ESAI ini adalah catatan perjalanan saya menuju sebuah kampung di kawasan leher Pulau Papua pada Agustus 2013. Tepatnya adalah Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat. Satu kabupaten lain yang juga berada di kawasan teluk ini adalah Kabupaten Teluk Bintuni, lokasi perusahaan BP (British Petrolium) Indonesia beroperasi. Kedua kabupaten ini, ditambah dengan Kabupaten Nabire dan kawasan pesisir Pulau Biak di Provinsi Papua berada dalam kawasan TNTC (Taman Nasional Teluk Cenderawasih).
Teluk Wondama adalah satu daerah bersejarah dalam jejak peradaban (Kristen) di bumi Papua selain tentunya Manokwari. Di daerah Miei, Wasior—yang kini menjadi ibukota Kabupaten Teluk Wondama— terdapat sekolah tua yang menjadi tonggak bersatunya orang-orang Papua dari berbagai suku. Adalah Izaak Samuel Kijne yang meletakkan pondasi pendidikan Kekristenan bagi orang-orang Papua . Pengabdiannya mendidik orang Papua melalui sekolah asrama guru di Mansinam Manokwari dan dilanjutkan ke Miei Teluk Wondama dalam rentang waktu 1923-1953 merupakan inspirasi bagi dunia pendidikan di tanah Papua untuk mensinergikan nilai-nilai kekristenan dengan budaya Papua.
Izaak Samuel Kijne menggali pendidikan lokal yang berbasis adat dan budaya Papua untuk diadopsinya menjadi bahan pengajaran membaca melalui tiga seri Itu Dia, Djalan Pengadjaran di Nieuw Guinea. Kijne juga menangkap kegemaran orang Papua bernyanyi dengan merekamnya melalui nyanyian-nyanyian dalam Seruling Mas Njajian Pemuda Pemudi dan Perkataanja. Kijne dengan demikian adalah seorang yang multitalenta yang mampu menggali nilai-nilai pengetahuan dan pendidikan lokal Papua yang dipadukan dengan nilai-nilai Kekristenan.
Hampir sebagian orang Papua yang saya temui mengenal dengan baik sebuah pernyataan yang menjadi doa dan ruh “kebangkitan” rakyat Papua yang diciptakan oleh Izaak Samuel Kijne (I.S. Kijne). Perkataan nubuatnya yang terkenal dan dikenang oleh orang Papua, diucapkan di Miei, Wasior pada tanggal 26 Oktober 1925.Ia mengatakan:
“Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri”.
Telaga Besar
Dari Miei di Wasior menuju Kampung Ambumi, kita harus menyusuri kawasan teluk hingga menuju beberapa kampung yang menjadi wilayah dari Distrik Kuri ini. Menuju Kampung Ambumi dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi perahu motor tempel (johnson) atau speedboat dari Pelabuhan Wasior. Waktu yang dibutuhkan sekira 30 menit menuju Ambumi yang terletak di semenanjung Teluk wondama dan belum ada jalan darat. Harga penumpang per-orang bila menggunakan perahu motor tempel (johnson) adalah Rp.50.000 (lima puluh ribu rupiah).
Saya tiba di Ambumi pada pertengahan Agustus 2013. Jembatan kayu panjang dari daratan menuju ujung teluk adalah pemandangan yang saya jumpai pertama di Kampung Ambumi. Daratannya dikelilingi oleh hutan mangrove yang tumbuh subur. Sepanjang pinggiran teluk, tumbuh pohon-pohon mangrove yang sudah tua maupun yang kelihat baru saja ditanam. Jembatan kayu itulah yang kerap menjadi sandaran perahu-perahu masyarakat Ambumi saat air meti. Sandaran perahu lainnya adalah talud (pembatas teluk) yang persis terletak di depan beberapa rumah penduduk Ambumi.
Memasuki kampung, kami sudah disambut dengan pohon-pohon bakau berusia tua yang tumbuh subur di sekeliling jembatan menuju daratan. Rumah-rumah penduduk berjejer di samping kiri dan kanan. Rumah pertama yang kami lihat adalah rumah sangat sederhana beratapkan ilalang. Lebih mirip disebut gubuk panggung yang berada di atas air.
Di sekitar rumah dipenuhi dengan tumbuhan mangrove yang masih muda berbungkus plastik hitam siap untuk ditanam. Ternyata masyarakat Kampung Ambumi menjadi bagian dari kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih. Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat sedang melakukan kegiatan penanaman pohon-pohon mangrove dengan melibatkan peran serta masyarakat di dalamnya. Setiap KK (Kepala Keluarga) di kampung diberikan kebebasan untuk menanam benih pohon mangrove sesuai dengan kemampuannya. Setelah siap untuk ditanam, barulah pada saat itu setiap pohon dihargai Rp. 1000.
Benar saja, memasuki jalan kampung yang sudah dibeton melalui program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri 2011, ada 3 papan pengumuman di pertigaan jalan kampung. Papan pengumuman pertama terletak di sebelah kanan jalan yaitu penggunaan dana program PNPM Mandiri untuk pembuatan jalan dan bak penampung air profil tank. Berhadapan dengannya adalah papan pengumuman tentang kawasan Teluk Cenderawasih yang bertuliskan.“Papan Informasi Zonasi Taman Nasional Teluk Cenderawasih”. Di dalam papan pengumuman itu tertuliskan kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih. Sementara satu papan lainnya adalah pengumuman tentang nama program PNPM 2011 yaitu dinding penahan tanah yang mulai dilaksanakan pembangunannya pada 16 Mei 2011.
Kampung lainnya yang berada di daerah Teluk Wondama yang menjadi bagian dari Distrik Kuri Wamesa adalah: Kampung Dusner, Kampung Muandaresi, Kampung Simiei, Kampung Nanimori, dan Kampung Yerinusi. Kepala Distrik Kuri Wamesa adalah Yance Samberi yang berasal dari Kampung Ambumi sendiri. Kampung Ambumi bertetangga dengan Kampung Yerinusi dan hanya dibatasi oleh jembatan dan sungai yang mereka sebut dengan Sungai Ambumi.
Saat saya datang, masyarakat kedua kampung sedang menyelesaikan pengurukan jembatan yang memecah Sungai Ambumi hasil bantuan dari Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Teluk Wondama. Kedua kampung ini sebelumnya menjadi satu dengan nama Kampung Ambumi. Namun pada tahun 2004, Kampung Yerinusi memisahkan diri karena jumlah penduduk yang sudah padat dan bantuan-bantuan pembangunan sering sedikit bisa dirasakan karena begitu banyaknya warga. Dari perjalanan sejarah, kedua kampung memiliki keterkaitan dan hubungan saudara diantara warga masyarakatnya.
Ambumi sendiri berasal dari kata Ambum yang berarti kolam atau telaga dalam Bahasa Waruri yang berarti perahu berkumpul atau tempat berkumpul. Penduduk Ambumi dikenal sebagai Suku Waruri yang merupakan salah satu sub suku dari suku besar Kuri Wamesa. Penduduk yang mendiami Kampung Ambumi memiliki marga yang sangat heterogen karena berasal dari berbagai kampung di daerah Teluk Wondama dan dari luar Teluk Wondama seperti dari daerah Rasiei, Dusner, Nabire , Biak, Waropen, Ransiki, pulau Yop, dan bahkan dari Merauke.
Masyarakat di sekitar muara Kali Wosimi menyebut dirinya sebagai Suku Waruri dengan berbahasa Waruri (Ambumi). Waruri adalah Bahasa Waruri (Ambumi) yang berarti sebuah perahu yang menjadi tempat tumpangan banyak orang. Perahu yang bernama Waruri itulah kini yang menjadi Kampung Ambumi dan Kampung Yerinusi dimana berbagai marga-marga berkumpul menjadi satu dan berkomunitas membentuk kampung. Perahu dipakai sebagai simbol untuk mempersatukan berbagai marga-marga yang ada dan menetap di Kampung Ambumi dan Kampung Yerinusi.
Orang Waruri dikenal oleh orang Wondama/Wandamen (di daratan Kabupaten Teluk Wondama) adalah orang yang mendiami muara Kali Wosimi. Orang Wondama/Wandamen menyebut orang Waruri sebagai Waropa (Bahasa Wondama) atau mereka sering menyebutnya dengan Waropa Aniosebaba (Waropa kampung besar di muara Kali Wosimi). Sementara orang Wondama/Wandamen disebut oleh orang Waruri dengan Oimao dalam Bahasa Waruri/Ambumi. Sementara marga-marga yang terdapat di Kampung Ambumi secara umum adalah: Mariai yang berarti dari muara, Samberi, Kiri, Imburi, Bokwai, Dimawi, Wopairi, Wakomuni, Wursano, Siweroni, Yoweni, Warami, Karubui, Mambor, Maniagasi, Kaikatui, Urio, Runaki, Enuap, Marani, Ayomi, Sanggemi, Ramar dan Gebze.
Kampung Ambumi sendiri terletak di bagian ujung dari Teluk Wondama berbatasan dengan Distrik Naikere dengan kampung-kampung di pedalaman lainnya. Kampung Ambumi sebelah Utara berbatasan dengan Kampung Manimori, Selatan: Kampung Wombo, Timur: Kampung Rasiei, Barat: Kali/Sungai Naramasa. Selatan/Timur: Kali/Sungai Wosimi. Jumlah penduduk yang mendiami Kampung Ambumi sebanyak kurang lebih 70 KK dan dikenal dengan Suku Waruri termasuk di dalamnya adalah warga di Kampung Yerinusi.
Suku Waruri merupakan bagian kecil dari Suku Wondama yang mendiami muara Kali Wosimi yang merupakan bagian dari Taman Nasional Teluk Cenderawasih. Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Waruri yang merupakan merupakan dialek dari Bahasa Waropen yang sering disebut dengan Waropen Ambun daerah Waropen bawah di Urfai berbatasan dengan Membramo dan Nabire. Bahasa Waruri berbeda dengann bahasa Wandamen (Wondama). Suku Waruri juga menggunakan bahasa Wandamen apabila mereka bertemu dengan seseorang yang menggunakan bahasa tersebut. Namun penutur bahasa Wandamen tidak dapat berbicara bahasa Waruri.
SELANJUTNYA BACA: