BUDAYA instan tengah menjadi permasalahan serius. Berbagai kemudahan atas kemajuan teknologi, utamanya gadget, menimbulkan dampak negatif yang mengikutinya. Kondisi inilah yang kemudian digebrak oleh siswa Jembrana dengan mengadakan Festival Seni Pelajar Jembrana (FSPJ) 2018, yang difasilitasi Komunitas Kertas Budaya.
Ini adalah tahun kedua penyelenggaraan festival. Mereka mencoba melawan diri sendiri atas budaya instan yang selama ini mereka lakoni. Dalam berbagai sisi, pelajar tercerabut dari budaya proses. Sementara pendidikan formal di kelas, juga tidak memberi kesempatan yang cukup untuk menumbuhkan budaya proses.
Budayawan Jembrana, DS Putra, mengapresiasi FSPJ 2018 sebagai kudeta kebudayaan yang dilakukan oleh pelajar Jembrana. Ketika ruang ucap di sekolah begitu minim, kegiatan tersebut bisa menjadi semacam “kanalisasi” perilaku.
Kekhawatiran akan budaya instan memang cukup beralasan. Apalagi, proses pendidikan formal di kelas juga tidak memberi kesempatan yang cukup dan memadai untuk berproses. Saat ini, pelajar dan guru adalah obyek percobaan politik kurikulum. Mereka tak punya waktu berinteraksi secara wajar, sehingga membutuhkan wahana untuk lepas dari tindasan interaksi formal sekolah.
“Yang diterima dan dilakoni anak-anak muda sekarang adalah produk instan. Segalanya serba instan, dan minim budaya proses. Bahkan budaya instan ini juga sudah terjadi dalam dunia pendidikan, juga seni dan budaya. Para pelajar mengerjakan tugas literatur dengan layanan google, berkesenian dari youtube. Sebenarnya pemanfaatan teknologi ini baik, tapi sayangnya cenderung kebablasan. Mereka tercerabut dari budaya proses, dan ini berbahaya,” kata Koordinator Komunitas Kertas Budaya, Nanoq da Kansas.
Budaya instan yang cenderung menutup ruang diskusi berdampak pada pembiasaan pelajar untuk menerima informasi satu arah. Informasi itu pun diterima mentah-mentah dan menjadi rujukan dalam pemikiran. Mereka tidak terbiasa untuk bersikap kritis dalam mempertanyakan atas kebenaran setiap informasi yang diterima. Sebab tanpa disadari, mereka terbiasa berpikir monoton.
FSPJ 2018 diselenggarakan pada 20-27 Oktober 2018 di Gedung Mendopo Kesari, Negara, Jembrana. Berbagai kegiatan dilakukan untuk mengentalkan budaya proses dan kompetisi, diantaranya Lomba Baca Puisi tingkat SMA, SD, dan SMP; Lomba Cipta Puisi tingkat SMA; Pameran Karya Seni Siswa; Lomba Vocal Group tingkat SMP dan SMA, Parade Musikalisasi Puisi SMA; Pentas Teater SMA, dan Pemutaran Film Pendek.
Dengan mengangkat tema Pelajar Juga Rakyat, FSPJ mengajak pelajar kembali pada proses, kebersamaan, kewajaran, dan keberanian untuk menyuarakan pemikiran. Festival ini buka sekedar show, karena penekanannya lebih pada proses kreatif. Karena itulah, beberapa pertunjukan yang digelar lebih diperuntukkan membuka ruang diskusi bagi penontonnya. Sebutlah itu pementasan drama Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, adaptasi cerpen karya Seno Gumira Ajidarma, atau pentas Cak Modern SMAN 1 Negara karya Yogi.
Yang melegakan, di luar kegiatan utama festival, budaya proses selalu nyata. Tak hanya hadir dalam panggung pertunjukan, diskusi yang lebih intens justru terjadi di sela-sela acara, berupa pencarian, pengembangan, pengerjaan dan evaluasi gagasan.
Mereka membutuhkan ruang yang lebih akrab. Mereka membutuhkan pendampingan serta kedekatan emosional untuk menggali pengetahuan, sekaligus memancing kepekaan dan kejelian memandang sesuatu untuk menyuburkan ladang berpikir dan kreativitas. (T/WW)