BANYAK yang bilang, kaya dan tidaknya seseorang itu bisa dilihat dari isi dompet. Tebal atau tidaknya dompet yang kita miliki dapat menentukan persepsi masyarakat tentang strata ekonomi. Jadi, untuk mengakali biar berkesan kaya tinggal isi aja tuh dompet dengan kartu yang bermacam-macam, kan tebal tuh jadinya.
Dahulu, ketika saya kecil, ketika saya sering meminta uang saku sekolah (sebenarnya sekarang sih masih tetap minta), ayah atau ibu biasanya mengeluarkan uang lembaran dari dompet mereka berdua lalu memberikannya pada saya.
Lambat laun jadi kepengen punya dompet sendiri meski isinya tetap minta sama orang tua tapi ya yang namanya pengen gaya-gayaan, pengen niru-niru orang dewasa gitu, jadi akhirnya dibelikan dompet juga sama bapak. Ketika itu, dompet yang saya punya bisa dikatakan dompet jadul, ya maklum lah, kan masih tahun 2000-an. Iya, itu lho dompet yang masih ada perekatnya mirip di sepatu-sepatu anak yang kalo dibuka akan berbunyi “kreeek ….” Makanya banyak yang menyebut dompet itu dengan nama dompet kreeek-an (huruf e-nya tiga kali ya).
Katanya sih dompet norak. Sebab setiap kali buka dompet selalu keluar bunyi yang lumayan bisa didengar beberapa telinga dan menurut orang sekarang kalau masih bawa dompet gituan mesti dikatai norak.
Dipikir-pikir iya juga sih. Misal ketika pergi ke mall dan mau bayar barang lalu kita mengeluarkan dompet yang begituan kemudian dibuka, dan keluar suara “kreeek” sontak semua mata bakal tertuju pada kita kayak di film-film Korea. Beberapa ada yang berbisik, “Ih, masih jaman dompet gituan?” Ya, zaman memang berubah, padahal dompet yang begituan kata bapak sih dulu sudah bagus daripada pake dompet kecil reslitingan yang biasa dibawa ibu-ibu ke pasar. Iya, itu lho dompet emas yang dialihfungsikan jadi dompet uang. Hehe, bukan maksud meledek ibu-ibu lho ya.
Sekarang dompet yang ngetren adalah dompet yang sudah gak pake kreeek-an, gak pake perekat. Tinggal lipat, buka, udah gak usah pake acara bunyi-bunyian. Kata orang dengan begitu kita bisa “keep cool” alias gak usah rame-rame kalau mau keluarin duit.
Kan kata orang semakin keren dan gaul seseorang maka semakin gak berbunyi tuh barang-barangnya. Mobil makin bagus mana ada yang makin nyaring. Sepatu makin bagus makin gak bunyi tuh kalo menghantam tanah. Dan semakin ndeso label yang didapatkan orang, semakin nyaring pula apa-apa yang digunakannya. Sepeda motor dinyaringin biar orang satu kampung kedengeran, nikahan kalo gak pake sound gede dan lagu dangdut yang jedem-jedem rasanya masih kurang. Ya begitulah stigmatisisasi dalam kehidupan kita.
Tapi masalah yang sebenarnya bukan itu. Itukan cuma perihal selera gaya dan kata orang-orang. Sekarang nih gak usah lihat model dompetnya kayak apa, apakah pake dompet “keep cool” yang gak bunyi atau dompet “kreee-kan” yang katanya norak itu. Masalahnya, tuh dompet berisi atau tidak, nah itu pashiongaya yang musti ditingkatkan. Percuma dompet harganya dua ratus ribu tapi isinya malah dak lebih dari 5 persen harga tuh dompet. Percuma baju apik-apik, sandal mapan, tapi otak kayak sampan tenggelam. Ya begitulah kira-kira saudara.
Lambat laun, semakin dewasa kita semakin terikat pula kita dengan dompet. Artinya, keperluan ekonomi akan sangat meningkat seiring bertambahnya usia, nah di situlah peran dompet mulai terlihat bukan sekedar untuk gaya-gayaan.
Semakin dewasa, semakin bermacam-macam pula isi dompet yang kita punya. Dulu ketika kecil mungkin isinya mentok sisa uang saku yang buat ditabung sama mungkin foto-foto entah foto sendiri, foto ibuk, atau juga ayah. Sekarang, tuh dompet gak karuan apa isinya. Semua yang kira-kira seukuran dengan kantong dompet masuk berdesakan. Mulai dari kartu, slip pembayaran, foto, jimat juga mungkin, sampai yang terakhir uang. Kenapa uang disebutin terakhir? Sebab sekarang isi dompet yang dominan bukan uang, tapi kartu.
Gimana? Setuju saudara-saudara? Ya setuju lah. Kan uangnya udah masuk kartu ATM bro. Kalo perlu apa-apa tinggal gesek, selesai deh. Eaa, gak usah banyak alesan deh. Bilang aja biar kelihatan tebal diisi banyak katu ATM mulai dari BRI, BTN, BCA, dan semua ATM bank-bank lain meski sebenarnya gak ada saldonya.
Ya begitulah teman-teman, semakin hari semakin canggih teknologi kita, semakin menyusut pula benda-benda di dunia ini. Komputer dulu besar sekali bahkan sampai seukuran rumah sekarang cukup di genggaman tangan saja. Dulu celengan dan brangkas ukurannya besar, sekarang cukup dengan selembar kartu, iya betul, ATM. Dan seterusnya berlalu. Bahkan baju-baju model sekarang juga ikutan mengecil tuh, makin singset, makin keliatan semua tubuhnya meski sudah pake baju. Dan seterusnya sampe gak pake baju. Eh, eh, sorry kecepolosan.
Tapi akhir-akhir ini, semakin saya merasa dewasa, semakin sering saya mengamati isi dompet saya. Bukan karena gak ada uangnya, bukan. Kalau itu kan persoalan semua orang. Tapi dari tahun ke tahun rasanya penghuni tetap dompet tuh terus saja bertambah. Kalau uang kan penghuni sementara yang hanya singgah beberapa hari di hatiku … Hehe.
Sampai saya membayangkan betapa nanti dompet kita tebal bukan karena uang, tapi karena kebanyakan kartu. Mulai dari KTP, ATM, SIM (SIM A, B, dan seterusnya lengkap), kartu mahasiswa, kartu organisasi, dan semacamnya. Seiring berlanjut usia, bukan tidak mungkin kita akan jadi anggota di banyak organisasi yang mengharuskan adanya kartu. Lah, nambah lagi tuh penghuni dompet. Eh, Belakangan ini malah ada kebijakan yang mungkin bakal menambah penghuni dompet kita ternyata, eits bukan uang tapi ya.
Mentri Agama belakagan ini mengumumkan bahwa sedang berencana mengubah tanda bukti pernikahan yang asalnya buku menjadi kartu. Banyak tuh beritanya di media-media, bisa kamu searching di Google. Atas dasar efisiensi dan kemudahan membawa, maka bukti nikah dipandang perlu untuk dijadikan sekecil mungkin. Jadi gak perlu bawa buku nikah ke mana-mana. Cukup bawa kartu saja.
Prinsipnya bisa dikatakan mirip ATM. Cuman kalau ATM isinya uang, tapi kalo kartu nikah ini hanya sekedar bukti resmi bin sah bahwa kita sudah menikah.
Gimana? Kan bakal ketambahan teman tuh KTP, ATM, SIM, dan sebagainya di dompet.
Dompet dapat diibaratkan lumbung atau persediaan. Di dalam dompet ada persediaan hidup kita meski tidak musti pangan atau sandang. Di sana ada uang meski sekarang sudah berbentuk ATM. Selain itu ada kartu-kartu identitas.
ATM bisa kita anggap sebagai lumbung uang dan kebutuhan ekonomi kita, sementara kartu-kartu lain yang ada di dompet adalah lumbung dan persediaan identitas kita. Dengan kartu itu orang-orang bisa mengetahui identitas resmi kita sebagai penduduk negara mana dan anggota organisasi mana.
Terlepas dari efektifitas dan persoalan yang akan timbul bila bukti nikah diganti kartu (bisa saja mudah hilang atau malah akan terjadi skandal mirip penggelapan identitas layaknya kasus KTP), namun yang bisa saya katakan sekarang adalah betapa fungsi dompet kita sudah beralih fungsi. Yang dulunya digunakan sebagai tempat menyimpanan uang atau sebagai lumbung ekonomi kita, sekarang mungkin bisa dikatakan lebih dominan sebagai tempat atau lumbung identitas kita dengan lebih banyaknya kartu daripada uang dalam dompet tersebut.
Jadi sekarang dompet tuh buat menyimpan kartu-kartu, sementara untuk uang mungkin hanya dalam durasi beberapa hari saja. Atau bisa jadi kelak manusia akan punya dompet dua, satu untuk menumpuk kartu, dan satu lagi untuk tempat uang, itupun kalau ada uangnya, hiks.
So, kalau mau beli dompet sekarang jangan cari yang kantong uangnya lebih banyak atau lebih besar, tapi cari dompet yang kantong kartunya lebih banyak, kan fungsi dompet sudah bukan tempat uang lagi. Dan mungkin bisa saja akan muncul banyak lagi kebijakan pemerintah yang mengharuskan kita membawa kartu ke mana-mana. Kan sudah ada kartu Indonesia sehat, kartu Indonesia pintar, bahkan ada pula wacana kartu Indonesia jomblo. Hehe. (T)