DULU tatkala masih menetap di Jembrana, saya dan teman-teman punya kebiasaan tertentu. Setiap sore kami selalumagesahalias ngobrol.
Magesah bisa kami lakukan dimana saja. Bisa di warung kopi, trotoar depan rumah, halte, taman kota, atau di Twin Tower. Biasanya kami mulai magesah sekitar pukul 16.00 sore hingga pukul 18.00, kadang bisa terus berlanjut hingga pukul 21.00 malam.
Topik yang kami jadikan gesah (obrolan) macam-macam. Cerita tentang kegiatan kami hari itu, cerita lalu, harapan datang, rencana kerja, kondisi ekonomi kekinian, hingga politik. Seringnya sih cerita-cerita konyol yang pernah kami alami.
Selama magesah biasanya kami ditemani minuman. Seringnya kopi. Kadang-kadang es limun atau es temulawak. Lengkap dengan camilan ringan macam kwaci, krip-krip, cup-cup, atau kacang koala.
Tidak pernah ada tendensi apa-apa selama kami magesah. Hanya sebatas berbagi cerita, berbagi tawa, berbagi pengetahuan. Saat berbicara soal politik, kadang diwarnai perdebatan. Tapi tak pernah dimasukkan dalam hati.
Saat saya pindah domisili dari Jembrana ke Denpasar, sejumlah kosa kata Negaroa masih saya adopsi. Maklum selama di Denpasar, saya selalu menemukan tetangga kost orang Negaroa. Saat saya kost dekat kampus Sekolah Perhotelan Bali pun, sebagian besar tetangga saya orang Jembrana tulen. Sehingga logat Negaroa saya lestari.
Tatkala saya pindah domisili ke Bali Utara, saya mengalami semacam gegar budaya. Saat saya berbicara menggunakan logat Negaroa, kawan-kawan banyak yang tertawa. Mereka mengganggap logat saya lucu. Padahal selama ini, saya selalu menganggap logat Bleleng yang lucu. Apalagi saat bondres Buleleng tampil di panggung.
Meski dianggap lucu, saya sih cuek saja. Logat tidak akan bisa berubah dalam waktu singkat. Hingga kini pun saya masih mewarisi logat negaroa, meski sudah fasih dengan logat bleleng.
Tatkala mulai menetap di Buleleng, saya masih menggunakan sejumlah kosa kata Negaroa. Saya menganggap kosa kata Negaroa dengan Buleleng tak beda jauh. Bila orang Jembrana selalu berakhiran huruf “a” di belakang kata, maka orang Buleleng selalu berakhiran huruf “e” di belakang kata. Itu kesimpulan sederhana yang saya ambil.
Kata magesah pun masih saya gunakan saat awal-awal tinggal di Buleleng. Ketika bertemu lawan jenis dan mengobrol dengan bahasa Bali, saya selalu menggunakan kata magesah sebagai padanan kata nutur atau mengobrol. Kadang diikuti dengan anggukan, seringkali diikuti dengan senyuman.
Selama berbulan-bulan saya masih menggunakan kosa kata tersebut. Termasuk ketika mengobrol dengan kawan-kawan sesama jenis. Tatkala mengobrol dengan rekan pria, kemudian saya melontarkan kata magesah, mereka hanya menanggapinya dengan tertawa terbahak-bahak.
Suatu ketika, seorang teman pria datang ke tempat tinggal saya. Karena kedatangannya hanya sekejap, saya tawari dia kopi dan ajakan magesah. Tapi jawabannya kali ini berbeda.
“Cicinge ne, adi awake ajakine magesah. Awake tidong homo not,” ujarnya saat itu.
Sejak hari itu, saya baru paham apa arti magesah di Buleleng. [T]