SATU film pendek yang sangat menyentuh saya dari sekian banyak film yang diputar dalam Minikino Film Week (MFW) – Bali International Short Film Festival, 6-13 Oktiber 2018, adalah film berjudul Kimchi karya sutradara Jackson Segars dari Amerika.
Kimchi yang berdurasi 14.28 menit ini secara kebetulan saya tonton dua kali. Pertama pada pembukaan MFW di Danes Art Veranda, Denpasar, dan kedua saya tonton di Rumah Sang Karsa, Kamis 11 Oktober 2018. Di Rumah Sang Karsa sutradara Jackson Segars bahkan hadir berdialog dengan penonton termasuk saya.
Filmnya bukan soal Kimchi sebagai makanan Korea yang terkenal itu. Namun film ini bercerita soal kompleksitas isu kemanusiaan, salah satunya adalah pertanyaan tentang siapa kita dan makna hidup kita sebagai manusia.
Awalnya, film menampilkan rentetan dialog antar manusia dalam hubungan-hubungan keluarga, cucu bernama Yu-Na (Jennifer Kim) dan nenek (Alexis Rhee), di mana seorang penghobi foto terselip di dalamnya. Penghobi foto bernama Ken (Yuki Matsuzaki) itu adalah kekasih si cucu.
Dialog saling anyam antara kalimat dalam bahasa Inggris, bahasa Korea dan Jepang, namun adegan demi adegan mengalir seakan tak peduli pada bahasa.
Alur dialog seperti tak fokus, namun hampir semua bicara soal hubungan-hubungan antarmanusia dan antarkeluarga. Tentang hubungan Yu-Na dan Ken, hubungan sang nenek dan kakek, hubungan yang abadi, dan hubungan yang mungkin tiba-tiba putus akibat takdir semisal kematian.
Dari dialog-dialog yang kadang penuh bisik atau pertengkaran keluarga, film ini memang sepertinya bicara soal keabadian dan ketiadaan yang mungkin tiba-tiba. Tentang ini, keabadian dan ketiadaan, diuraikan dengan penuh simbol pada adegan-adegan jenaka antara si penghobi foto yang bernama Ken dan kakek dari kekasihnya.
Melalui kesunyian seorang lelaki tua yang mengidap dementia, yang dalam film ini dimainkan sangat meyakinkan oleh aktornya (Ken Takemoto), kita disuguhi humor yang hadir begitu alami. Di hari jelang kematiannya sang lelaki tua melihat foto dirinya bukan dirinya karena tidak seperti dirinya.
Dia bertanya pada kekasih cucunya apakah dia berpikir foto itu dirinya. Ken, sang kekasih cucunya itu lalu berinisiatif untuk mengambil foto baru lelaki tua lalu mencoba menangkap momen pose dengan berbagai kemungkinan.
Salah satunya ia mengharap pose lelaki tua itu tersenyum namun sulit baginya. Ken menganjurkan lelaki tua membayangkan sesuatu yang bahagia, namun tak berhasil. Akhirnya ia menyarankan lelaki tua berkata cheese untuk membentuk senyum. Namun sulit bagi lelaki tua mengucapkan cheese. Lalu dia melempar usul untuk mengucap kimchi. Ken setuju, “Ya katakan kimchi,” katanya.
Awalnya lelaki tua mengatakan kimchi dengan kurang bergairah. Flat kimchi. Namun Ken menyuruhnya menahan kata kimchi agar lebih terbentuk senyum yang natural. Setelah beberapa kali, terdapat momen ketika lelaki tua bisa mengucapkan kimchi sesuai harapan namun Ken justru melewatkannya.
Bagi Ken persoalannya bukan lagi soal foto semata namun momen lelaki tua menikmati kata kimchi, sebuah kesadaran segar bagi ingatan yang rapuh. Film ini berakhir ketika foto lelaki tua yang bersanding dengan foto istrinya dicabut. Menunjukkan sang lelaki tua sudah meninggal.
Pertanyaan saya, foto manakah yang dipakai di pemakaman? Foto yang lelaki tua merasa bukan dirinya atau foto pose dengan kata kimchinya.
Sutradara Jackson di usai menonton di Rumah Sang Karsa mengatakan bahwa sesungguhnya foto dengan pose terbaik versi kata kimchi tak pernah ada. Ken hanya mengambil momen itu dengan hatinya. Sebab apalah arti sebuah foto lagi jika tak ada hatinya. Dan bagi Ken sebagai fotografer, momen itu cukuplah disimpannya dalam hati saja, itu membuat lelaki tua abadi di sana. (T)