KOPLAK merasa belakangan ini kepalanya sering gatal-gatal. Tingkat rasa gatal itu makin hari makin keras menyerang dan rasa gatal itu bagi Koplak sudah seperti kekuasaan yang tidak lagi bisa dimusnahkan dengan beragam sampo anti ketombe. Apalagi dengan suara hiruk-pikuk yang tumpah ruah dalam ajang kontestasi Pilpres.
Rasa gatal yang menyerang kepala Koplak sudah semacam kekerasan yang masuk ke ranah privat dan sangat menganggu. Mengekang pikiran dan hati Koplak. Efeknya sebagai seorang pejabat dan berkuasa, walaupun kekuasaan Koplak kecil, bahkan nama desa tempat Koplak memimpin dan berkuasa tidak bisa ditemukan di google.
Ini menunjukkan bahwa kekuasaan Koplak antara ada dan tiada. Maklum sangat terpencil, apalagi sebagai orang paling berkuasa di desanya Koplak juga merasa jubah kekuasaan yang dililitkan di lehernya sesungguhnya adalah beban berat juga bagi Koplak.
Karena bisa dibayangkan, Koplak harus mengatur desanya dengan baik. Mengurus administrasi warga desanya yang kebanyakan bekerja sebagai petani. Koplak pun tidak bisa terlalu bisa bergaya memerintah ini-itu untuk warga. Warga desanya pun sangat bangga dipimpin oleh Koplak, karena Koplaklah satu-satunya sarjana yang mau pulang ke desa.
“Kalau kau ingin jadi Kades seumur hidup kami semua setuju saja, asal urusan desa kau atur dengan benar?” suatu hari seorang warga sepuh dan disegani warga desa berkata sambil berbisik. Hampir saja jantung Koplak merosot dan pindah tempat. Berkuasa seumur hidup? Koplak bergumam.
“Kau bisa mengatur desa ini sampai kau tua dan tidak sanggup lagi. Pikirkan itu. Kalau aku yang bicara, warga desa ikut saja. Aku ini semacam pemimpin agama sama seperti para pemimpin-pemimpin agama yang ribut menggunakan agama untuk melegalkan kekuasaan. Apa salahnya aku ikut-ikutan mereka. Karena pemimpin agama dijamin tidak ada salahnya. Ucapannya adalah wahyu bagi pengikutnya. Semacam perintah yang wajib ditaati pengikutnya.” Sahut lelaki tua desa itu. Koplak terdiam. Menatap mata lelaki tua di depannya.
“Bape serius?” tanya Koplak hampir tidak terdengar.
“Serius, jika ucapan Bape laku dijual untuk kebaikan desa ini apa salahnya?”
“Tiang— saya tidak suka Bape Lingsir ikut-ikutan bergaya seperti orang-orang di luar itu. Masak agama ditenteng-tenteng dan dipakai jualan. Memangnya agama bisa ditakar. Bape ingin jadi pelingsir yang bicara semaunya? Karena Bape dianggap dituakan dan mengerti petiket Bape harus selalu didengar dan memiliki kebenaran mutlak? Bape, Bape mereka di luar itu seperti jualan kecap saja, ada kecap nomor satu dan nomor dua. Bape ini bagaimana?”
Koplak bersungut-sungut. Tidak ingin sesepuh desa yang dihormatinya tertular virus viral sok berkuasa, sok benar, dan sok paling kenal Tuhan.
“Itu yang sedang viral? Saling goyang saling menghina. Kau lihat saja di TV, hiruk-pikuk seperti suasana pasar. Lebih heboh dari pasar Badung di Denpasar.” lelaki tua itu terkekeh sambul terbatuk-batuk.
“Gaya sekali Bape tahu viral segala.” Koplak berkata pelan sambil menyodorkan segelas kopi pahit dan pisang rebus. Lelaki tua itu menganggat gelas kopi menciumnya dalam-dalam.
“Adakah kebahagiaan yang lebih nikmat ketika mencium aroma kopi yang diseduh dengan rasa tulus dan penuh cinta?” tanya lelaki tua itu datar dan menatap mata Koplak. Koplak menggaruk kepalanya yang tiba-tiba saja semakin menjengkelkan. Ketombe-ketombe yang tumbuh di atas kepala Koplak belum juga menyerah.
“Kalimat Bape selalu bersayap.”
“Sekarang kita harus pandai-pandai memilih kata-kata. Jika ada yang tersinggung kita bisa masuk bui.ahaya jika kau kena pasal itu!” Kata lelaki itu serius.
Aslinya Koplak tidak percaya bahwa lelaki tua yang duduk dihadapannya tidak mengenal bangku sekolah. Koplak merasa pasti Pan Manda seorang lelaki yang paham betul dunia pendidikan di Bali, karena topik apa pun yang dibicarakan dengan Pan Manda. Lelaki tua itu memiliki jawaban-jawaban yang bagi Koplak sangat cerdas dan mendalam. Juga yang menyangkut kehidupan sosial dan agama di Bali.
“Apa pendapatmu tentang kekuasaan?” Suatu hari Koplak disodorkan pertanyaan yang terdengar sederhana itu. Koplak pun terdiam. Lalu lelaki tua itu pun melanjutkan.
“Kekuasaan itu bisa seperti candu. Bisa merusak dirimu, juga orang yang kau kuasai.” Lelaki itu berkata sambil kembali mengangkat gelas kopinya menghirupnya dalam-dalam. Aroma kopi itu menguar bebas dan singgah di hidung Koplak.
Koplak terdiam. Teringat bagaimana persaingan dirinya ketika bersabung di arena Pildes. Apa pun yang dilakukan Koplak selalu diserang kubu yang ingin berkuasa dengan cara-cara tidak hormat.
Tetapi bagi Koplak kekuasaan itu adalah caranya ingin mengelola desa ini, Koplak tidak ingin menganggap kekuasaannya saat ini justru mengangkatnya jadi memiliki kasta sosial paling tinggi. Koplak tidak ingin kekuasaannya membuat dirinya menjadi priyayi-priyayi yang sok memiliki darah biru. Yang selalu ingin disembah, dihargai, dihormati tetapi tidak bisa menyembah, menghormati dan menghargai kehadiran orang lain.
Sampai saat ini Koplak masih yakin darah di dalam tubuhnya belum berubah warna. Masih merah. Sama dengan darah seluruh orang di desa ini. Juga darah seluruh manusia di kapal besar bernama, Indonesia ini.
Makanya Koplak heran Pilres jadi begitu berisik, menenteng cucu dianggap menggunakan anak kecil untuk kampanye. Padahal sekali pun sebagai Presiden — orang nomor satu yang memiliki kekuasaan penuh dan memiliki tanggungjawab yang tidak kecil sebagai nakhoda kapal besar bernama, Indonesia.
Dia tetap seorang manusia, seorang kakek yang rindu pada cucunya. Kata orang-orang kerinduan kita pada cucu melebihi kerinduan kita pada anak. Itu kata orang, Koplak sendiri belum memiliki pengalaman memiliki cucu, jadi rindunya selalu untuk Kemitir – anak perempuan semata wayangnya.
Koplak juga tidak habis pikir, apa yang salah jika seorang kandidat presiden berjoget dan bergembira di hari Natal bersama saudara-saudaranya.
Belakangan apa yang viral itu yang jadi kebenaran. Isi media sosial penuh makian tidak sehat bagi negeri ini. Ketika isu golput muncul semua panik, padahal dua Paslon dan timnya itulah sumber semua yang terjadi di negeri ini. Mereka ikut menyumbangkan kegaduhan viral terhadap naiknya ketidakpercayaan pemilih pada mereka.
“Harusnya mereka berdua dan timnya berpikir sedikitlah. Bertarunglah memikirkan visi-misi masa depan Indonesia. Isu lingkungan, isu teknologi, dan isu mau dibawa kemana generasi milineal ini. Ini kok malah rebutan jadi tokoh viral!” Pan Manda menatap mata Koplak sambil meneguk kopi di depannya.
Viral? Apakah kalau sudah viral semua persoalan negeri ini bisa tuntas? Hidup jadi lebih baik? Beragam bencana kabur? Koplak menggaruk kepalanya. Belum juga hilang ketombe sialan ini! (T)