Menikmati Gianyar sebagai pusat kesenian Bali, tidak lengkap rasanya bila tidak menelusuri sisi berkeseniannya. Karenanya, saya menyempatkan diri datang ke Desa Batuan untuk mencari tahu tentang gaya lukis dengan teknik tradisi batuan. Saya bertemu dengan Bli Made Griyawan di studio miliknya, di mana ia sedang mengajar anak-anak melukis.
Studionya terletak di antara persawahan dengan beberapa rumah berdiri di antaranya. Ia memberi nama studionya sebagai Studio Gelombang (Wave Studio). Pemberian nama itu didasarkan pada pembacaan dinamika kehadiran anak-anak yang belajar melukis di studio miliknya, di mana anak-anak datang secara bergelombang, sesuai dengan waktu luang yang dimiliki.
Pada nama itu ia juga menyimpan harapan bahwa kehadiran anak-anak akan terus menerus berlanjut, datang seperti gelombang yang tidak henti bergerak ke tepian, meski suatu ketika akan hilang, akan muncul lagi gelombang baru, sehingga memiliki keberlanjutan secara terus menerus.
Griyawan menjelaskan bahwa tujuan pendirian Studio Gelombang ini tidak hanya untuk mengajari anak melukis dengan gaya tradisi dan melestarikan budaya setempat saja, melainkan bertujuan untuk membudayakan agar melukislah yang menjadi tradisi, terlepas dari pilihan yang mereka pilih adalah melukis dengan tradisi batuan, ataupun tidak.
“Di Batuan sudah mentradisi orang melukis, tak masalah hasilnya berbeda. Dari dulu sampai sekarang tradisinya masih tetap saja melukis,” paparnya.
Dengan pemandangan yang memanjakan mata diiringi angin sepoi, saya kemudian duduk, dan menikmati proses yang sedang berlangsung dalam ruang studio tersebut.
Anak-anak yang hadir pada saat itu sedang menyelesaikan satu lukisan besar yang dilukis diatas kain kanvas bersama-sama. Ini adalah project bersama yang nantinya akan mereka tampilkan dalam sebuah pameran bersama.
Mereka menggambar sosok ikan dan sedang melakukan tahapan ngucek. Ngucek adalah tahapan keempat dari total 5 tahap melukis dengan gaya batuan. Tahap pertama adalah pemilihan atau pembuatan bahan dengan proses yang baik dan benar. Tahap kedua adalah ngorten atau membuat sketsa. Tahap ketiga adalah nyawi atau mempertegas garis sketsa (menebalkan sketsa). Tahap keempat adalah ngucek yang meliputi proses hitam putih, membuat dimensi serta membuat gelap terang.
Ada beberapa istilah yang terdapat dalam tahap ngucekdiantaranya adalah nerangan, yaitu memisahkan obyek satu dengan yang lain, mempertegas bagian atas dan bawah atau jauh dekat. Nyigar adalah memperkuat garis, mangunin adalah memberi kesan berisi atau membelah bidang dengan tinta, nyelekinadalah mempertegas ruang yang gelap.
Proses ngucekterjadi berkali-kali dengan menggunakan dua kuas, satu kuas untuk mengusap tinta, satu lagi untuk mengusap air sehingga dapat menciptakan degradasi atau dimensi. Ini merupakan proses yang memakan waktu paling lama dalam melukis gaya batuan.
Tahap kelima adalah ngewarna atau memberikan warna. Tahap kelima ini hanya digunakan bila diperlukan, sebab lukisan gaya batuan dapat dianggap selesai meski hanya menggunakan warna hitam putih saja tanpa warna lain.
Pada umumnya, dahulu lukisan-lukisan batuan hanya berwarna hitam putih yang dilukis di atas kertas dan dibuat dengan penelak(bambu yang di runcingkan) dan tinta cina. Namun, kini beberapa pelukis batuan memberikan suatu bentuk-bentuk tampilan baru pada karyanya, melalui warna, bentuk dan ide yang baru yang dibuat berbeda dari proses aslinya.
Griyawan sendiri meyakini bahwa seni harus bergerak dinamis, sebab budaya adalah sesuatu yang harmonis, dimana perkembangannya selalu menyesuaikan dengan jaman. Melukis bisa menggunakan material apapun yang ada, kertas, krayon, pensil warna, cat akrilik, dan lain sebagainya. Sebab bila pelukis tradisi terlalu terpaku pada aturan lama mengenai bahan-bahan dasar untuk melukis, mereka akan sulit membuat karya, karena bahan-bahan yang diperlukan kini terbatas.
Tujuan Griyawan mengajar anak-anak adalah untuk melestarikan tradisi (melukis) dan juga memberi edukasi. Mengajar melukis dengan teknik batuan member pelajaran karakter, bagaimana anak-anak bisa fightingatau berjuang dengan diri sendiri untuk mengontrol diri. Contoh ketika membuat sigar mangsi. Ini latihan mengontrol kesabaran. Juga pembelajaran tentang etika. Dalam goresan kuas-kuasnya, anak-anak boleh aktif dan nakal, tetapi tidak boleh keluar garis, dalam artian ada batasan yang membatasi.
“Belajar teknik batuan sama dengan belajar meditasi kreatif,” katanya.
Studionya dibuka untuk umum, pada semua kalangan yang ingin belajar, tidak hanya untuk mengajari anak-anak dari desa batuan. Ia membuka waktu bebas untuk kedatangan anak-anak itu pada hari Sabtu jam 2 siang, serta minggu pada jam 9 pagi dan jam 4 sore. (T)