28 Oktober 1928, adalah tonggak penting keberadaan bangsa ini. Sejumlah anak muda,generasi terbaik bangsa ini di jaman itu, menggagas berdirinya sebuah bangsa, dengan berbahasa dan bertanah air yang satu, Indonesia.
Konggres I yang diadakan di Batavia pada 30 April – 2 Mei tahun 1926 telah memunculkan kesadaran mengenai pentingnya komunitas dan kegiatan kepemudaan di bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya. Konggres yg diketuai Muhammad Tabrani ini diikuti oleh organisasi-organisasi pemuda, seperti ; Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, dan organisasi-organisasi pemuda lainnya.
Proses pengendapan selama 2 tahun itu, selanjutnya memunculkan kesadaran akan pentingnya berbangsa, berbahasa, dan bertanah air – Indonesia. Konggres kedua diadakan pada 27 – 28 Oktober 1928. Konggres dipimpin oleh Soegondo Djojopoespito dari Perhimpunan-Pelajar Indonesia (PPPI).
Selain melahirkan keputusan penting yang disebut Sumpah Pemuda, juga ditetapkan lagu kebangsaan Indonesia karya Wage Rudolf Supratman, Indonesia Raya. Sejak konggres inilah bahasa melayu menjadi bahasa pengantar (lingua fanca) bangsa Indonesia. Ki Hajar Dewantara adalah sosok penting karena dia adalah tokoh pertama yang mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan Indonesia.
Memasuki tahun 2018 ini, Sumpah Pemuda sudah berusia 90 tahun. Artinya, bahasa Melayu resmi menjadi bahasa pengantar bangsa Indonesia juga sudah berusia 90 tahun. Hampir satu abad. Membahas soal bahasa Melayu, sebagai cikal bakal bahasa Indonesia, tentu tak terlepas dengan bapak bahasa kita, Raja Ali Haji. Bapak bahasa ini diberi gelar pahlawan nasional pada 5 November 2004.
Pemerintah RI memberikan penghargaan tersebut karena jasa beliau membina bahasa Melayu Kepulauan Riau sehingga menjadi bahasa Melayu Tinggi atau bahasa baku, yang kemudian diangkat menjadi bahasa nasional dengan sebutan bahasa Indonesia. Sebelumnya, pada tahun 2000, Gusdur mengungkapkan apresiasinya kepada Raja Ali Haji sebagai sosok yang berjasa dalam mempersatukan bangsa dan menciptakan bahasa nasional.
Para penggemar sastra tentu tak asing dengan pujangga, ulama dan sejarawan Raja Ali Haji (1808-1873) yang begitu populer dengan Gurindam Dua Belas nya. Selain itu, Raja Ali Haji juga menulis beberapa buku antara lain; Kitab Pengetahuan Bahasa, Tuhfat al-Nafis, Silsilah Melayu dan Bugis, Bustan al-Kathibin, Intizam Waza’if al-Malik, dan Thamarat al-Mahammah Dhiyafah li al-umara wa al-Kubara, Muqaddimah fi Intizam al-Wazaif al-Malik, Syair Abdul Maluk, Bustan al-Katibin, Syair Siti Siyanah, Syair Hukum Nikah, dan Syair Gemala Mastika Alam. Kitab pengetahuan bahasa berisi tata bahasa Melayu yang kemudian menjadi standar bahasa Melayu dan bertumbuh menjadi bahasa Indonesia.
Kembali ke peristiwa penting, 90 tahun bahasa Indonesia, tampaknya para ‘pengguna’, dan ‘pemuja’ bahasa Indonesia perlu memikirkan kegiatan yang produkti, dari pada berpolemik tentang puisi esai nya Denny JA. Biennale Sastra — sebagai kegiatan melihat proses dan puncak pencapaian karya sastra — sepertinya belum pernah dilakukan di Indonesia.
Istilah Biennale, adalah kegiatan dua tahunan, mengadopsi dari kegiatan senirupa. Bali, memiliki komunitas sastra yang punya potensi untuk penyelenggaraan perhelatan Biennale Sastra. Tentu sangatlah menarik bila kegiatan Biennale Sastra ini dirancang jauh hari secara rapi.
Di Bali, timbul tenggelamnya sanggar-sanggar, kegiatan-kegiatan lomba seperti ; Pekan Seni Remaja, Lomba Drama Modern, lomba-lomba baca puisi, grudag-grudug dan acara apresiasi sastra lainnya – semua itu merupakan ‘artefak’ yang tidak hanya berhenti sebagai bahan riset saja, tapi juga bisa sebagai pemantik aktifitas kreatif kemudian hari.
Kajian sastra tak akan pernah berhenti sepanjang medium nya (bahasa) masih hidup di bumi. Bahasa daerah memang punya kemungkinan lenyap, tapi saya belum pernah mendengar lenyapnya bahasa nasional sebuah bangsa.Kompas.commelaporkan, bahasa daerah yang punah berasal dari Maluku yaitu bahasa daerah Kajeli/Kayeli, Piru, Moksela, Palumata, Ternateno, Hukumina, Hoti, Serua dan Nila serta bahasa Papua yaitu Tandia dan Mawes.
Sementara bahasa yang kritis adalah bahasa daerah Reta dari NTT, Saponi dari Papua, dan dari Maluku yaitu bahas daerah Ibo dan Meher. Saya tak hendak mengkaji soal bahasa daerah, karena yang akan kita peringati pada 28 Oktober nanti adalah 90 tahun bahasa persatuan kita, bahasa Indonesia.
Pada suatu diskusi di Bentara Budaya Bali beberapa waktu yang lalu, saya sebutkan bahwa puncak dari eksistensi bahasa adalah sastra, dan puncak dari sastra adalah puisi. Saya ingin mengajukan gagasan pada teman-teman sastrawan tentang kemungkinan Biennale Sastra.
Kenapa sastra? Karena asumsi yang saya ungkapkan pada diskusi di Bentara Budaya, bahwa sastra adalah puncak bahasa. Selain itu, produk penulisan kreatif adalah karya sastra. Seperti kita ketahui, Biennale merupakan perhelatan seni 2 tahunan yang menampilkan puncak-puncak karya seniman.
Biennale juga merupakan ruang bagi para seniman dalam merepresentasikan ide, gagasan, konsep dan proses kreatifnya dalam bentuk karya. Sepengetahuan saya, biennale sastra belum pernah terselenggara di Indonesia (mohon dikoreksi kalau memang pernah ada). Tentu, diharapkan format penyelenggaraannya, berbeda dengan Ubud Writers & Readers Festival.
Pasti akan sangat menarik jika perhelatan Biennale Sastra ini terselenggara. Seniman, sastrawan dan para ilmuwan bahasa pasti akan terlibat dengan menampilkan puncak-puncak karya mereka. Sastra lisan, sastra tulisan, sastra koran, sastra media sosial, dan berbagai macam karya susastra akan menjadi kajian dan sajian yang menarik pada perhelatan akbar itu.
Yang menjadi pertanyaan — apakah komunitas JKP (Jatijagat Kampung Puisi), Komunitas Mahima, Komunitas Posbud-Posrem dan gradag-grudug (kalo masih ada), dan komunitas sastra lainnya — tertarik pada peringatan 90 tahun bahasa Indonesia yang selama ini menjadi ’medium’ ekspresi penulisan kreatifnya?
Pertanyaan itu kulontarkan pada batu-batu diam yang menatap hatiku terpejam, agar aku ingat pada petikan sajak Tanah Lot nya Umbu. …//inilah bunga angin dan tirta//air kelapa muda para peladang yang membalik-balik tanah dengan tugal//agar langit bermuka-muka//tinggal serta dalamku//…… (T)