Empat bagian catatan ini adalah respon untuk buku “Mencari Bali yang Berubah” karya I Ngurah Suryawan, terbitan BasaBasi (2018).
I
Setiap masyarakat, di Utara maupun di Selatan, dalam konteks ekonomi, di Barat maupun di Timur, dalam konteks sosial budaya, pasti memiliki sistem sosial budaya terdiri dari sub-sub sistem yang saling terkait satu sama lain yaitu, sub sistem ideologi, sub sistem struktur sosial, dan sub sistem infrastruktur material. Teori Marxis biasa menyebut sistem sosial budaya masyarakat terdiri dari base da super stucture.
Selain memiliki sistem sosial budaya, setiap masyarakat tidak terhindarkan dari perubahan sosial budaya. Perubahan itu bisa dimulai dari sub sistem manapun, sub sistem ideologi, sub sistem struktur sosial, ataupun sub sistem infrastruktur material.
Jika perubahan sosial budaya dimulai pada suatu sub sistem, misalnya pada sub sistem ideologi kemudian dikuti oleh perubahan sub sistem lainnya yang sejalan dengan perubahan pada sub sistem ideologi, maka terjadi perubahan sosial budaya yang harmonis. Sebaliknya jika perubahan pada suatu sub sistem tidak diikuti oleh perubahan pada sub sistem lainnya, maka bisa terjadi masalah sosial budaya, kemandegan sosial budaya, bahkan konflik sosial budaya.
Dalam khasanah teori perubahan sosial, locus dimulainya perubahan sosial budaya telah berkembang menjadi teori yang berdiri sendiri. Ada teori perubahan sosial yang percaya perubahan sosial budaya dimulai dari sub sistem ideologi. Ada juga teori perubahan sosial budaya yang meyakini perubahan sosial budaya dimulai dari sub sistem infrastruktur material. Teori-teori Marxis mengajarkan perubahan masyarakat dimulai dari perubahan basis material. Tentu saja tidak berarti orang yang percaya perubahan sosial budaya dimulai dari perubahan basis material adalah Marxis.
Perubahan sosial budaya adakalanya dapat membuat masyarakat pendudkung suatu kebudayaan merasa cemas. Mereka khawatir nilai-nilai budaya yang mereka anut yang dipandang adi luhung tergerus oleh perubahan sosial budaya. Namun di sisi lain ada yang percaya bahwa perubahan sosial budaya tidak akan membuat identitas mereka tergerus. Bahkan mereka memandang perubahan sosial budaya perlu direspons agar masyarakat berkembang menjadi lebih baik, sekurang-kurangnya tidak ditinggalkan oleh perubahan jaman.
Perubahan sosial budaya Bali sudah terjadi. Apakah perubahan sosial budaya Bali itu harus dicemaskan? Ataukah perubahan sosial budaya itu direspons dengan optimis untuk membuat masyarakat Bali berkembang menjadi lebih baik? (
II
Bali yang berubah adalah keniscayaan. Bahwa perubahan itu menimbulkan ada pihak yang cemas, khawatir identitas ke-Bali-an akan punah, dan ada pihak yang menatap perubahan dengan kegairahan untuk menyosong masa depan Bali lebih baik, semua itu berakar pada dan tidak terlepas dari pemahaman dan pandangan mengenai kebudayaan.
Pemahaman dan pandangan mengenai kebudayaan sebagai warisan nilai-nilai adi luhung semata, akan berupaya melestarikan apa yang dinilai sebagai kebudayaan. Perubahan kebudayaan dengan demikian akan memicu kecemasan karena kehilangan nilai-nilai adi luhung yang merupakan warisan berharga.
Pemahaman dan pandangan mengenai kebudayaan sebagai warisan berharga dan juga respons terhadap dunia akan memandang perubahan kebudayaan harus direspons agar tidak tergilas oleh perubahan. Warisan budaya yang ada yang masih sesuai dapat dipakai untuk merespons perubahan, dan nilai-nilai budaya yang tidak sesuai lagi, tidak menjadi masalah kalau ditinggalkan. Itu tidak perlu diratapi.
Perubahan sosial budaya Bali yang telah terjadi tidak dapat juga dipisahkan dari politik kebudayaan dan praktik ekonomi politik kekuasaan yang telah diterapkan oleh pemegang kekuasaan sejak jaman feodal, kolonial, sampai kemerdekaan Bali.
Praktik politik kebudayaan dan ekonomi politik yang diterapkan oleh kekuasaan di Bali menyasar sub sistem ideologi, sub sistem struktur sosial, maupun sub sistem infrastruktur material.
Politik kebudayaan dan ekonomi politik yang diterapkan oleh kekuasaan itu kemudian menimbulkan praktik-praktik budaya di bidang pariwisata, ritual, dan lainnya. Wujud dari praktik budaya itu dapat berupa persuasi dan sering berupa kekerasan.
Wujud politik kebudayaan dan ekonomi politik persuasif biasanya tidak disadari oleh sebagian orang.
Politik kebudayaan dan ekonomi politik represif telah menebar teror dan ketakutan pada sebagian orang. Represi dan teror yang dilakukan secara sistematis dan dalam waktu cukup lama oleh kekuasaan dalam sejarah panjang Bali melahirkan kisah-kisah pilu pada kelompok pinggiran orang Bali yang tidak mampu diungkapkan ke permukaan.
Masa reformasi 1998 telah memberi ruang untuk menyuarakan kisah-kisah pilu itu ke permukaan. Namun, masih banyak praktik budaya yang dilakukan oleh masyarakat Bali yang memerlukan respons untuk membawa Bali ke masa depan yang lebih baik.
Perlu strategi budaya untuk merespons perubahan sosial budaya yang telah terjadi di Bali. Siapa yang bertanggungjawab merancang strategi itu? (
III
Perubahan sosial budaya yang signifikan di Bali yang masih membutuhkan respons untuk membawa Bali menjadi lebih baik adalah perubahan yang dipicu oleh pembangunan Bali sebagai destinasi pariwisata.
Pembangunan Bali sebagai destinasi pariwisata dunia tidak dipungkiri telah memberikan hasil ekonomi kepada sebagian orang Bali, tetapi juga menyisakan persoalan-persoalan yang memerlukan solusi.
Gagasan pembangunan Bali sebagai destinasi pariwisata dunia pada mulanya bukanlah gagasan yang muncul dari masyarakat Bali. Ide itu merupakan bagian dari politik kebudayaan dan ekonomi politik yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Pada awal abad XX pemerintah kolonial Belanda bermaksud menguasai Bali sebagai bagian dari politik membulatkan kekuasaannya di seluruh Nusantara. Untuk melaksanakan rencana itu, dengan berbagai dalih yang dicari-cari maka diperangi kerajaan Badung tahun1906 dan kerajaan Kelungkung tahun1908 dengan menggunakan senjata perang moderen. Banyak korban nyawa di pihak rakyat Bali. Kedua kerajaan itu jatuh ke tangan pemerintah kolonial Belanda.
Kejatuhan Badung dan Kelungkung menyebabkan seluruh Bali menjadi kekuasaan pemerintah kolonial Belanda, karena kerajaan-kerajaan kecil lainnya di Bali waktu itu tunduk kepada Badung dan Kelungkung.
Penundukkan Bali oleh pemerintah kolonial Belanda melalui perang yang mengorbankan banyak nyawa penduduk Bali mendapat kritik keras oleh sesama negara kolonial Eropa. Hanya untuk menundukkan pulau kecil Bali pemerintah kolonial Belanda mengorbankan banyak nyawa penduduk Bali, yang seharusnya bisa diselesaikan melalui diplomasi.
Untuk menangkis kritik itu pemerintah kolonial Belanda menerapkan politik kebudayaan dan ekonomi politik. Seni dan Budaya Bali diangkat dan dipromosikan sebagai Seni dan Budaya yang eksotik dari negeri timur.
Berbagai pameran di Eropa diikuti oleh pemerintah kolonial Belanda dengan menampilkan Seni dan Budaya Bali secara besar-besaran. Destinasi pariwisata dan fasilitas pariwisata mulai disiapkan di Bali.
Wisatawan asing diundang datang ke Bali untuk menyaksikan keagungan Seni dan Budaya Bali sekaligus juga untuk menunjukkan bahwa pemerintah kolonial Belanda adalah pemerintahan yang sangat peduli kepada pengembangan Seni dan Budaya, bukan pemerintahan yang kejam yang membantai penduduk daerah jajahan.
Untuk memfasilitasi kedatangan wisatawan asing ke Bali, kapal pengangkut wisatawan asing dari pusat kekuasaan kolonial di Jawa ke Bali disiapkan. Kapal laut yang semula dipakai mengangkut ternak dimodifikasi untuk mengangkut wisatawan asing. Di awal tahun 1920-an wisatawan asing ke Bali sudah berlabuh di pelabuhan Buleleng.
Kedatangan wisatawan asing ke Bali yang jumlahnya semakin banyak dari tahun ke tahun, memberikan keuntungan politik dan ekonomi kepada pemerintah kolonial Belanda.
Secara politik pemerintah kolonial Belanda tidak lagi dituduh sebagai pemerintahan yang kejam oleh rekan-rekannya di Eropa karena berhasil menunjukkan diri sebahai pemerintahan yang sangat peduli kepada pengembangan Seni dan Budaya Bali.
Secara ekonomi pemerintah kolonial Belanda mendapat devisa dari kedatangan wisatawan asing ke Bali.
Dalam kedudukan sebagai daerah dan masyarakat jajahan, tidak dipungkiri masyarakat Bali juga memeroleh keuntungan dari politik kebudayaan dan ekonomi politik yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Pengembangan Bali sebagai destinasi pariwisata dan kedatangan wisatawan asing ke Bali menimbulkan persentuhan antara wisatawan asing dengan masyarakat Bali. Dari interaksi itu memicu kreatifitas seni masyarakat Bali.
Di Buleleng tempat berlabuh wisatawan asing pertama di Bali hasil dari politik kebudayaan pemerintah kolonial Belanda, muncul beberapa kreasi seni misalnya gong kebyar, seni ukir yang kemudian lebih berkembang di Bal selatan karena basis materialnya lebih tersedia di sana.
Di Bali selatan juga lahir berbagai kreasi seni, di Tabanan muncul maestro seni I Marya yang menciptakan Tari Oleg Tambulilingan sebagai masterpiece karya tarinya. Konon tari itu terinspirasi oleh tari balet yang diperkenalkan kepada I Marya melalui video oleh rekan asingnya.
Di Ubud Gianyar muncul kreasi seni lukis karena persentuhan pelukis lokal dengan pelukis asing. Tentu di tempat lain di Bali juga mencul kreasi seni lainnya sebagai akibat persentuhan dengan orang asing di masa kolonial itu.
Sebagian orang Bali yang mampu merespons kedatangan wisatawan asing di masa kolonial tentu saja juga mendapat hasil ekoni.
Bagi Bali secara keseluruhan ada hasil yang dapat dinikmati sampai saat ini dari kedatangan wisatawan asing di masa kolonial yaitu buku-buku yang mulai ditulis oleh wisatawan asing yang datang ke Bali dan diterbitkan mulai tahun 1930-an. Buku-buku tentang Seni dan Budaya Bali itu membuat Bali menjadi terkenal di seluruh dunia.
Tentu politik kebudayaan dan ekonomi politik yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda di Bali selain mendatangkan keuntungan bagi Bali seperti sudah disampaikan di depan, juga menyisakan persoalan yang bahkan diwarisi sampai saat ini oleh masyarakat Bali. (
IV
Pembangunan pariwisata Bali yang pada awalnya merupakan artikulasi politik kebudayaan dan ekonomi politik pemerintah kolonial Belanda, dengan kelebihan dan masalahnya, berlanjut di jaman Indonesia merdeka, “Orde Lama”, “Orde Baru” dan seterusnya.
Pada era “Orde Lama” pembangunan pariwisata Bali dilanjutkan ditandai dengan pembangunan infrastruktur, fasilitas pariwisata dan promosi budaya.
Pelabuhan udara internasional Ngurah Rai dibangun sebagai infrastruktur yang menunjang pembangunan pariwisata Bali. Hotel Bali Beach dengan 10 lantai yang sampai sekarang menjadi bangunan tertinggi di Bali, dibangun sebagai fasilitas pariwisata. Keduanya dibangun dengan pampasan perang dengan Jepang.
Promosi budaya dilakukan dengan mengirim misi kesenian Bali ke berbagai negara maju di dunia.
Upaya-upaya itu berhasil mendatangkan kunjungan wisatawan asing ke Bali dan menjadikan Bali sebagai destinasi wisata terkenal di dunia.
Di masa “Orde Baru” pembangunan pariwisata Bali dilakukan secara besar-besaran. Dimulai tahun 1970 dirancang pembangunan hotel di wilayah tandus Nusa Dua dengan bantuan konsultan dari Prancis. Lembaga Pendidikan Pariwisata juga disiapkan dengan nama Balai Pendidikan dan Latihan Pariwisata (BPLP) yang sekarang menjadi Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) di bidang pariwisata.
Pembangunan pariwisata Bali yang dilakukan secara masif mulai tahun 1970 itu diberi label Pariwisata Budaya yang dimaksudkan budaya Bali menjadi basis pembangunan pariwisata Bali.
Pembangunan fasilitas pariwisata di wilayah tandus Nusa Dua kemudian diikuti dengan pembangunan fasilitas pariwisata di pantai selatan Bali dengan mengalihfungsikan lahan pertanian karena pariwisata dilihat mendatangkan keuntungan ekonomi. Pembangunan fasilitas pariwisata juga kemudian dilakukan di pinggir jurang, di pinggir sungai, di kaki gunung.
Pembangunan pariwisata Bali secara masif itu tidak terbantahkan telah menghasilkan keuntungan ekonomi bagi Bali sebagai wilayah dan juga bagi sebagian orang Bali yang mampu merespons perubahan itu.
Struktur ekonomi Bali berubah dari ekonomi berbasis pertanian sampai tahun 1970-an menjadi ekonomi berbasis pariwisata mulai pertengahan tahun1980-an. Perubahan struktur ekonomi Bali itu oleh beberapa ekonom Bali disebut perubahan struktur ekonomi yang melompat.
Hasil ekonomi yang dicapai dari pembangunan pariwisata Bali itu tidak lepas juga dari masalah. Paruh kedua tahun 1980-an sudah disadari bahwa hasil ekonomi dari pembangunan pariwisata Bali lebih banyak dinikmati oleh pemodal besar. Pemodal kecil dan juga orang Bali hanya memeroleh remah-remah kue pariwisata Bali.
Ketimpangan juga dirasakan antar wilayah di Bali. Oleh karena fasilitas pariwisata lebih banyak di bangun di wilayah Bali selatan terutama Badung dan Denpasar maka hasil pariwisata Bali lebih banyak dinikmati oleh penduduk di wilayah Bali selatan.
Ketimpangan yang sama juga terjadi antar sektor. Pembangunan masif sektor pariwisata nampak menelantarkan sektor lain terutama sektor pertanian.
Gagasan mengatasi ketimpangan itu sudah ada. Ketimpangan antar wilayah solusinya digagas melalui pembangunan Bali sebagai pembangunan one island management. Bahasa politik pemerintahannya otonomi khusus Bali.
Ketimpangan antar sektor digagas diatasi dengan integrasi antar sektor pertanian, pariwisata, dan industri rumah tangga kemudian industri kreatif.
Gagasan yang sudah lama ada itu hanya tinggal gagasan yang belum bisa diwujudkan.
Singaraja, 18-21 Januari 2019