Rasa-rasanya pada bulan-bulan ini sampai April 2019 di seluruh Indonesia suasana kota dan jalananya bisa dipastikan hampir mirip, di kanan-kiri dan di persimpangan diramaikan gambar baliho dan poster para calon anggota legislatif, seakan berebut perhatian para penghuni kota untuk memilih mereka.
Tak mengherankan karena tahun ini bangsa Indonesia memiliki ‘kerja’ besar, untuk pertama kalinya pemilihan anggota DPRD tingkat kabupaten, DPRD tingkat provinsi, dan DPR tingkat pusat, dilaksanakan serentak dengan pemilihan presiden. Bisa dibayangkan betapa ramainya dan riuhnya suasana Indonesia hari-hari ini.
Menurut data KPU, pemilu 2019 ini memilih 1 presiden, 575 anggota DPR RI, 19.817 anggota DPRD dan akan diikuti 185,7 juta pemilih yang telah terdaftar di DPT, yang akan memilih di 805.075 TPS di seluruh Indonesia.
Jika kita berbicara pemilu, tentu yang kita ingat adalah memilih. Mencoblos gambar adalah tanda kita memilih orang tersebut. Lalu pertanyaanya atas dasar apakah kita memilih? Memilih ada 2 jenis, sukarela dan paksaan. Bagaimanakah orang bisa sukarela memilih sesuatu?
Nah, inilah yang dinamakan ilmu pemasaran, karena pada dasarnya tujuan seorang calon legislatif memasang gambarnya adalah memasarkan dan menjual. Seorang caleg harus tahu, apa produk yang mereka dijual, jangan sekedar menjual tampang doang.
“Mohon doa restu dan dukungan“., itu kata-katanya, lalu berisi ajakan mencoblos nomer urut tertentu, dari partai tertentu dan daerah pemilihan tertentu. Dalam ilmu marketing bentuk promosi ini adalah penawaran paling dasar yang menyerupai pengumuman.
Pengumuman biasanya hanya berisi pemberitahuan. Bentuk pemberitahuan seperti ini masih lumayan dibanding tidak melakukan promosi sama sekali. Caleg yang tak turut memasang baliho biasanya hanya untuk memenuhi syarat formalitas keikut-sertaaan partai dalam pemilu atau karena mendapat nomer urut buncit.
Agar bisa lebih memikat, para caleg bisa mencoba level kedua, yakni menambahkan prestasi atau kelebihan dalam poster dan baliho kampanyenya. Misalnya mencantumkan nama almamater, atau gelar akademik. Jika seseorang lulus dengan predikat cumclaude tentu menjadi nilai tambah tersendiri. Atau caleg tersebut lulusan universitas bergengsi tentu juga bisa menjadi penilaian pemilih.
Lalu bagaimana kalau caleg tersebut bukan lulusan cumclaude dan lulusan universitas ternama? Ya tulis aja riwayat sekolah yang ada, misalnya alumni PAUD negeri singaraja, jika ia berasal dari singaraja, lengkapi dengan Nama SD , SMP, SMU , siapa tahu aja mereka-mereka yang dulu satu angkatan masih ingat dengan anda. Bila perlu adakanlah deklarasi dukungan disekolahmu itu.
Untuk menambah daya pikat, para caleg bisa mencoba level yang ketiga, yakni lakukan perbandingan. Pemilih di era internet sekarang ini adalah pemilih yang cerdas, perbandingan penting untuk memberi gambaran yang lebih jelas kepada mereka. Perbandingan bisa dilakukan dengan hal yang sejenis, hal yang tidak sejenis, atau dengan dirinya sendiri. Misalnya bandingan dengan calon lain dari dapil anda yang sama atau dengan anggota DPR yang sedang menjabat sekarang.
Sekali-sekali mainlah ke gedung DPR, jangan sampai anda sebagai calon anggota DPR tidak tahu letak dan detail gedung tempat anda akan bekerja. Lalu cari tahu berapa produk undang-undang yang sudah dihasilkan dan apa saja, lalu targetkan jumlah dan undang-undang yang akan anda janjikan untuk diselesaikan. Cari tahu pula gaji, dan jam kerja DPR sekarang, lalu ikrarkan jam kerja yang lebih panjang, bila perlu tanpa reses dan istirahat, tanpa mengambil gaji atau gaji anda akan anda sumbangkan.
Jika anda berani melakuakan hal demikian, besar kemungkinan anda terpilih, walau didepanya akan sulit merealisasikan janji anda. Tapi siapa yang perduli, toh tak ada anggota DPR yang dipenjara karena tak memenuhi janji. lagian di musim kampanye lainya anda masih bisa berjanji lagi kan..
Untuk memastikan kemenangan anda, tambahkan level keempat, utarakan alasan anda mencalonkan diri. Misalnya, negeri ini membutuhkan orang jujur, untuk berjuang memperbaikii moral manusia, untuk menegakkan keadilan, memperjuangkan pemerataan, atau alasan lain yang terdengar heroik. Alasan harus tegas, jika dibaca orang, mereka langsung berasumsi hanya anda yang bisa melakukan itu. Bukan sebaliknya, terdengar anda yang butuh pekerjaan.
Tips yang terakhir atau level kelima, beri batasan pilihan. Batasan pilihan jika dijabarkan ada beberapa jargon yang bisa dipakai, misalnya; “ Jangan biarkan orang yang salah bekuasa”, “Masa depan di tangan anda, negeri ini mau makmur atau tidak sama sekali “, atau yang lebih sadis “ Indonesia akan bubar “.
Layaknya lembaga survey professional yang meskipun dilakukan dengan metode canggih dan akademik, toh juga memiliki margin error, begitu juga tips diatas, ada juga margin errornya. jika terjadi kesalahan dalam praktek bukanlah salah ibu mengandung, tapi salah bapak nggak pakai sarung. Apalagi gak pakai sarung dan error kalau kalah, bisa gawat tuh urusan. he,,he,,,
Salam demokrasi.