari lagi, ketika satu sisir lagi matang dengan warna kuning tua menggoda!”
Aku, anak kandung ibu, tak betul-betul cermat mendengar anak-anak itu bercerita. Pikiranku terbagi pada gawai yang erat kukepal. Aku sedang berupaya meminjam dana kilat dari sejumlah bank dan gelisah menanti jawaban. Pagi ketika sepupu memberitahu bahwa ibu meninggal akibat terjatuh di dapur, aku langsung menghubungi bank, karena sekurang-kurangnya aku perlu Rp 200 juta untuk biaya upacara pembakaran jenazah ibu. Sebagai pengembang kondang di Bali, malu jika aku tak bisa menggelar upacara ngaben secara mewah dan megah.
Setidaknya sepuluh babi besar harus dipotong, juga ratusan ayam dan puluhan bebek beragam jenis bulu, sebagai pelengkap upacara, belum lagi untuk aneka menu jamuan tamu-tamu penting kolegaku dari kota. Apalagi, untuk upacara besar, pamanku yang paham soal adat istiadat telah merinci berbagai sarana penting, semisal seribu butir kelapa, seratus batang bambu, puluhan ribu lembar janur, dan setidaknya sepuluh ton beras. Jika hendak membeli perlengkapan upacara yang sempurna, aku diminta menyediakan setidaknya Rp 80 juta kontan.
Gawaiku bergetar. Satu panggilan dari bank besar memberi jawaban. Pinjamanku ditolak. Seakan sudah diatur, bank lain kemudian secara bergiliran menelepon dan memberi jawaban yang sama. Semua menolak dengan alasan serupa: aku ditolak karena angsuran utang sebelumnya macet total.
Tubuhku bergetar. Kupandang tubuh ibu. Kupegang kakinya, rasanya aku ingin merajuk minta uang untuk membeli es sabun atau dibuatkan masakan sambal belut seperti ketika aku kanak-kanak. Dan ketika kusadari semua itu tak bisa kulakukan lagi, hatiku seperti teriris.
Ibu kutinggalkan setamat aku SMA, sekitar 30 tahun lalu. Gagal kuliah, aku luntang-lantung masuk partai politik dan kenal banyak politisi, pengusaha dan pejabat. Rupanya tak berbakat aku jadi politisi, dan justru tumbuh jadi pengembang. Awalnya ikut-ikutan mengecer tanah kavling, lalu coba-coba bangun satu-dua rumah sederhana, dijual dan laris. Dengan berbagai koneksi, mudah kemudian kudapat pinjaman bank. Jadilah aku pengembang sejati. Sawah-sawah petani kusulap jadi perumahan megah, petani senang, kekayaanku jadi raya. Berkali kujemput ibu, kusiapkan satu vila dan kuminta ia tinggal diam saja menikmati pemandangan alam, namun ibu selalu menolak.
“Ibu ingin merawat sawah peninggalan leluhurmu dan akan aku garap sampai tak ada tenaga dan jiwa lagi,” kata ibu selalu .
Ibu tak bisa dirayu. Dan aku terlalu sibuk untuk bisa sering-sering pulang sekadar mengetahui kehidupannya. Hingga tiba pada satu masa, terjadi situasi yang tak mudah dipahami oleh pengusaha tamatan SMA macam aku. Orang-orang kaya tiba-tiba takut dan gentar belanja besar. Daya beli mereka nol, padahal aku baru saja membangun ratusan unit vila mewah di sebuah desa di lereng gunung. Vila yang kubangun tak satu unit pun ditawar orang. Dari bisik-bisik seorang teman, konon situasi itu terjadi karena korupsi perlahan-lahan sudah reda. Apa hubungannya? Aku tak paham. Yang jelas, aku bangkrut. Kreditku macet. Bank mengucilkan aku. Dan, sialnya, hampir seluruh aset milikku telah kujaminkan demi mendapat dana besar untuk membebaskan ratusan hektar lahan milik petani di lereng gunung.
Sambil tetap memegang kaki ibu, aku berkali-kali memandang gawai di genggeman, jangan-jangan ada pengurus bank berubah pikiran. Tapi gawaiku beku, tak ada getar tak ada dering. Aku sungguh gelisah.
Dua laki-laki masuk halaman rumah, menggotong babi besar, disusul dua laki-laki lagi, juga menggotong babi besar. Belum sempat disapa, para lelaki itu pergi begitu saja setelah menjatuhkan babi di sudut dapur. Sejam, mereka datang lagi, menggotong babi besar, begitu terus, hingga terdapat lebih dari dua puluh babi tergeletak di sudut dapur.
Seorang perempuan bercerita: ibu adalah pemelihara babi yang tekun. Entah apa resepnya, ibu tak pernah gagal. Pernah terjadi kiamat babi, semua babi mati, kecuali babi ibu. Dalam setahun masa pembesaran, ibu selalu sukses membesarkan lebih banyak babi dari ibu-ibu lain. Begitulah, pada musim ayu untuk upacara adat, banyak warga tak punya babi hingga sulit menggelar upacara, maka ibu selalu dengan sukacita meminjamkan babinya. Si peminjam bukannya tak mau bayar di kemudian hari, tapi segala jenis uang ditolak ibu. Kembalikan nanti saja, kata ibu.
Mungkin karena itulah warga desa tetap setia memelihara babi, terutama warga yang berutang babi pada ibu. Jaga-jaga, siapa tahu ibu tiba-tiba punya upacara, sehingga utang babi bisa dilunasi dengan lekas. Dan kini, seakan jadi hari penentuan bayar utang, ramai-ramai mereka mengembalikan babi karena mereka pun tak sudi jika jenazah ibu diupacarai dengan cara sekadarnya.
Aku, anak kandung satu-satunya milik ibu, termangu mendengar cerita dan menyaksikan peristiwa demi peristiwa di halaman rumah. Di sisi lain, aku masih gelisah mengepal gawai, mencoba menghubungi kawan baik, seorang rentenir.
Laki-laki penggotong babi pergi, tapi mengalir kemudian ibu-ibu muda diikuti para suami. Penampilan mereka lebih rapi dari rata-rata suami-istri lain di desa itu. Ibu-ibu muda menjunjung keranjang berisi sayur-mayur, si suami di belakang menggotong sekarung beras di pundak dengan napas terengah.
Seorang kakek bercerita: pasangan-pasangan suami-istri muda itu adalah guru kontrak yang dengan bayaran seadanya mengajar anak-anak desa di sekolah desa. Jika panen tiba, mereka tak ikut panen. Untuk makan, mereka beli beras di pasar. Gaji mereka pun habis untuk beli beras. Maka setiap panen, ibu kemudian menyisihkan berasnya untuk para guru desa agar gaji mereka tetap aman jadi tabungan. Ibu kadang juga menyelipkan sayur-mayur dan sedikit cabai hasil kebun. Boleh dibayar kapan saja, bahkan ibu tak pernah tanya jika mereka sama sekali abai membayarnya. Ketika ibu meninggal, terpanggillah mereka mengembalikan beras itu meski mereka yakin sampai di surga pun ibu tak akan pernah memintanya.
Aku, anak kandung laki-laki ibu, terduduk lemas. Semua hal unik yang kusaksikan adalah keajaiban. Halaman rumah ibu, berarti juga halaman rumah masa kecilku, perlahan makin hiruk-pikuk oleh hilir-mudik orang. Entah dapat dari mana, mereka berbondong membawa janur, kelapa, bambu, dan berbagai jenis rempah. Lalu rumah ibu seakan penuh cahaya saat anak-anak berbaris seperti pawai Hari Kartini, dengan berpakaian adat, menjinjing berbagai jenis pisang untuk bahan upacara.
Gawaiku bergetar. Pesan masuk. Dan betapa jengah aku, bahkan rentenir yang pernah kubantu membangun rumah pun tak bisa membantuku. Dasar rentenir busuk!.
“Made, makanlah dulu. Sejak pagi Made belum makan. Ayo, makanlah!” kata seorang warga desa, namanya tak kuingat, tapi wajahnya kukenal. Dia teman sebangkuku di SD.
Aku kemudian digiring ke sebuah balai bambu beratap daun kelapa yang tampaknya baru saja dibangun. Di rumah ibu, di rumah masa kecilku sendiri, aku disuguhi berbagai jenis makanan yang tak kupahami dengan benar siapa tukang masaknya dan dari mana mereka mendapatkan bahan-bahan masakan.
“Selama upacara ngaben ini, Made cukup menyambut tamu pelayat, terutama tamu-tamu penting, teman Made dari kota. Biarlah kami mengurus upacara ibu sampai tuntas. Hidup ibu adalah milik kami, sampai kami pastikan jiwa ibu tenang berstana di nirwana, sampai ibu menjadi Dewi Hyang, menjadi Hyang Ibu,” kata teman sebangkuku di SD, yang namanya tak kuingat itu, dengan suara berat.
Aku memandang teman itu sekilas sebelum menjumput nasi lalu kukunyah dengan perasaan hampa.
“Setelah jiwa-atma ibu berstana di nirwana, hanya Made kemudian yang berhak memujanya, memuja Hyang Ibu, dengan cara apa pun, karena kami sudah cukup bahagia bersama ibu selama ibu hidup!” lanjutnya.
Aku tersedak. Warga desa seakan menghukumku dengan membiarkan aku merasa bodoh dan miskin, tidak mengerjakan apa-apa, tak membiayai apa-apa. Ibu membiayai sendiri upacara kematiannya dan aku harus menerima kesempatan memuja ibu, setelah ibu benar-benar tiada. [T]
Catatan: Cerpen ini pertamakali dimuat Kompas, Minggu, 3 Maret 2019