Ketika awan biru tegak di puncak purnama, satu hal membujang ke dalam rumah yang selalu datang ke separuh malam, dan demi membuka lembaran cerita-cerita masa lalu, coba dengarkan ini:
Sungguh saya merasa muak dengan warga yang lewat di lorong depan rumah. Meskipun benar, rumah yang saya tempati sangat kotor dan dipenuhi sarang laba-laba, tapi setidaknya mereka menghargai keberadaan saya yang ada di dalam, sebagai seorang penghuni. Juga tidak perlu terlalu menuding-nudingkan tangan untuk mengada-ngada cerita yang tidak pernah ada, demi menghasut anak-anak setiap melewati lorong depan rumah.
“Jang, ingat, jangan pernah bermain ke rumah itu. Karena di dalam banyak hantunya. Ada hantu seorang istri yang sedang menunggu suaminya pulang. Bahkan dia sampai menjadi demit di kampung ini,” kata seorang ibu.
Selalu begitu. Bahkan hampir setiap hari pelecehan nasihat-nasihat yang menjijikkan terlempar ke telinga saya. Padahal saya tidak pernah hidup dengan hantu satupun yang bermain-main ke rumah ini. Terkecuali seorang anak kecil yang sangat nakal.
Saya juga tidak pernah merasa menjadi wanita demit yang mengganggu warga sekitar rumah, seluruh kampung ini. Padahal sebenarnya sayalah yang merasa terganggu dengan segala ocehan-ocehan mereka.
Tapi dalam bayang-bayang seluruh warga kampung ini, sayalah pengganggunya. Saya mengganggu dari sisi yang mana? Saya mengusik dari perbuatan yang seperti apa? Lebih-lebih saya bisa menganggu mereka, keluar dari rumah pun saya tidak bisa, bahkan sampai ketiga ratus tahun ini.
“Kata siapa di rumah itu ada hantunya?”
“Tidak perlu banyak mengurus kamu, Jang! Pokoknya ikuti perkataan Ibuk. Jangan mengekang!”
“Tidak ada yang berusaha mengekang perkataan Ibuk. Tapi saya hanya ingin memastikan, apakah benar di rumah itu ada hantunya. Jangan-jangan itu hanya bualan konyol dari cerita warga,” kata si anak sambil melihat ke arah rumah saya, ketika usai menatap mata ibunya.
“Kamu ini tidak percaya? Bangunan ini sudah ada dari lima abad yang lalu. Atau jika dihitung dengan tahun, bangunan ini sudah berusia lima ratus tahun lamanya!”
Anak itu hanya diam mendengarkan perkataan ibunya. Barangkali dia tidak ingin mencela, karena takut menyakiti hati orang tuanya. Tapi ketidakpercayaannya itu masih kental terlihat, bahkan dalam.
Kembali dia menatap ke rumah saya, dengan ratapan yang penuh makna. Bahkan, tidak dapat dibandingkan dengan ratapan mata ibunya yang memerah dan begitu menyeramkan. Kemudian, perlahan-lahan mereka menjauh dari depan rumah saya. Berjalan lurus ke arah utara. Hingga mentok di gang perempatan, lalu belok kiri. Setelah itu saya tidak bisa melihatnya lagi.
Ketika pandangan yang saya miliki sudah tidak bisa melihat mereka. Saya kembali menangis dalam rumah ini. Meskipun senja sedang sangat termekar di sisi barat langit, dengan hiasan kabut-kabut tipis yang kian membungkus siluetnya yang ingin keluar. Mungkin memang benar saya tidak bisa keluar untuk bermain-main ke tengah sawah, juga tidak bisa menginjak debu-debu yang halus di hamparan halaman depan dan bunga-bunga lalang yang liar tumbuh di sekitar rumah tua ini.
Tapi saya masih bisa bersyukur, karena Tuhan masih menganugerahkan saya untuk melihat merahnya senja, awan lepas hujan, serta rona pelangi yang mengendap di kaki langit sisi timur. Melengkapi rendaman penantian ini, yang sungguh luar biasa pahitnya.
“Pak, katanya ini ya, rumah yang disebut-sebut berhantu wanita janda itu?”
“Kata siapa kamu, Pak?
“Kata sebagian warga yang rumahnya tinggal di sekitar sini.”
“Mungkin iya. Tapi saya belum pernah mendengar. Mungkin karena rumah saya yang sangat jauh dari sekitar kompleks ini. Sehingga saya ketinggalan untuk mendengarkan cerita-ceritanya.”
“Iya benar. Cobalah lihat. Rumah ini sangatlah tua bukan? Tapi tidak ada yang berani merobohkannya, atau bahkan untuk membeli sepetak tanah rumah ini. Satu minggu yang lalu, Kades kampung ini datang ke rumah ini. Katanya sih, bersama dengan seorang dukun sakti yang ia panggil dari desa seberang. Niatnya untuk memastikan dan mengusir hantu janda yang menghuni di dalam rumah ini. Tapi dukun itu gagal. Katanya rumah ini sangatlah keramat dan penghuninya tidak ingin keluar dari rumah ini. Jikalau dukun itu memaksa. Maka nyawa dukun itu taruhannya.”
“Wahh, serem banget ternyata ya! Salah kita bercerita di depan terasnya ini!”
Lagi-lagi sejumlah warga membicarakan saya yang begitu tenang di dalam. Bahkan menceritakan hal yang tidak-tidak tentang keberadaan saya di dalam rumah ini. Juga tentang seorang dukun yang minggu lalu pernah datang. Katanya diundang oleh seorang Kades baru, yang baru dilantik lima bulan yang lalu.
Saya tidak pernah merasa mengusir dan mengancam dukun itu. Hanya saja dia itu yang tidak jujur. Dia tidak pernah menemui saya. Tapi dia sudah menceritakan banyak hal yang tidak-tidak tentang kondisi yang ada di dalam rumah ini. Yang sebenarnya tidak pernah dia ketahui. Dia hanya ingin membodo-bodohi Kades baru kampung ini. Mungkin karena usia Pak Kades yang masih terbilang muda. Sehingga sangat mudah bagi dukun itu untuk melancarkan drama kebohongannya, demi sebuah imbalan yang akan dia terima.
Sebenarnya saya sangat acuh tak acuh dengan kedatangan dukun itu. Apalagi dengan sikapnya yang rakus dan tamak, sungguh saya tidak menyukainya. Karena menurut saya, dengan caranya yang gila seperti itu sudah menandakan bahwa dia adalah dukun gila yang gila harta. Padahal harta yang dia dapat dari kegilaannya tidak akan pernah membuat nyaman setelah proses kematian.
Bahkan suami yang meninggalkan saya sampai sekarang ini adalah korban dari kehausannya dalam mencari harta. Hingga pada akhirnya dibekuk oleh aparat negara dari luar kota. Yang kemudian menyiksa jiwa saya untuk bersembunyi ke balik jeruji jendela rumah tua ini.
Mungkin benar seperti apa yang sebagian warga sampaikan kemarin. Saat ditanya oleh beberapa wartawan dan penulis-penulis yang ingin mengetahui saya dari sekadar obrolan dari depan rumah.
“Pak, apakah bapak memiliki informasi yang banyak tentang sejarah rumah itu?” kata wartawan sambil menunjuk ke arah rumah saya.
“Kalau ditanya mengenai banyaknya informasi yang saya punya, mungkin saya tidak banyak dan tidak mengetahui seluk-beluk rumah ini. Tapi yang jelas rumah ini sudah ada semenjak kakek kakeknya kakek saya. Bahkan sebelum kakek kakeknya kakek saya lahir, rumah ini sudah ada. Katanya sih rumah ini memiliki penunggu dan penunggunya itu seorang wanita yang menjanda karena ditinggal suaminya.
Dengar-dengar dari cerita kakek kakeknya kakek saya. Suaminya ini pergi karena dipenjara. Jadi, pada cerita masalalu itu, suami dari wanita yang menungu rumah ini adalah seorang antek-antek kolonial, mungkin pada waktu itu masih mengenal ada penjajahan. Tapi yang saya herankan, kebenaran informasi-informasi yang berlimpah dari cerita-cerita warga tidak sependapat dengan cerita yang yang disampaikan oleh petuah-petuah kampung ini. Salah satunya mengenai umur dari rumah ini, ada yang memperkirakan berusia lima ratus tahun atau lima abad, ada juga yang mengatakan tiga ratus tahun atau tiga abad.
Saya memang sengaja tidak pernah memperdalam masalah ini. Karena memang tidak akan pernah mendapat fakta kebenarannya. Sebab orang-orang yang tahu tentang kapan rumah ini dibangun tidak akan hidup sampai pada masa yang sekarang. Paling, tulang-tulangnyapun sudah menyatu dengan abu-abu halus yang berada dalam kuburan.
Tapi,,, kalau mengenai riwayat suaminya itu memang betul. Sependapat dengan apa yang disampaikan para petuah-petuah kampung, begitu pun dengan rampaian dari cerita-cerita warga, bahwa suaminya itu adalah seorang mata-mata dari pihak asing kolonil Belanda. Yang di kemudian hari penyamarannya yang membunglon terbongkar.
Alhasil, pihak tentara dan pihak kepolisian atas nama negara, menyeret paksa suaminya ke kantor pusat yang berada diluar kota. Saya tidak tahu kantor dan kotanya itu di mana!”
Wartawan itu mendengar dengan serius. “Apakah masih ada cerita lagi atau informasi lagi yang ingin bapak sampaikan,” lanjutnya lagi, sambil dia mencatat setiap penggalan-penggalan dari cerita bapak itu.
“Sudah, Nak. Itu saja yang bapak ketahui. Ini juga sudah malam. Silahkan pergi dari sekitar rumah ini. Mumpung matahari belum tenggelam. Karena berbahaya jika ada orang asing berkeliaran malam-malam disekitar sini. Kalian sudah mendengar infonya ‘kan, kalau rumah ini ada penunggunya? Takutnya mas-mas ini dikira seseorang yang ingin melamar janda itu. Menggantikan suaminya yang pergi tak kunjung datang!”
Saya yang mendengar percakapan wartawan dan bapak sok tahu itu menyahut dari dalam rumah, terutama menyahuti perkataan terakhir dari bapak itu.
“Tidak, Pak! Saya tak ‘kan menghianati kesetiaan yang telah mengkar pada rumah dan jiwa ini. Bahkan sudah tidak lagi mengenal abad lamanya, penantian ini menggerogoti jiwa dan semua yang masih berfungsi dalam diri saya. Terkecuali tubuh yang sudah terbaring dalam tanah sejak waktu itu!”
Saya mendengar setiap apa saja yang orang-orang bicarakan saat lewat lorong depan. Sekalipun tidak ada yang ingin memberi penerangan pada depan rumah saya untuk malam hari. Tapi saya tetap bisa melihat apa pun yang melintas. Pergantian musim hujan dan kemarau sudah biasa saya lewati. Fajar yang menjingga sudah biasa saya lihat. Sawah-sawah yang menjadi gedung-gedung sudah biasa saya pantau dari dalam rumah ini.
Hanya saja tidak ada orang yang dapat melihat keberadaan saya yang terdiam di dalam rumah. Saya juga berpikir, apakah saya ini masih bisa bahagia. Sementara seseorang yang saya tunggu tidak tahu kapan akan datang. Saya hanya berharap, suami saya muncul dari belahan senja yang berawan dan turun berjalan ke ujung lorong menuju rumah ini. Sesuai dengan apa yang dia janjikan berratus tahun yang lalu. Tapi seperti itulah janji.
***
Kemudian pada suatu ketika, saya kembali melihat seorang orang anak yang beberapa tahun lalu bersama ibunya lewat depan rumah. Tapi kali ini, dia sangatlah dewasa, dia juga tidak datang bersama ibu. Melainkan dengan seorang wanita cantik, manis, dan tampaknya berhati lembut. Barangkali wanita itu adalah istrinya.
“Mas mau ke mana?”
“Kamu diam saja di rumah. Kenapa sampai mengejar ke sini? Saya hanya mau pergi sebentar. Untuk menyelesaikan bisnis di luar kota. Saya tidak bisa meninggalkan tugas ini. Karena ini perintah dari bos saya yang berasal dari Belanda yang saya ceritakan kemarin malam.”
“Kenapa jauh Mas? Memangnya berapa hari kamu pergi? Kenapa saya tidak diajak?”
“Kamu di rumah saja. Kondisimu belum sembuh total, pasca proses operasi pengangkatan bayi kita yang mati dalam kandunganmu. Luka jahitan di perutmu belum kering kan? Bahaya bagi kesehatanmu jika kamu ikut.”
“Tapi saya takut sendirian. Saya juga takut jika Mas tidak kembali.”
“Huss, ngomongnya! Tunggu saja, saya pasti kembali ke dalam rumah kita. Untuk melengkapi hidup kita yang kemarin gagal menjadi seorang ayah dan ibu.”
Tiba-tiba di tengah perbincangan itu, sebuah mobil melintas dan berhenti, membukakan pintu untuk suaminya. Akhirnya, sepasang manusia itu berpelukan untuk mengakhiri pertemuannya. Ditambah dengan sebuah kecupan dalam di keningnya.
Wanita itu hanya bisa diam dan tidak berkata apa-apa untuk suaminya yang akan pergi. Tetapi, barangkali suaminya itu pasti sudah sangat tahu. Bahwa kesetiaan istrinya tidak akan dapat diukur oleh apa pun. Bahkan dengan burung-burung merpati sekalipun tidak bisa membandingi kesetiaannya. Istrinya akan selalu setia, menunggunya di rumah itu sampai kapan pun, bahkan sampai mati.
Sesekali setelah melewati hari, bulan, dan tahun, wanita itu keluar untuk menyiram bunga-bunga dan rumput-rumput. Memotong setiap lekuk ranting bunga yang semakin merambat tak beratur. Menyapu halaman dengan iringan melodi kicauan burung-burung. Sampai sepuluh tahun terakhir ia masih rutin keluar masuk rumah. Bermain-main di sekitar sawah dengan senja yang memalam.
Sempat ada seseorang yang sering menatapnya. Lalu pergi begitu saja tanpa memberi sepatah katapun. Ada juga seorang nenek-nenek yang lewat. Tapi, kemudian menyapanya:
“Neng, lagi apa kok sendiri?”
“Lagi nunggu suami, Nek.”
“Memang ke mana suamimu?”
“Katanya sih keluar kota mengurus bisnis.”
“Ohh!! Yang sabar saja menunggu,” kata seorang nenek itu sambil menjauhkan diri dari halamannya. Kemudian ada juga seorang pemuda tampan dengan temannya, yang kebetulan melirit sambil membicarakannya.
“Bro, dia itu wanita janda ya?
“Katanya sih iya!”
“Dia terlalu setia ya?” katanya, sambil menatap mata yang di sebelahnya. “Sampai menjadi bodoh. Paling suaminya sudah kawin dengan wanita lain.”
Wanita itu tetap memalingkan muka. Pura-pura tidak mendengar macam-macam perkataan yang mengotori lubang telinganya. Dia tetap saja menunggu di terasnya. Kadang dari pantauan setengah kepala dari jendela yang terbuka lebar. Begitu rutin dia menunggu, dari pagi sampai menjelang malam. Hingga sampai hari terakhirnya saya lihat.
Dia menunggu sampai larut malam. Tapi tetap saja tidak akan ada yang datang. Akhirnya dia masuk ke dalam rumah dan sampai sekarang tidak pernah terlihat lagi keluar, untuk mengabari udara ataupun bunga-bunga yang senantiasa menanti, di halaman depan. Bahkan sampai tiga ratus tahun selanjutnya. (T)