“APA yang kini terjadi diluar sana?” Kata itu terucap sebagai dialog pertama untuk memulai pertanda pementasan hari ketiga acara Parade Teater Canasta, 31 Oktober 2018. Saat itu, Teater Taksu SMAN 2 Semarapura membawakan naskah “Aku Bukan Perempuan Lagi” karya Cok Sawitri.
Ketika lampu nyala, menyiram sedikit demi sedikit tubuh para aktor, saya merasa seram sekali dengan pakaian yang dipakai, terutama oleh pemeran utama. Pakaiannya serba putih. Ah, sepertinya mereka akan mementaskan calonarang, pikir saya.
Perasaan seram ini semakin menjadi-jadi ditambah dengan lagu sinden atau kidung Bali yang dinyanyikan. Setelah mereka berjalan dan berdialog begitu lama akhirnya saya mengerti bahwa mereka sedang menceritakan tentang kerajaan zaman dulu yang kacau balau. Naskah ini bercerita tentang seorang perempuan yang ingin menjaga keutuhan negara dan rakyatnya tapi dibantah atau tidak disetujui oleh bayangnya sendiri.
Saya tidak mengerti tokoh siapa yang sedang diperankan dalam pentas tersebut. Tujuh orang perempuan, dengan selendang warna-warni yang dibentangkan tiga dari arah kanan dan tiga dari arah kiri. Tengah liukan selendang yang digoyang-goyangkan, tampak satu perempuan lagi menjadi titik tumpu dari enam selendang itu. Di sampingnya, terlihat aktor pemeran utama mondar mandir dan berdialog di sekitar ketujuh perempuan itu. Sang pemeran utama itu hanya merespon satu orang perempuan di sebelah kanan saja. Itupun hanya sekali.
Saya jadi bertanya, sebenarnya mereka itu jadi apa? Apakah berperan sebagai rakyat atau mungkin ada wacana lain yang disusun sutradara. Saya tidak mengerti. Saya simpan ketidakmengertian itu untuk nanti saya tanyakan saat diskusi. Di tengah ketidakmengertian saya tentang pementasan tersebut, yang paling terlihat menonjol justru semangat, antusias dan keseriusan mereka berteater.
Saya lihat dari sebelum pementasan hingga pementasan berlangsung, terlihat kekompakan kerjasama mereka. Walaupun lelah dalam perjalanan dari Klungkung ke Denpasar, tak menjadi alasan bagi mereka untuk tetep bersemangat untuk mengikuti parade ini. Kenapa saya bilang begitu? Karena pembacaan saya belakangan ini tentang teater SMA adalah mereka cenderung akan sibuk jikalau ada kegiatan lomba saja.
“Berteater yen ade lomba mare jee megulet” mungkin gitu bahasa Bali-nya. Kalau sudah begitu segala aspek pun kadang mereka siapkan untuk lomba. Padahal, Parade Teater Canasta 2018 kali ini kan sebenarnya menjadi wadah laboratorium untuk mencari dan mengeluarkan imaji muda mereka masing-masing harus ada persaingan menang kalah.
BACA JUGA
- Hal-hal Kecil yang Teater? – Pertanyaan di Parade Teater Canasta 2018
- Tiga Lapis Kesedihan Teater Kalangan – Hari Pertama Parade Teater Canasta 2018
- Melalui Kesunyian Suara Bisa Terdengar – Bersama Wanggi Hoed di Parade Teater Canasta 2018
Oke cuuuuut! Kembali lagi ke pementasan mereka, tiba-tiba saja aktor perempuan yang saya perhatikan tadi, berubah menjadi seorang lelaki. Bayangan dirinya yang tampak pada sepotong cermin mengatakan bahwa sang perempuan tersebut harus menjadi lelaki agar terlihat lebih dipercayai oleh rakyatnya. Ia barangkali akan terlihat gagah seperti pendekar agar tetap bisa menjaga keutuhan negara dan rakyatnya.
Tidak hanya sampai di sana. Setelah perempuan itu berubah menjadi seorang lelaki, bayangan itu tak henti-henti menghantuinya. Dalam cerita itu, saya simpulkan sebenarnya musuh terbesar itu bukanlah musuh yang berada diluar sana, musuh terbesar itu sebenarnya adalah diri kita sendiri kalau kita tidak bisa menangani dan memposisikan diri kita sendiri.
Akhirnya tiba saat yang saya nantikan yaitu diskusi. Kenapa saya nantikan? Agar rasa penasaran saya tentang perempuan pembawa selendang warna-warni itu yang saya katakan tadi, bisa saya ketahui apa maksud dan tujuannya.
Pertama saya kaget saat melihat semua aktor dan orang-orang di balik pementasan Teater Taksu kebanyakan adalah perempuan. Kurang lebih sekitar sembilan belas orang termasuk pemeran utama, pemeran bayangan, dalang, serta crew lain seperti penata musik dan lighting semua perempuan.
Hanya satu saya lihat lelaki, yaitu tokoh utama dalam cerita saat berubah menjadi sosok lelaki yang terlihat gagah sesuai keinginan sang bayangan di balik cermin tadi. KERENNNNN!!!
Belum sampai disana kekerenan mereka. Penataan konsep dan adegan itupun dilakukan melalui beberapa diskusi. Dalam prosesnya, sebenarnya mereka punya pembina tetapi pembina mereka pun membiarkan atau membebaskan ide mereka dalam menata konsep atau proses merespon naskah itu sendiri. Ini menarik sekali bagi saya. Bayangkan saja, anak-anak seumuran mereka sudah bisa membuat konsep yang menarik bagi saya karena diskusi kecil yang mereka lakukan secara mandiri.
Saya menjadi mendapat gambaran bagaiman teater ke depannya. Andai mereka terus seperti ini, pasti mereka akan menemukan bentuk mereka masing- masing.
Lalu kembali pada penasaran saya tentang selendang warna-warni itu, dijawablah oleh salah satu aktor begini katanya, “Gini kak, awalnya kami menyimbulkan itu sebagai cahaya yang beragam warna dalam naskah, yang ikut menghantui dan membisikan seruan pada pemeran utama, awalnya kami hanya ingin memakai beberpa lampu warna tetapi karena kami telah membaca ruang terlebih dahulu sepertinya tidak mungkin bisa memasang banyak lampu, jadi kami pakai simbol selendang warna-warni untuk menyimbulkanya” begitu jawabnya.
Kemudian saya hanya termenung karena jawabanya menarik, ini nih sebenarnya embrio muda yang mungkin orang tua harapakan pikirku “hahahaa”. Akhirnya saya mengerti maksud tentang selendang itu dan saya merasa lebih paham akan ceritanya.
Sayangnya saya tidak bisa berdiskusi lebih lama lagi untuk mempertanyakan proses kreatif mereka, karena kata mereka harus langsung pulang ke Semarapura untuk beristirahat karena besoknya mereka harus berkegiatan sekolah seperti biasanya. Padahal ada yang ingin saya tanyakan dari beberapa anak yang lain tentang pembagian tugas dan kesepakatanya.
Sepertinya itu menarik jika saya tuliskan disini, ya kan? Karena mungkin itu bisa menjadi sebuah panutan untuk anak-anak SMA yang lain agar memunculkan rasa kebebasan berekspresi mereka agar akhirnya tidak menjadi gila sendiri karena terlalu banyak pikiran seperti yang saya rasakan saat ini “hahahaa”.
Saya berharap nanti bertemu anak muda semangat lainya yang seperti mereka agar mendapat pemblajaran baru. Agar saya merasa masih muda juga. Oia, setelah pentas Teater Taksu, ada pula pentas dari UKM Teater Kampus Seribu Jendela. Anak-anak muda bersemangat lainnya dari Undiksha, Singaraja. Namun apa daya, karena keterbatasan waktu, mungkin pentas mereka akan saya ulas di lain kesempatan. Pokoknya, salam anak muda! OYE!!! (T)