Perkenalkan, nama saya Cangak. Entah siapa yang menamakan begitu. Mungkin bapak, mungkin ibu, atau mungkin orang-orang desa dan kota. Siapa saja yang menamai begitu, saya ucapkan terimakasih. Terus terang saya suka.
Di dalam bahasa Bali, Cangak itu dekat pengucapannya dengan cingak yang artinya melihat. Melihat yang dekat dan yang jauh adalah ciri-ciri kebijaksanaan. Saya dinamakan Cangak, mungkin karena diharapkan untuk mencapai kebijaksanaan.
Nama memang adalah salah satu cara untuk menunjukkan pengharapan, selain sebagai pengakuan. Mencapai kebijaksanaan adalah tujuan hidup, setelah bijaksana kedamaian akan dinikmati oleh ia yang bijaksana. Begitu menurut buku-buku agama yang saya baca dan hayati. Benar atau tidak, itu persoalan lain lagi.
Bukan perkara mudah mencapai kebijaksanaan, apalagi dalam hitungan detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahunan. Sebab, itu kebijaksanaan hanya lahir dari tempaan pengalaman hidup. Betul sekali, hidup memang pengalaman.
Di dalamnya ada pengalaman suka, duka, sehat dan sakit. Untuk mengerti bagaimana hidup mengajarkan tetralogi suka-duka-sakit-sehat, maka hari ini saya membiarkan perut tetap kosong. Tujuannya hanya satu, untuk belajar pada tubuh, sejujur apakah dia.
Konon tubuh itu jujur, maka dengan kejujurannya dia menyatakan dirinya lapar, lelah, sakit, dingin, hangat, dan sebagainya. Tetapi percayalah, tubuh tidak sejujur itu.
Tubuh bisa bohong! Cara tubuh berbohong, sangat halus dan sulit dideteksi. Lapisan tubuh yang bisa berbohong itu disebut pikiran. Tidaklah aneh, jika banyak orang yang ditipu pikiran-pikiran sendiri.
Agar bisa mengetahui kejujuran pikiran, maka berjanjilah untuk mengujinya. Karena berjanji kepada diri sendiri, dan diucapkan sendiri, maka dijalani juga sendiri. Janji diri itu disebut brata. Itulah hasil berkontemplasi, merenungi hal-hal yang oleh kebanyakan orang dilupakan, terkecuali oleh calon Cangak suci seperti saya.
Mengosongkan perut tanpa makan dan minum, adalah jalan untuk mempelajari, memahami, dan mengalami penderitaan. Penderitaan itu mestilah dilewati untuk mencapai kebahagian. Jadi dengan begini, saya bisa melihat lebih jelas, dari jarak yang tepat segala hal yang dekat dan yang jauh. Apalagi karena saya adalah Cangak.
Cangak nama burung dengan leher yang panjang. Dengan leher super panjang itu, saya bisa lebih jelas melihat hal-hal yang ada di bawah leher, atau pun di atas kepala. Saking panjangnya, leher itu saya rasakan seperti lorong jalan bebas hambatan.
Di tol leher itu, makanan yang ingin masuk tidak perlu membayar. Itu karena saya tidak lagi perlu uang, sudah saya tinggalkan semua itu. Sungguh. Percayalah!
Jangan tanya mengapa, sebab akan banyak yang bisa diceritakan oleh Cangak terpelajar seperti saya ini. Jadi penjelasannya begini, uang adalah godaan yang mengikat. Jika banyak uang, maka segalanya bisa dibeli, termasuk kewarasan.
Itulah sebabnya, karena saya sedang menanjaki dunia kesunyian yang konon seperti gunung, maka godaan uang harus saya tinggalkan. Beratlah jika kaki melangkah dengan beban super berat.
Bagaimana jika terbang? Ya betul, saya memang bisa terbang, tapi tidak akan saya gunakan untuk mempermudah pendakian gunung itu. Mendaki harus dibayar dengan melangkah, bukan terbang, apalagi terbang-terbangan.
Langkah dihitung mulai dari satu, sampai langkah terakhir ketika sampai di puncak gunung. Kurang lebih seperti menghitung penyesalan bahwa semasa hidup telah memakan banyak sekali ikan-ikan tak berdosa hanya karena dalih perut lapar. Betapa beratnya dosa saya itu.
Sekarang, karena saya sudah tercerahkan, jadi tidak lagi ikan-ikan itu akan saya makan. Kapok. Serius.
Oh iya, “Om Swastyastu”, maaf tadi saya lupa memberi salam. Begitu seharusnya seorang yang terpelajar. Om itu kuta mantra untuk menyebut Tuhan.
Swastyastu berasal dari dua kata, swasti dan astu. Swasti artinya selamat, astu artinya semoga. Ya Tuhan Semoga Selamat. Selamat dari segala jenis ikatan, terutama ikatan suka dan duka. Begitulah arti dan maknanya. Berasal dari mana istilah itu? Sudah saya bilang jangan menanyakan hal-hal seperti itu, sebab semuanya sudah saya pahami betul.
Jadi begini, konon kata swastyastu berasal dari bahasa Sanskerta. Ya bahasa Sanskerta. Bahasanya para dewa. Bahasa itu banyak ditulis-tulis pada kitab-kitab suci, agak suci, sampai pada kitab-kitab yang sangat suci.
Meskipun saya tidak terlalu mengerti, tetap saja bukan halangan, sebab banyak buku-buku terjemahan orang-orang pintar yang bisa dibaca dan dipelajari. Tidak akan ada yang curiga dengan penguasaan bahasa, apalagi penguasaan sastra. Yang penting sudah belajar dari penuturan banyak orang. Sekarang tinggal meneduhkan pandangan mata, dan berbicara lembut. Maka tidak akan ada yang curiga. So what?
Menurut orang banyak, kata swastyastu ternyata disebutkan dalam kakawin Bharatayuddha, yang konon digubah oleh Mpu kenamaan bernama Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Mpu sekaliber itu menulis kata swastyastu, maka wajarlah jika salam itu juga diucapkan oleh orang-orang yang ingin disebut terpelajar.
Saya salah satunya yang terpelajar itu. Lihatlah, raut wajah yang tenang ini. Jika tidak percaya, lihatlah baik-baik pada baliho-baliho. Percayalah, tidak ada lagi keserakahan itu. Paruh ini tidak lagi mematuk daging ikan. Leher ini tidak lagi enak menelannya.
Inilah memang saatnya menjadi pertapa, atau bahasa kerennya sanyasin. Menyepi di hutan dan hanya makan buah-buahan juga sayur-sayuran. Daging sudah tidak boleh, apalagi tuak dan arak, itu minuman bhuta kala. Mana mungkin saya minum yang begitu-begitu, meski memang enak, mantap dan memabukkan.
Salam, sekali lagi, nama saya Cangak. Yang dalam cerita Tantri, menjadi pendeta dan berhenti makan ikan. Saya telah belajar tentang dharma, yang tidak saya pahami. Saya adalah burung yang bisa terbang, mengangkut ikan-ikan untuk diselamatkan dari telaga yang mengering. Tidak baik jika ikan-ikan mati begitu saja karena telaga semakin kering, sempit, pengap, dan bau.
Sekaranglah saatnya pergi mencari telaga lain, yang lebih luas, jernih, dan bening. Siapa ikan yang ingin ikut? (T)