SULIT menjelaskan seorang Ibu Tini Wahyuni dalam satu kata. Dia adalah seniman, dokter, pemikir dan penyendiri. Awalnya saya mengenal Ibu Tini Wahyuni sebagai pelukis. Dia juga ibu dari mahasiswa saya Kinanti Praditha, gadis cantik yang kini jadi pramugari.
Semakin lama semakin banyak pertautan saya yang menyebabkan saya semakin dekat dengannya. Ibu Tini Wahyuni adalah pengamat yang baik. Ia memperhatikan, menganalisis, menyikapi dan mendukung jika sebuah situasi berterima dengan hatinya.
Di dunia seni, Ibu Tini Wahyuni dikenal sebagai pelukis perempuan di Bali Utara yang karya-karyanya bertema kesunyian, kedamaian, cahaya dan semesta. Dari lukisannya tersirat bahwa dia sudah berdamai dengan dirinya. Padahal siapa yang tahu Ibu Tini adalah salah satu korban hidup (nyaris tewas) dari bom Bali tahun 2005 di Raja’s Café Kuta. Ambang kematian pertama.
Siapa juga yang tahu Ibu Tini pernah menderita tumor rahim tahun 2015. Myoma Uteri. Ia mengalami perdarahan berbulan-bulan hampir sembilan bulan sampai harus memutuskan operasi pengangkatan rahim, leher rahim hingga indung telur pada September 2015. Ambang kematian kedua.
Dalam kondisi itu Ibu Tini menghadapi semua sendiri karena suami juga sakit pasca kecelakaan yang menyebabkan cedera kepala berat. Saya melibatkan Ibu Tini Wahyuni sebagai salah satu ibu dari 11 ibu karena Ibu Tini adalah pejuang. Dia jatuh, tertatih dan bangkit lagi.
Kehidupannya masa kini adalah titik kulminasi dari seluruh kehidupannya. Perceraiannya dua kali sangat banyak memberinya waktu belajar. Sempat kehilangan hak asuh Kinanti anak tunggalnya sempat membuatnya limbung. Dia juga meninggalkan dunia dokter yang digelutinya.
Ia kini menjadi seniman pelukis, penulis dan penyendiri. Namun Ibu Tini menyadari bahwa kini ia memang lebih nyaman sendiri. Perceraiannya yang kedua mengajarkannya bahwa perceraian adalah sebuah cara mempersiapkan kematian yang damai.
Lalu mengapa Ibu Tini Wahyuni mau menerima tawaran bermain di project 11 Ibu 11 Panggung 11 Kisah ini. “Alasan saya menerima teater ini ada dua. Pertama tujuan yang ditawarkan project teater ini. Sebab tujuannya adalah untuk mendengar, berbagi, dan mengijinkan saya menjadi diri sendiri, maka saya tertarik. Kedua, karena project teater bagi saya adalah sebuah terapi, bagi diri saya dan bagi orang lain yang mengalami kisah mirip seperti saya. Dengan mendengar cerita saya, barangkali orang dapat mengambil pelajaran bermakna tentang hidup, perceraian dan kematian.”
Ia berkata jujur. Ibu Tini Wahyuni adalah seorang dengan kepribadian INTJ (Introversion, Intuition, Thinking and Judgement). Jumlah perbandingan orang dengan INTJ di seluruh populasi di dunia adalah 1-2 persen.
Demikian langkanya kepribadian ini menyebabkan orang dengan INTJ sangat jarang memiliki teman dekat. Kecenderungan seorang dengan INTJ adalah suka menyendiri, berpikir sendiri, menganalisis dan menghakimi. Dia bisa menjadi sangat sinis bagi orang lain. Juga menjadi pemikir yang tidak bisa ditawar.
Ibu Tini mengambil tes untuk mengetahui kepribadian dalam rangka ingin mengetahui apa yang terjadi pada dirinya sehingga ia menghadapi serentetan ‘chaos’ dalam hidupnya. Dia mencari tahu dan meneliti dirinya sendiri. Ketika ia mengambil tes ini, usianya 48 tahun. Apakah terlambat? Tidak.
Dari sana, ia belajar menerima, bahwa menjadi seorang INTJ adalah sebuah kelemahan namun juga kekuatan jika bisa dikelola dengan baik. Ibu Tini bermeditasi dan belajar berdamai dengan diri sendiri. Alhasil, revolusi terbesarnya adalah menjadi diri sendiri dan mulai belajar menerima kehadiran orang lain.
Dia menerima project 11 Ibu 11 Kisah 11 Panggung karena ingin berbagi dengan orang lain dengan cara memberikan versi terbaik dirinya. Ibu Tini Wahyuni adalah sebuah contoh bahwa penerimaan terhadap diri sendiri adalah awal revolusi besar yang akan berlanjut pada revolusi –revolusi besar lainnya. (T)