- Judul Buku: Bertemu Masa Depan – Cerita-cerita Kecil Mahasiswa LPDP Bali di Penjuru Dunia
- Penerbit: Mahima Institute Indonesia + Mata Garuda Bali
- Tebal: xiv + 108 halaman
- Terbit: Januari, 2019
- ISBN: 978-602-53892-3-8
Menulis cerita, fiksi atau nyata, dalam bentuk karya sastra, tulisan kreatif dan karya jurnalistik, modalnya tak melulu keterampilan berbahasa, ketajaman argumentasi, atau kelihaian membangun gaya tulisan. Artinya, menulis tak harus kuliah di jurusan bahasa atau jurnalistik. Dalam laku menulis, ada tautan ilmu lain, bahkan mungkin ilmu lain yang tak pernah diperoleh dalam kelas pendidikan formal semisal ilmu untuk mengatasi ketersesatan pada jalan raya di sebuah kota asing, atau ilmu yang mengandung pengetahuan tentang cara-cara pintar mencari bus di sebuah kota yang tak pernah ada dalam buku-buku pelajaran sekolah.
Menulis, bercerita, atau memberitakan sesuatu, bahkan kadang hanya perlu satu ilmu penting, yakni pengalaman. Antara lain, pengalaman hidup yang mungkin sebelumnya sama sekali tak terbayangkan, yang kemudian diikuti dengan pengalaman mengingatnya, mencatatnya, menuliskannya, menceritakannya, atau memberitakannya, berkali-kali.
Seseorang yang punya pengalaman melimpah, misalnya karena suka melakukan perjalanan dan bertualang, atau secara kebetulan (karena sebuah keharusan dalam hidup) berhadapan dengan berbagai peristiwa baru dan asing, maka, jika mau, ia punya kemungkinan besar menjadi penulis, atau setidaknya pencerita yang menarik hati. Meski, misalnya, orang itu tak lihai berbahasa.
Keinginan untuk berbagi cerita, dan upaya yang keras untuk menceritakan dengan sebaik-baiknya, salah satunya didorong oleh banyaknya cerita unik — artinya cerita yang tak banyak dialami orang lain — tersimpan dalam kepala dan mendesak untuk keluar. Ketika dorongan cerita itu meledak dan berhamburan keluar, maka bahasa akan berusaha menyesuaikannya, perlahan-lahan, pelan-pelan, sampai akhirnya bahasa mengikuti daya tarik cerita. Terdengar ajaib, tapi coba saja.
Mata Garuda (MG) Bali, yakni alumni penerima beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) di Bali, bisa dipastikan selalu punya cerita menarik. Sebagai penerima beasiswa saja mereka sudah termasuk langka, unik, dan tak umum, karena dari ribuan mahasiswa hanya beberapa saja bisa lulus dan lolos. Kelangkaan itu, sejak awal bisa disebut sebagai sebuah cerita menarik. Apalagi kemudian ada banyak cerita dalam proses persiapan, belajar, hingga mereka lulus.
Bahkan, mulai dari proses melamar ke LPDP, ditolak, masuk lagi, diterima, atau langsung diterima dengan mulus, adalah sebuah pengalaman. Lalu, berikutnya, liku-liku perjalanan menuju lembaga pendidikan, di luar negeri atau di Indonesia, juga bagian dari pengalaman unik. Lalu, proses berpeluh-berkeringat, berpikir dan belajar, di lembaga pendidikan yang dimimpikan, atau di lembaga yang sebelumnya tak terbayangkan sama sekali, juga adalah bagian dari pengalaman berharga. Juga, hal-hal lain yang terjadi di luar lembaga formal, termasuk hal remeh-temeh, misalnya peristiwa konyol dan bodoh, misalnya tersesat akibat kesalahpahaman komunikasi, yang dialami mahasiswa di sebuah kota yang asing, juga bagian dari pengalaman sebagai bekal menulis cerita.
Dalam rumus berita dan cerita, pengalaman buruk dan pengalaman baik, sama-sama menarik untuk diberitakan, diceritakan. Pendakian gunung yang sukses, atau pendakian yang penuh rintangan, selalu masuk dalam katagori cerita menarik bagi petualang dan pecinta alam. Bencana dan kemajuan, sama-sama berita penting dalam kerja jurnalistik. Orang terlalu miskin dan orang terlalu kaya, selalu asyik jadi cerita atau sekadar gosip untuk dibagi ke orang lain.
Begitu juga dengan mahasiswa penerima beasiswa LPDP yang menulis cerita tentang diri mereka yang kemudian terangkum dalam buku berjudul “Bertemu Masa Depan” ini. Semuanya punya cerita menarik, bukan hanya satu cerita, melainkan berderet-deret cerita. Mereka menunjukkan naluri personal mereka, tentu dengan pertimbangan subjektif, untuk memilih satu bagian saja dari sekian banyak pengalaman yang mereka miliki.
I Wayan Adi Mahardika misalnya lebih fokus bercerita tentang sebuah kota, Glencoe, dan bagaimana kota itu berhubungan dengan dirinya, atau dirinya berhubungan dengan kota itu. Adi Mahardika punya kemampuan yang tak diragukan lagi sebagai seorang penulis cerita yang baik. Tulisannya dibuka dengan pilihan mudah. Ia memulai dengan sebuah peristiwa ketibaan penulis di suatu tempat yang asing. Justru di situlah pilihan tepat, sesuatu yang asing mengundang daya tarik, sehingga bisa diduga peristiwa yang terjadi kemudian adalah hal-hal tak terduga. Menduga dan tak terduga adalah misteri tersendiri dalam sebuah cerita. .
Saya tiba di Glencoe, dan turun di titik pemberhentian yang menurut peta adalah yang terdekat menuju hostel tujuan. Ada pusat pengunjung (visitor center) tak jauh dari sana, tetapi lokasinya cukup tersembunyi, tak terlihat dari pinggir jalan. Bangunan itu nampak lumayan baru, sebagian besar dari kayu, rendah dan agak tertutupi oleh pohon-pohon birch tinggi di sekelilingnya.
Paragraf pertama sudah mengundang rasa penasaran, sehingga pembaca tak akan berhenti hanya sampai di paragraf pertama. Dan kelanjutan dari “petualangan” itu memang tidak mengecewakan. Selain cerita soal pengalaman diri sendiri yang sesungguhnya biasa – tentang diri yang asing di sebuah kota terkenal, atau kota itu sendiri yang terasa asing karena baru pertama kali dijejaki – tulisan ini terpenting menyediakan diri untuk disusupi berbagai pengetahuan. Tentu karena penulisnya tampak sekali punya referensi yang cukup untuk mengatakan berbagai hal secara berbeda, termasuk referensi tentang film dan tokoh-tokoh yang punya kaitan dengan manusia, alam, serta lingkungan.
Film tentu tak dipelajari secara khusus di jalur pendidikan formal, namun sebagai mahasiswa yang menuntut ilmu biodiversity and taxonomy of plants, penulis mungkin belajar tentang Charles Darwin dan Alfred Russel Wallace. Dan dua pengetahuan itu — film dan tokoh naturalis, dipinjam untuk meramu cerita tentang sebuah kota menjadi cair, mengalir dan enak dibaca.
Topik tentang tempat diceritakan juga oleh I Made Adithya Prasetya Resik. Di London ia berkutat dengan masalah akomodasi, hal yang biasa dialami seseorang di sebuah kota yang baru pertama didatangi dan akan ditempati dalam waktu yang cukup lama. Jika Adi Mahardika lebih banyak bercerita tentang “apa dan siapa” kota itu, Adithya bercerita dengan amat rinci tentang bagaimana lika-liku dia memperkenalkan diri sekaligus mengenal London sampai ia berteman dengan kota itu. Keduanya sah dan sama-sama menarik.
Kita memang selalu tergoda bercerita tentang sebuah tempat, apalagi tempat itu baru dan asing. Tentu karena tempat bisa disebut sebagai hal penting yang mempengaruhi perilaku, baik fisik maupun karakter. Apalagi, iklim, cuaca, adat dan kebiasaan, di tempat baru berbeda atau berbanding terbalik dengan di tempat kita lahir dan tinggal. Jika diibaratkan panggung teater, tempat adalah setting atau latar penting, sehingga bahkan kostum pun mau tak mau harus disesuaikan. Hal-hal yang berubah dan bagaimana cara kita menghadapi perubahan juga adalah modal cerita yang melimpah.
Dalam buku ini, sebagian penulis bercerita soal tempat di mana mereka tinggal dan menempuh pendidikan. Selain fokus bercerita soal bagaimana tempat itu atau bagaimana penulis bergaul dengan tempat itu, sejumlah penulis juga bercerita tentang tempat sekaligus bagaimana ilmu yang sedang ditempuhnya “bekerja” dan “diperlakukan” di tempat itu. Anak Agung Putu Agung Raditya Wisesa Wedananta misalnya bercerita dengan begitu detil bagaimana Australia menerapkan ilmu kedokteran untuk mengatasi masalah sakit atau masalah sehat di negara itu. Saya kutip satu paragraph:
Selain dari teknologi yang digunakan di laboratorium, saya juga mendapatkan pengalaman bagaimana negara Australia menghadapi berbagai masalah penyakit infeksi yang menggunakan pendekatan multidisiplin dengan berbagai stakeholder. Berbagai profesi mulai dari klinisi, public health, dan scientist duduk bersama dan bersinergi untuk mengatasi masalah kesehatan yang menimpa Australia. Lebih dari itu, berbagai stakeholder mulai dari pemerintah, rumah sakit, akademisi dari universitas serta masyarakat ikut bahu-membahu mengatasi suatu masalah kesehatan di Australia.
Selain bercerita seadanya, bagian tulisan itu bisa jadi inspirasi bagi penulis atau dokter lainnya dan stakeholder untuk bisa menerapkan hal serupa di Indonesia. Atau, bisa jadi tulisan itu diubah jadi pertanyaan kritis: bagaimana penanganan penyakit infeksi di Indonesia sejauh ini? Inspirasi atau pertanyaan itu adalah sumbangan penting dari tulisan ini.
Sebagian penulis lain juga mencoba mengambil satu bagian kecil dari sekian proses perjalanan mereka saat menempuh pendidikan. Andre Maure misalnya mengambil satu peristiwa, tentu dari sekian banyak peristiwa, untuk ditulis dengan padat, kental, dan bernas. Itu yang biasa dilakukan seorang penulis cerpen. Ia bahkan menggunakan strategi penulisan cerpen untuk mengisahkan keakraban mendadak dirinya dengan Wali Kota Bristol Mr. Marvin Rees, dan hubungannya dengan apa yang kemudian ia dapatkan dari pengalaman itu.
Penulis lain ada juga bercerita dengan pretensi sederhana tentang apa itu LPDP dan bagaimana mereka mendapatkannya dengan semangat pantang-menyerah. Ada juga yang memberi semacam tips, pedoman, atau kalimat inspiratif agar para mahasiswa di Indonesia, atau di Bali khususnya juga memiliki semangat yang sama dengan para peraih beasiswa, tentu tidak dengan cara menggurui atau menyombongkan diri.
Bisa dikata, buku yang ditulis alumni mahasiswa penerima beasiswa LPDP Bali ini punya syarat untuk menjadi lengkap. Justru karena penulisnya punya latar pendidikan, minat, dan pengalaman menulis, yang berbeda-beda. Ia mengandung cerita, berita, juga pengetahuan dan menjadi sumber inspirasi yang mungkin tak bisa diperoleh dari buku mana pun atau dalam kelas formal di sekolah. Justru karena tulisan itu ditulis dengan cara bebas sesuai minat dan gaya penulisnya, sehingga ia jadi personal dan subjektif, mungkin juga tiada duanya.