Empat tahun lalu, untuk pertama kalinya, saya mengenal sosok Soe Hok Gie justru tidak dari catatan hariannya, akan tetapi dari sebuah film berjudul GIE yang disutradarai oleh Riri Riza dan dibintangi oleh Nicholas Saputra.
Baru akhir tahun 2017, seorang senior memberikan sebuah buku kepada saya, buku yang berjudul Catatan Seorang Demonstran yanglegendaris itu. Dan kemudian saya kembali mengenalnya dari sebuah buku berjudulSoe Hok Gie Sekali Lagi. Juga membaca karya-karyanya melalui buku Zaman Peralihan.
Awal-awal saya menonton film itu,saya masih belum tahu betul bagaimana sosok Gie. Yang saya tahu hanyalah; dia adalah seorang penentang, tukang protes, diam, dingin, pemikir, pembaca buku,dan angkuh. Akan tetapi, setelah membaca buku Catatan Seorang Demonstran itu dan membaca beberapa pengantar didalamnya, Gie adalah sosok yang riang, tidak bisa diam, penyayang binatang juga manusia tentu saja, suka berdebat, supel, dan ramah.
Gie lahir pada tanggal 17 Desember1942 pada saat perang dingin sedang berkecamuk di Pasifik. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit dengan Nio Hoe An. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Pit alias Salam Sutrawan. Gie merupakan adik dari Soe Hok Djien yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman.
Sebenarnya, dalam sejarah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) (organisasi yang saya ikuti sekarang) ada sosok yang mungkin hampir bisa disamakan dengan Gie. Namanya Ahmad Wahib. Sama-sama lahir pada tahun 1942. Bedanya, Gie lahir 17 Desember sedangkan Ahmad Wahib 9 November. Dua-dua adalah aktivis mahasiswa, pemikir, juga sangat aktif menulis catatan hariannya. Dan dua-duanya juga mengalami nasib yang sama: mati muda.
Jika dilihat dari garis organisasi, seharusnya saya lebih mengidolakan Ahmad Wahib daripada Soe Hok Gie. Tapi entah kenapa, saya merasa cocok dengan Gie—walaupun dalam beberapa hal, Ahmad Wahid juga menarik. Jujur saja, jika dibandingkan ketika membaca catatan mereka berdua, saya lebih senang membaca Catatan Seorang Demonstran daripada Pergolakan Pemikiran Islam-nya Ahmad Wahib (di sini saya bukan berarti menganggap bahwa catatannya Ahmad Wahib tidak perlu saya baca, hanya saja ini berkaitan dengan selera dan saya pikir, setiap orang mempunyai selera yang berbeda-beda).
Semenjak membaca Catatan Seorang Demonstran dan Soe Hok Gie Sekali Lagi pada akhir tahun2017 dan kemudian saya lanjutkan membaca buku Zaman Peralihan pada akhir 2018, saya semakin jatuh hati dengan sosok Gie. Seorang pemuda Indonesia yang berperawakan kecil tapi bercita-cita besar. Seorang mahasiswa yang tetap teguh mempertahankan idealismenya di tengah ingar-bingar zaman kekuasaan pada waktu itu. Rekan-rekan seperjuangannya begitu bernafsu untuk memiliki kekuasaan, ia lebih memilih sendirian, terasing dan kesepian.
Pada zaman ini, saya belum menemukan seorang mahasiswa seperti Soe Hok Gie: seorang mahasiswa yang tidak hanya belajar dan bertindak berusaha mewujudkan cita-citanya, melainkan juga dengan tekun mencatat apa saja yang ia alami dan ia pikirkan selama kehidupannya. Dan lewat perantara catatan hariannya itulah, saya—dan mungkin Anda semua—mengenalnya dan memperoleh pengetahuan mengenai kehidupan para mahasiswa dan situasi bangsa dengan berbagai permasalahannya.
Walaupun beberapa orang menilai Gie sebagai seorang yang tak dapat dianggap sebagai ahli sejarah yang baik, tapi setidaknya Gie memiliki sesuatu yang jarang sekali dimiliki oleh pemuda saatitu dan bahkan saat ini: keberaniandan kejujuran. Berkat dua hal itulah, saya sebagai seorang mahasiswa begitu sangat mengidolakannya.
Soe Hok Gie adalah seorang cendekiawan ulung—mungkin juga Ahmad Wahib—yang terpikat pada ide, pemikiran dan menggunakan pikirannya terus-menerus untuk mengembangkan dan menyajikan ide-ide yang menarik perhatiannya.
Soe Hok Gie adalah—seperti yang sudah dituliskan Harsja W. Bachtiar dalam kata pengantar buku Catatan Seorang Demonstran—seorang pemuda yang penuh cita-cita dan terus menerus berjuang agar supaya kenyataan-kenyataan yang diwujudkan oleh masyarakat kita dapat diubah sehingga lebih sesuai dengan cita-citanya yang didasarkan atas kesadaran yang besar akan hakikat manusia. Dalam memperjuangkan cita-citanya ia berani berkurban dan memang sering menjadi kurban.
Atau kata Riri Riza, sutradara filmGIE, bahwa Gie bukanlah stereotipe tokoh panutan atau pahlawan yang kita kenal di negeri ini. Ia adalah pecinta kalangan yang terkalahkan—dan mungkin ia ingin tetap bertahan menjadi pahlawan yang terkalahkan, dan ia mati muda.
Selain menggilai buku, menulis, forum diskusi, pecinta alam, Gie juga pecinta sinema. Ia adalah pendiri kine klub di Fakultas Sastra dan ia juga yang membawa Jules et Jim karya Francois Truffaut, dan Rebel Without A Cause yang dibintangi James Dean ke Fakultas Sastrauntuk bisa dinikmati dan didiskusikan bersama kawan-kawannya.
Selama hidupnya, Gie sepertinyatidak pernah bisa untuk duduk diam. Ia seperti super hero yang memiliki pendengaran yang sangat tajam. Di mana adajeritan kaum papa yang memerlukan pertolongan, ia seperti mendengar dan begitu mengusik hatinya. Atau seperti kata kakak kandungnya, Arief Budiman, yang mengandaikan peran intelektual sebagai resi, yang dalam waktu-waktu tertentu meninggalkan pertapaannya untuk mengabarkan keadaan yang buruk. Sebagaimana seorang resi, Gie sebagai seorang intelektual yang tak pernah duduk tenang dipertapaannya. Apapun yang membuat hati dan pikirannya terusik, ia tidak akan segan-segan untuk mengungkapkannya baik lisan maupun tulisan.
Dan tentang peran Soe Hok Gie dalam usaha meruntuhkan Orde Lama dan menegakkan Orde Baru yang dipimpin oleh Jendral Soeharto saya pikir juga tidak sedikit. Dan harapannya kepada rezim Soeharto agar lebih baik—yang mengembangkan dan memperkuat keadilan sosial—daripada rezim Soekarno, ia tidak segan-segan melancarkan kritikan pedas terhadap segala sesuatu yang menurut anggapannya tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Akhirnya, pada tanggal 16 Desember1969, seorang idealis itu telah tiada. Pekerjaan terakhir yang ia kerjakan adalah mengirim bedak dan pupur untuk wakil-wakil mahasiswa yang duduk di parlemen, dengan ucapan supaya mereka bisa berdandan dan dengan begitu akan tambah cantik di muka penguasa. Suatu tindakan yang membuat ia semakin dijauhi dan dibenci oleh teman-teman mahasiswanya yang dulu sama-sama turun ke jalanan pada tahun 1966. Ia terpencil, sendirian, kesepian; penderitaan. Dalam suasana yang seperti itulah, ia meninggalkan Jakarta untuk pergi ke puncak Gunung Semeru.
Ketika ia tercekik oleh gas beracu nkawah Mahameru, ia memang ada di suatu tempat yang terpencil dan dingin. Hanya seorang yang mendampinginya, salah seorang sahabatnya yang sangat karib, Herman Lantang, begitu tulis Arief Budiman dalam kata pengantarnya dalam buku Catatan Seorang Demonstran.
Gie dicari dan diselamatkan oleh Angkatan Udara Republik Indonesia dan ditangisi oleh seluruh kampusnya, disambut dengan histerisnya tangisan gadis-gadis yang dulunya menolak semua uluran tangan Soe Hok Gie sendiri.
Kematian Gie membangkitkan suatu hal dalam diri saya. Bahwa ia telah mewakili salah satu aspek dari generasi pasca kemerdekaan.
Ah, sebenarnya saya ingin sekali menguraikan peristiwa kematian Gie. Tapi saya tidak bisa. Sungguh! Akhirnya, meminjam kata Arief Budiman, yang terbangun dari lamunannya pada saat berdiri di samping peti mati Gie: “Gie, kamu tidak sendirian.” (T)