Hari Jumat tanggal 28 Agustus tahun 1970 adalah hari yang teramat pahit bagi masyarakat adat Lewotala Lewolema Flores Timur NTT. Rumah adat (korke) yang menjadi pusat kegiatan ritual, sosial dan budaya dibongkar dan dibakar.
Rumah yang mempersatukan masyarakat 5 kampung (Lewotala, Lamatou, Belogili, Kawaliwu dan Leworahang) sekaligus menjadi tempat dimana hal-hal krusial yang menyangkut kehidupan mereka direncanakan, dimusyawarahkan serta diputuskan dibakar di hadapan mayoritas masyarakat yang mensakralkannya.
Para tetua tak berdaya menyaksikan anak-anaknya sendiri yang bertindak sebagai aparat keamanan desa (hansip) membongkar dan membakarnya. Bagaimana mereka bisa melakukan tindakan membakar rumah adat yang menjadi jangkar kehidupan nenek-moyang mereka sejak berabad-abad lampau? Entah drama macam apa dan siapa aktor-aktor yang ada di balik itu, bagi tetua kampung yang lugu, tak fasih berbahasa Indonesia apalagi tidak bersekolah, tak banyak yang dapat mereka lakukan sebagai bentuk protes atau gugatan.
Apa yang diajarkan kepada anak-cucunya di sekolah sehingga menyebut tetua kampungnya: setan, kafir dan pemuja berhala? Bangunan yang dipercaya sebagai tempat suci kini dijauhi, dianggap sebagai rumah berhala, pusat tradisi dan praktek kekafiran. Tetua adat dituduh mendirikan agama baru. Disiksa berjalan kaki sejauh 17 KM untuk membersihkan rumput di halaman kantor camat selama sebulan tanpa disediakan makan dan minum.
Ritus dan sejumlah tradisi seperti: menenun, membuat tato etnik, meratakan gigi, melubangkan daun telinga dilarang. Pohon-pohon besar di situs-situs penting yang berkaitan dengan keyakinan lokal ditebang. Kain dan peralatan tenun dimusnahkan. Rumah-rumah tradisional, lumbung, simbol-simbol serta segala ekspresi budaya seperti: nyanyian etnik, sastra lisan, musik dan tarian adat perlahan-lahan hilang dari kehidupan masyarakat.
Tetua adat sebagai pelaku dan penjaga tradisi dibikin keder dengan sekian tuduhan (fitnah) yang tak mereka pahami. Mereka tidak tahu siapa yang ada dibalik semua itu. Yang terjadi kemudian adalah masyarakat terbelah antara yang menjalankan tradisi adat dan yang melepaskan diri darinya dengan menjalankan secara murni agama formal yang diwajibkan negara. Ada yang bingung dan atau menjalankan kedua-duanya. Yang menjalankan kedua-duanya, oleh pemeluk teguh agama formal, dicemooh sebagai plin-plan dan tak punya sikap. Ketegangan tersebut berlangsung sepanjang puluhan tahun walau tidak mencuat sampai perseteruan fisik.
Momen pemulihan
Tanggal 5-7 Oktober 2018 adalah hari yang bersejarah bagi masyarakat adat Lewolema. Hari dimana mereka boleh merayakan kembali seni, ritus dan atraksi budaya secara kolektif dalam Festival Nubun Tawa. Atraksi panahan massal (leon tenada) sebagai bagian dari ritus membangun rumah adat, tinju tradisional (sadok nonga) yang dilaksanakan sebagai ekspresi sukacita panen, ritus afiliasi anak ke dalam suku/marga (lodo ana) dengan tari dan nyanyian sepanjang malam digelar kembali di Lewolema.
Masyarakat tumpah ruah di jalan. Menari tanpa alas kaki di siang terik. Berpanas-panasan mengikuti sekian pegelaran. Memikul sejumlah perlengkapan, membawa senter mendaki bukit demi menyaksikan sejumlah pertunjukan di malam hari. Festival menjadi ruang pengakuan dan pemulihan hak ekspresi kultural masyarakat.
Perasaan lepas (tanpa beban intimidasi) menyembulkan energi kegembiraan/sukacita. Energi tersebut bertaut (:bersinergi). Saling menguatkan. Membangkitkan kembali gairah kreativitas masyarakat serta memberi ruang bagi keleluasaan berpikir dan bergerak dalam mewujudkan jati diri kolektif-kulturalnya. Kegembiraan dan keleluasaan menjadi angin segar yang memungkinkan masyarakat dapat kembali melihat modal sosial dan budaya, memungut kembali potongan-potongan sejarah serta pengalaman sosialnya termasuk menyembuhkan diri dari trauma sejarah kultural masa lalunya.
Relevansi festival
Festival sebagai perayaan dan ritus sosial memperlihatkan bagaimana kecerdasan dan kemampuan masyarakat mengorganisir dirinya. Absennya peristiwa budaya yang bersifat kolektif/massal selama ini menghilangkan juga kemampuan bekerjasama dan menyesuaikan diri satu terhadap yang lainnya. Yang muncul selama beberapa dekade terakhir adalah kebingungan, rasa rendah diri, kecurigaan, rasa benar sendiri dan superioritas diri yang sempit akibat kehadiran yang satu tidak mengakui yang lain dalam ruang egaliter kebudayaan. Klaim kebenaran satu pihak tidak mengakui kebenaran yang dimiliki oleh pihak lain.
Festival Nubun Tawa, dalam bahasa Lamaholot bermakna “lahirnya tunas/generasi baru”, menjadi perayaan atau pesta masyarakat dimana ruang egaliter kebudayaan diciptakan kembali. Masyarakat adat Lewolema yang hampir setengah abad tidak diakui ruang ekspresi kulturalnya dan dilemahkan nilai serta sendi-sendi dasar yang merawat bangunan hidup kolektifnya, melalui festival, menemukan kembali kekuatan kebersamaan melalui peristiwa-peristiwa kolektif kesenian yang mempersatukan.
Kesenian mempersatukan dan mengobarkan kegembiraan. Jalan untuk merawat kembali kesehatan jiwa dan daya hidup masyarakat. Bahwa mereka bukan kafir, setan dan pemuja berhala. Pun bukan masyarakat gunung yang bodoh dan primitif. Mereka adalah masyarakat tradisional yang religius. Yang merawat hidup dengan ritus, mantra, doa, nyanyian dan tarian. Yang memeterai dirinya dengan tato etnik dan motif-motif tenun serta pelbagai asesoris yang merupakan pertunjuk (wahyu) dari dunia transenden.
Festival membuat mereka menemukan kembali kenyataan dirinya sebagai pemberani (ata breket), prajurit dan satria perang yang handal di masa lalu. Atraksi panahan massal (leon tenada) dari desa Lamatou misalnya, memperlihatkan kehebatan memanah yang selama ini tidak diapresiasi sebagai ketrampilan kultural masyarakat.
Festival Nubun Tawa yang lahir atas inisiatif Pemerintah Daerah (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan) Kabupaten Flores Timur bekerjasama dengan Garasi Performance Institute serta sejumlah komunitas seni di Larantuka menemukan tempat dan relevansinya di dalam kehidupan masyarakat. Festival bukan terutama pukauan dan kekaguman pada kerja-kerja artistik pentas-pentas kesenian melainkan lebih pada mempertautkan masyarakat dalam satu spirit perayaan dimana melaluinya mereka menghimpun kembali tenaga kembangkitan, menemukan jati diri kultural dan berkarya membangun masa depannya.