SETIAP kebudayaan memiliki kemampuan mereproduksi diri sebagai mekanisme survival kalau ia mempunyai kebebasan yang diperlukan untuk merespons tantangan.
Kebudayaan Bali juga sudah melakukan reproduksi diri itu sehingga ia sampai saat ini bukan saja tetap hidup tetapi juga berkembang dan setiap generasi menghasilkan sesuatu yang baru di tengah gempuran moderenisasi dan globalisasi.
Karena itu tidak perlu khawatir kebudayaan Bali akan tergerus moderenisasi dan globalisasi kalau ia tidak dikekang dalam memberikan respons terhadap tantangan.
Sebenarnya moderenisasi dan globalisasi sudah melanda kebudayaan Bali ketika kolonialisme Belanda menundukkan Kerajaan Buleleng pada Perang Jagaraga, Kerajaan Badung pada Perang Puputan Badung, dan Kerajaan Klungkung pada Perang Kusamba. Namun itu tidak menggerus kebudayaan Bali karena kolonialisme Belanda hanya menguasai Bali secara politik. Ia tidak mengekang pendukung kebudayaan Bali mengekspresikan diri secara budaya, sehingga tetap terjadi reproduksi budaya Bali.
Pengembangan Bali sebagai destinasi wisata oleh kolonialisme Belanda tahun 1920-an sebagai upaya Pemerintah Kolonial memperbaiki citra diri di dunia internadional karena telah mengorbankan banyak nyawa manusia pada Perang Puputan Badung, juga membawa moderenisasi dan globalisasi yang masif. Tetapi kebudayaan Bali tetap tidak tergerus.
Persentuhan pendukung kebudayaan Bali dengan moderenisasi dan globalisasi yang dibawa oleh pengembangan Bali sebagai tujuan wisata dimulai tahun 1920-an, justru menghasilkan produk budaya baru di bidang seni tabuh, seni tari dan seni lukis.
Di Buleleng lahir Gong Kebyar Dangin Enjung dan Dauh Enjung, yang kemudian lebih berkembang di Bali Selatan karena di sana memiliki basis material untuk berkembang.
Di Tabanan muncul I Marya menciptakan tari Oleg Tambulilingan yang terinspirasi oleh tari Balet yang diperkenalkan oleh kenalan asingnya melalui video.
Di Ubud, Gianyar muncul pelukis modern karena persentuhan dengan pelukis/pemusik Jerman Walter Spies dan Pelukis Belanda Rudolf Bonnet. Di Ubud, Gianyar juga muncul kelompok pelukis yang disebut Young Artist karena persentuhan dengan pelukis mantan serdadu Belanda yang tidak suka bedil dan kekerasan, Arie Smith.
Produk budaya Bali yang monumental itu lahir karena persentuhan Bali dengan moderenisasi dan globalisasi.
Coba bayangkan seandainya ada pembatasan ekspresi terhadap Seka Gong Dangin Enjung dan Dauh Enjung di Buleleng, pembatasan ekspresi terhadap I Marya di Tabanan, dan pembatasan ekspresi terhadap para pelukis di Ubud, Gianyar, Bali tidak akan memiliki produk budaya itu yang kita dan dunia kagumi saat ini.
Di tahun 1970 Bali lebih dikembangkan lagi sebagai destinasi wisata dengan label Pariwisata Budaya. Nusa Dua dikembangkan dengan bantuan konsultan Prancis, Sekolah Tinggi Pariwisata juga dikembangkan untuk mendukung pengembangan pariwisata Bali dari sisi sumber daya manusia.
Tidak diragukan lagi pengembangan pariwisata Bali secara besar-besaran ini telah lebih mengekspos Bali dengan moderenisasi dan globalisasi. Tidak diragukan juga pertemuan Bali dengan berbagai budaya dari luar telah memunculkan kreativitas yang menghasilkan berbagai produk budaya baru di bidang seni tabuh, tari, lukis kemudian ditambah lagi di bidang seni ukir, patung, tata busana, dan sebagainya.
Tetapi kemudian muncul kekhawatiran akan tergerusnya kebudayaan Bali oleh moderenisasi dan globalisasi.
Kekhawatiran itu sebenarnya tidak perlu karena kebudayaan Bali memiliki kemampuan mereproduksi diri dan terus mampu menghasilkan produk budaya baru kalau diberikan kebebasan yang diperlukan untuk merespons tantangan termasuk tantangan moderenisasi dan globalisasi.
Itu sudah dibuktikan oleh antara lain Seka Gong Dangin Enjung dan Dauh Enjung di Buleleng, I Marya di Tabanan, pelukis moderen dan Young Artist di Gianyar dan tentu saja oleh para pencipta produk budaya Bali lainnya yang muncul di berbagai daerah di Bali.
Bayangkan seandainya kebebasan ekspresi mereka menciptakan yang baru dikekang dengan dalih pelestarian warisan budaya. (T)
Singaraja 24102018.